Ramadan, bulan istimewa, bulan yang mulia. Seperti yang masyhur kita dengar, bahwa pada bulan ini setiap amal kebajikan akan diganjar pahala yang berlipat ganda.

Patut kalau momen yang hanya satu tahun sekali ini sangat dinantikan umat Islam. Opick dengan lagunya yang syahdu menggambarkan demikian,

“Andaikan saja Ramadhan semua, bulan yang tiba bulan yang ada, karena besarnya setiap pahala, yang dijanjikan kepada kita”

Pada bulan Ramadan inilah kita sebagai umat Islam berlomba-lomba menggiatkan diri untuk beribadah. Tidak lain dan tidak bukan adalah demi ridha-Nya.

Pada siang hari, kita wajib berpuasa bagi yang mampu. Dan malamnya, kita disunahkan melaksanakan tarawih yang lebih afdol apabila dikerjakan berjamaah.

Selain dua ibadah yang menjadi ciri khas Ramadan itu, kita juga dianjurkan melakukan ibadah lainnya. Mungkin, yang umum dan biasa kita lakukan adalah membaca Al-Qur’an dan memperbanyak zikir.

Ibadah sunnah ada yang bersifat habluminallah atau berhubungan dengan Allah dan juga ibadah yang bersifat habluminannas atau berhubungan sesama manusia, salah satunya bersedekah.

Habit Sedekah

Disadari atau tidak, sebenarnya, bersedekah sangatlah lekat dengan kita. Hampir seluruh aktivitas yang kita lakukan mengandung nilai-nilai sedekah.

Salah satunya diperkuat oleh berbagai macam tradisi yang berkembang dan rutin kita jalankan. Tentu, setiap masyarakat memiliki keunikan tersendiri yang didalamnya terkandung konsep sedekah.

Sebelum atau pada saat Ramadan, kita sangat mudah menemukan tradisi bersedekah. Salah satunya adalah tradisi takjil yang hampir ada di seluruh tempat.

Umumnya, tradisi ini berupa memberi makanan atau minuman untuk berbuka puasa yang diberikan di mushola, masjid, atau jalanan.

Adanya suatu tradisi tentu tidak terlepas dari kondisi sekitarnya, termasuk tradisi takjil. Apabila kita telisik, tradisi ini cukup akrab dengan masyarakat di daerah padat penduduk dengan tingkat mobilitas tinggi.

Tentu, daerah seperti ini cukup ramai. Sehingga, hal ini berkaitan dengan salah satu tujuan tradisi takjil, yaitu memberi makanan atau minuman kepada para musafir agar dapat menyegerakan berbuka puasa.

Namun, lain halnya di desa saya yang letaknya cukup pelosok di Ponorogo. Tempat tinggal saya cukup jauh dari keramaian. Sehingga, tradisi takjil bisa dibilang cukup asing bagi kami.

Kalaupun ada, paling berupa air minum dalam teko atau air mineral gelas. Saya rasa, itu pun kurang pas disebut takjil sebagaimana umumnya karena selalu tersedia selain Ramadan.

Masyarakat di desa saya terbiasa berbuka puasa di rumah masing-masing bersama keluarga. Selepas itu, barulah mereka menuju ke musala atau masjid untuk menunaikan sembahyang Maghrib.

Jadi, jangan terlalu berekspektasi menemukan menu takjil yang komplit dan enak di desa. Apalagi berburu takjil di sana, jelas, sebuah kesalahan besar.

Tradisi Puluran

Kami memiliki tradisi tersendiri, yaitu tradisi puluran. Puluran adalah sebutan untuk makanan yang diberikan setelah sembahyang tarawih.

Tradisi ini utamanya untuk bersedekah kepada para jamaah atau orang yang akan tadarus Al-Qur’an. Umumnya, yang diberikan berupa makanan dari hasil bumi atau jajanan pasar.

Dalam pelaksanaannya, setiap orang dijadwalkan membawa puluran ke mushola atau masjid setempat.

Tentu saja, tradisi puluran memiliki kearifannya sendiri. Misalnya nilai toleransi, karena menu puluran yang dibawa sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Adanya puluran dapat menjadi penyemangat masyarakat untuk melangkahkan kaki menuju tempat ibadah. Kemudian, adanya puluran bisa membuat para jamaah lebih gayeng saat ngobrol. Bahkan, puluran juga biasa dijadikan buah tangan beberapa jamaah untuk orang di rumah.

Budaya Kolektif Masyarakat

Tradisi puluran hanyalah salah satu tradisi di desa yang menunjang kuatnya budaya kolektivitas masyarakatnya.

Dalam tradisi puluran, sangat memungkinkan terjadinya banyak interaksi karena diberikan setelah tarawih. Sehingga, waktunya lebih luang. Saat itulah para jamaah dapat berbincang mengenai banyak hal, seperti kondisi sawahnya, kondisi tetangganya, dan sebagainya.

Hal ini mungkin cukup sulit kita jumpai dalam tradisi takjil karena waktunya lebih pendek. Orang-orang lebih fokus menyegerakan berbuka puasa kemudian bergegas menunaikan sembahyang Maghrib.

Terlepas dari semuanya, baik tradisi takjil maupun tradisi puluran, sama-sama baiknya. Tentu, semakin menambah khazanah kebaikan dalam keberagaman masyarakat Indonesia.

Keduanya sama-sama ladang basah bagi kita untuk beribadah selama bulan Ramadan yang mulia ini. Tidak lain, kedua tradisi itu adalah cerminan dimana nilai-nilai Islam dapat berjalan beriringan dengan berbagai kondisi masyarakat.

Editor: Lail

Gambar: Google