Buku yang memiliki ketebalan 108 halaman dan dicetak pertama kali oleh Diva Press pada bulan Juli 2022 kemarin ini, memiliki daya kepuitisannya sendiri.
Apalagi buku ini dikuratori oleh M. Faizi (penyair asal Madura) yang sudah menerbitkan banyak buku sastra, salah satunya yang terbaru ialah “Bunga Mimpi di Taman Dalail”.
Tentunya, hal ini semakin menambah keyakinan saya sebagai pembaca dalam membaca buku karya Kahlil Gibran ini.
Daya Magis Diksi dan Metafora
Sebagaimana asumsi saya saat pertama kali melihat buku ini di toko buku, Sayap-Sayap Patah karya Kahlil Gibran menyimpan kisah cinta yang luar biasa.
Narasi yang disajikan oleh Kahlil Gibran seolah-olah membius pembaca dan membawanya ke dunia baru yang berisi diksi-diksi dan metafora yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Cerita yang sebenarnya cukup sederhana, yaitu bagaimana pertemuan “aku” sebagai tokoh utama dan Salma Karami yang mempunyai Bapak bernama Faris Afandi, berubah menjadi istimewa dengan adanya berbagai macam perumpamaan dan penjabaran yang asik, mudah dipahami, dan yang terpenting adalah memilki daya magis yang mampu membuat pembaca betah berlama-lama.
Jika boleh diringkas dalam satu paragraf, penulis hanya menyajikan kisah cinta seorang pemudi yang bertemu dengan seorang laki-laki bernama Faris Afandi Karami yang dulu adalah teman dari bapaknya.
Oleh sebab itu, Faris Afandi menyuruh pemuda itu untuk sering-sering berkunjung ke rumahnya. Pun Faris Afandi juga banyak bercerita tentang masa lalunya bersama Bapak dari pemuda itu.
Berhubung Faris Afandi mempunyai anak perempuan, maka bertemulah sang anak yang bernama Salma Karami dengan pemuda itu.
Lalu berkat pertemuan tersebut, baik saat di dalam rumah atau di taman, diiringi percakapan-percakapan khas nyastra nya Kahlil Gibran, maka perlahan-lahan tumbuhlah benih-benih cinta di dalam dada keduanya. Yang kemudian perasaan itu dinarasikan dengan begitu apik oleh penulis.
Namun sayang, cinta tidak berhasil membuat keduanya bersatu. Dikarenakan sebuah tuntutan, terpaksa sang anak (Salma Karami) harus dinikahkan dengan Uskup Ghalib Bules Ghalib yang memiliki watak bengis, jelek, dan sejenisnya.
Tentu saja, tidak hanya Faris Afandi yang sangat terpukul, tapi sang pemudi juga merasa demikian.
Cinta, Rindu, dan Perpisahan
Sejak saat itu, perpisahan antara sang pemuda dan Salma pun dimulai. Meski begitu, keduanya diam-diam tetap bertemu dalam sebuah kuil untuk menuntaskan kerinduan yang sebelumnya harus tertahan.
Dan saya rasa, perpisahan itulah yang kemudian dijadikan sebab dari tercetusnya judul Sayap-Sayap Patah.
Sebab, sebagaimana cinta yang mampu membawa manusia terbang menuju kebahagiannya masing-masing, harus tertahan oleh keadaan yang memisahkan dua insan yang sedang dilanda asmara. Ya, kira-kira begitulah yang dialami oleh sang pemuda dan Salma Karami.
Meski begitu, cinta sang pemuda pada Salma Karami diceritakan tidak akan pernah surut. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh sang pemuda pada halaman 57 yang berbunyi sebagai berikut:
“Aku akan selalu mencintaimu, Salma, sebagaimana padang rumput yang luas mencintai musim semi. Aku akan hidup di dirimu laksana bunga-bunga yang hidup oleh panas matahari. Aku akan menyanyikan namamu seperti lembah menyanyikan gema lonceng gereja-gereja di pedesaan. Aku akan mendengar bahasa jiwamu seperti pantai mendengarkan kisah-kisah gelombang. Aku akan mengingatmu seperti orang asing yang mengenang negeri tercintanya, sebagaimana orang lapar mengingat pesta jamuan makan, seperti raja yang turun takhta mengingat masa-masa kejayaannya, dan seperti seorang tahanan mengingat masa-masa kesenangan dan kebebasan. Aku akan mengingatmu sebagaimana seorang petani yang mengingat berkas-berkas gandum di lantai tempat mengiriknya, juga seperti gembala mengingat padang rumput yang luas dan sungai yang segar airnya,”
Semua perumpaman di atas tiada lain ialah bentuk besarnya cinta yang dimiliki dan komitmen untuk terus setia pada yang dicintai tanpa melihat perubahan musim. Sungguh, cinta yang seperti ini adalah cinta yang begitu suci dan agung.
Selebihnya, penulis berhasil menggabungkan berbagai macam suasana menjadi satu-kesatuan yang utuh; perasaan senang, haru, sedih, dan perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan istilah-istilah lama.
Semua itu dibungkus dalam susunan kalimat yang memiliki keterkaitan dan keterikatan satu sama lain.
Kahlil Gibran berhasil membawa pembaca pada sebuah musim yang tak pernah dijangkau pakar ilmu alam. Keadaan yang belum pernah dijelaskan dalam kitab-kitab sejarah. Dan, perasaan yang mengakar-liar menjadi kegilaan yang tak terbendung oleh aturan dan kekuatan zaman.
Ya, inilah benar-benar kisah cinta dua insan yang harus menemui jalan buntu di setiap kerinduannya. Sayap-sayap patah.
Namun, perjuangan keduanya untuk mengungkapkan rasa cinta yang menggebu-gebu selalu mempunyai cara.
Salah satunya ialah melalui pertemuan dalam sebuah kuil yang mungkin bagi keduanya adalah tempat paling romantis, tempat paling nyaman, dan tempat paling aman dari segala pihak yang menentang keduanya bersatu.
Berangkat dari kisah di atas, tak heran jika penulis memiliki pengertian tentang cinta yang tercantum di halaman 25 yang berbunyi sebagai berikut:
“Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia ini karena begitu tinggi mengangkat jiwa, di mana hukum-hukum kemanusiaan dan kenyataan alam tidak mampu menemukan jejaknya”
#LombaResensiMilenialisid
Editor: Lail
Gambar: Google
Comments