Judul buku: Catatan Tentang Dunia yang Gelisah; Penulis: Matt Haig; Penerjemah: Annisa Cinantya Putri; Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2022; Tebal: 356 halaman.

Spontan saya bersikap sinis, membaca berita tentang sosok bernama Soleh. Pasalnya meskipun cuma seekor kucing, konyolnya ia dilantik menjadi “pegawai pajak”. Menjabat sebagai Penyuluh Ahli Meow, lengkap berkalung atribut ID card

Semula, kesinisan itu ingin saya eksplor dalam sebuah tulisan. Intinya, orang-orang sudah mulai tidak waras. Di zaman algoritma, kok malah “mempekerjakan” kucing. Konon, kehadiran si Soleh menjadi moodbooster bagi pegawai di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Serpong. 

Tulisan itu mangkrak. Sampai kemudian saya terbujuk untuk membaca Notes on Nervous Planet. Dalam buku karya Matt Haig yang dialihbahasakan menjadi Catatan Tentang Dunia yang Gelisah ini saya menemukan kalimat: “Kedekatan dengan hewan punya efek terpeutik karena banyak alasan. Satu, hewan bukan sumber berita” . 

Fokus pada Cemas

Jangan salah terka dulu. Bukan berarti buku ini fokus pada ulasan tentang hewan yang menyembuhkan kebosanan manusia di dunia kerja. Pada bab permulaan, Matt Haig meng-copy paste 18 judul berita. Hanya untuk mengkonfirmasi, dunia ini dijejali berita penuh kecemasan, dramatis, bombastis. Judul yang menampilkan kata kesepian, bunuh diri, kecemasan, stress, eating disorder, remaja rapuh, panik dan gangguan jiwa. Tampak dia ngegas, agar pembacanya mengamini bahwa isu kesehatan mental itu nyata. Bukan sepotong isu instan, tidak eksklusif milik para selebritis.  

Oh ya, bertebal 356 halaman, buku ini tak bisa disebut tipis. Kabar baiknya, bukan bacaan yang bikin dahi berkerut, lagaknya memikirkan rakyat. Bab-bab tersaji dengan ringkas. Kabar buruknya, saya sulit menemukan keterhubungan yang jelas antar bab. Tidak terstruktur, nyaris tanpa plot. Beberapa pikiran yang sama terulang dan tersebar di beberapa bagian. 

Kadang ia mengajak mengeksplorasi masalah. Di bagian lain, menyajikan tips “do and don’t”. Ada pula bab yang memuat puisi pendek dan anekdot. Mengingat “catatan” menjadi bagian dari judul bukunya, saya menjadi maklum. Lagi pula selain menulis non fiksi ini, dia juga novelis, bukan? Midnight Library, salah satu novelnya. Yang pasti, tulisannya disajikan berbasis pengalaman pribadi penulisnya dalam mengatasi cemas dan depresi. 

Sistem Saraf Global

Diakuinya fenomena kecemasan bertolak dari adanya nilai-nilai kehidupan modern sekarang. Nilai yang menginginkan lebih dari yang kita punya. Memuja-muja kerja, senantiasa merasa kurang, serta membandingkan sisi terburuk kita dengan versi terbaik orang lain. Dan, tantangan kita adalah bagaimana bertahan hidup dan tetap waras di zaman edan.

Nilai-nilai kehidupan modern tersebut berkombinasi dengan laju perubahan berakibat pada kerusakan kesehatan mental. Gangguan itu bukan lagi individual melainkan menjadi masalah sosial. Dengan koneksi 7 hari / 24 jam, dunia menjelma menjadi sistem saraf global. 

Emosi di sana menjalar secara kolektif menjadi emosi di sini dan emosi yang kerap muncul adalah cemas. Sehingga kesehatan mental ini berkembang sebagai masalah global. Visual sampul buku bergambar bola dunia, kiranya cukup mewakili pernyataan ini. 

Tak sulit untuk menegaskan, planet ini begitu tertekan. Dalam dunia pendidikan, terjadi fenomena “berkesadaran terbalik”. Sistem pendidikan adalah dunia studi masa depan. Orientasi yang berfokus pada bagaimana lulus, diterima di perguruan tinggi favorit, menembus lamaran kerja. Kita sekolah karena ingin “imbalan” masa depan. Belajar bukan karena manfaat belajarnya, untuk sayang sesama dan dan mencintai kehidupan. Galau tentang masa depan berakibat pada terputus dengan kehidupan sekarang. 

Dalam dunia orang dewasa, pekerjaan seakan menjadi toksik. Lebih bangga lembur, daripada banyak waktu di rumah. Tak sibuk berarti tidak produktif. Tak lupa, Haig menyinggung dunia politik yang membagi manusia menjadi kiri dan kanan. Soal ini, bukankah di Indonesia aspek politik sangat mempermainkan emosi kita beberapa tahun ini? 

Tengoklah, hal yang seolah individual, masalah penampilan. Hasrat untuk cantik ketika manusia mencapainya, tetap saja tak bikin bahagia. Bingung mau memakai baju apa hari ini, adalah contohnya. Maraknya operasi plastik dan boneka seks bionik adalah wujud ketidakmampuan manusia mengatasi cemas dan minder. 

Dan yang paling pokok adalah relasi bucin kita dengan teknologi. Ponsel dengan jaringan internetnya adalah sumber berita. Segala macam berita, informasi, iklan, hoaks baik di situs berita, facebook, twitter, instagram, grup whatsapp, youtube, tiktok dan sebagainya. 

Ponsel lowbat saja sudah membuat resah. Segala hal yang viral di medsos membuat banyak orang “kesurupan” dan ikut-ikutan. Inilah histeria massal. Dengan acak saya bisa menyebut contohnya, “Kamu Nanya?”.

Begitu nyetatus, manusia digital penasaran mengecek siapa dan berapa yang view. Kita kerap tergoda melihat rating kita. Klik-klik di atas layar, memancing produk-produk nongol di beranda marketplace. Manusia menjadi gelisah, beli tidak ya? 

Paradoks Kesepian

Pantas saja dunia ini penuh dengan manusia kesepian. Paradoks kehidupan modern hari ini adalah terhubung sekaligus kesepian. Secara teori, mestinya manusia modern tidak kesepian. Inilah paradoks berikutnya, semakin banyak stimulasi dari luar, justru semakin bosan. Jadi, lingkungan digital tidak akan memenuhi semua kebutuhan kita, bukan? 

Dunia yang gelisah membuat penghuninya menjadi lupa. Lupa hal-hal yang terlihat remeh. Lupa bahwa tidur itu membahagiakan. Banyak pula yang lupa, berada dekat dengan keluarga adalah kedamaian. Ada sahabat yang lama tak dikunjungi. Lupa banyak buku yang perlu dibaca. Lupa menghirup udara dan menyapa tetangga. Sejatinya kita sedang melupakan kebahagiaan diri sendiri. 

Manusia kesepian seperti produk Apple. Kita enggan membongkarnya, tak mau mengetahui isinya dan tak mampu mengenali masalahnya. Padahal simpel saja, kesepian adalah akibat antar manusia tidak terhubung langsung.

Ada dalih utama sering dimunculkan, yaitu kita kekurangan waktu. Hasrat untuk selalu up to date mendorong perilaku impulsif. Bukankah benda-benda modern diciptakan untuk efisiensi? Agar masak lebih cepat, mengetik dengan segera, naik mobil lebih melesat, rambut kering nggak pake lama, dan sebagainya. Sejatinya, inti masalahnya kita memiliki banyak hal secara berlebihan. Kita melayani waktu, bukan waktu yang melayani kita.

Prioritas

Buku ini membawa pesan. Kesehatan mental sama penting dan bagian dari kesejahteraan fisik. Karenanya, cara hidup berkesadaran, meditasi, minimalis, adalah respon yang dianjurkan untuk menyeimbangkan yin dan yang dalam dunia super sibuk.

Hidup masa kini memang semakin mudah, praktis. Siapa saja bebas berpendapat, dengan akses tanpa batas. Sebaliknya, kelimpahan pilihan membuat manusia menjadi bingung, dan stress dan cemas.

Pada akhirnya, bagaimana kita membuat prioritas. Hidup ini perlu kita sunting. Buang yang tak perlu, hapus yang tak penting. Editlah pilihan kita. Ambil seperlunya, kita tak butuh segalanya. Praktiknya, ini dilakukan dengan hal-hal sederhana: tidur tepat waktu, matikan notifikasi, jangan banyak googling gejala penyakit, tidak harus selalu patuh untuk membalas surel, tak perlu selalu mengikuti percakapan grup whatsapp. Terkadang biarkan saja berita lewat tanpa dibaca, tak apa meski menjadi basi. Perbanyaklah berperilaku offline

Kalau boleh jujur, tak ada ide revolusioner dalam buku ini. Namun, ia sukses mengeksplorasi hubungan antara kecemasan dengan dunia modern kita. Hebatnya lagi, dideskripsikan dengan mendalam dan akurat. Bacaan yang relate dengan masalah kekinian dan cocok untuk lintas generasi. 

Secara pribadi, buku ini sukses meralat kesinisan saya dalam menilai kehadiran kucing bernama Soleh. Yang terlihat konyol, boleh jadi sebetulnya tengah menjaga kewarasan. Interaksi dengan Si Soleh adalah barangkali adalah satu cara melepas sebentar dari medsos, berita, gaya hidup yang memuja kecepatan dan kebiasaan dunia modern yang membawa kegelisahan. 

Dekat dengan sesama, dengan alam, dengan makhluk lainnya sejatinya cara untuk peduli dan membahagiakan diri. Kelihatannya memang tidak revolusioner. Tapi dari sudut kesehatan mental,  itu lah cara bertahan waras di dunia edan. 

Hidup kita diliputi cemas. Kalau tak setuju, tanyalah pada diri sendiri, di mana kita meletakkan ponsel saat tidur? Kebiasaan meletakkan ponsel di dekat tempat tidur menjadi bukti penting manusia terinfeksi kecemasan. Sungguh jenaka, bagaimana Matt Haig membuat perumpamaan. Cita-cita menjaga jarak dari medsos bagaikan membujuk Korea Utara untuk melucuti program nuklirnya. Perlu keberanian “mengedit” kehidupan ini. Tak melulu copy paste. Butuh nyali pula men-delete kebiasaan yang membuat kita makin cemas. Dunia sudah edan, penting untuk menyuntingnya agar kita bertahan dalam kewarasan. Catatan dalam Notes on Nervous Planet ini dapat jadi booster nyali pembacanya.  
#LombaResensiMilenialis.id

Editor: ciqa

Gambar: Google