Ayah saya adalah seorang nahkoda kapal kargo dengan pangkat kapten pada salah satu perusahaan pelayaran BUMN selama lebih dari 30 tahun sampai blio pensiun di tahun 1998. Saat masih anak-anak, saya diberi privilege untuk menikmati segala hal dalam hidup mulai dikasih oleh-oleh dari luar negeri, sampai kebebasan untuk naik ke atas kapal yang ayah saya kemudikan, termasuk mengeksplorasi setiap bagian kapal, termasuk ruangan mesin dengan bebasnya. 

Berikut ini alasan saya kenapa saya malah sama sekali gak tertarik menjadi nakhoda seperti ayah saya.

#1 Gak Bisa Bebas

Sejak kecil, banyak rekan kerja ayah saya hingga sanak saudara saya yang ‘mendorong’ saya untuk melanjutkan pendidikan saya ke sekolah pelayaran seperti yang ayah saya lakukan puluhan tahun yang lalu. Tentu saja supaya saya ikut menjadi nakhoda seperti blio. Udah ada jalurnya, tinggal diarahkan saja. Teman saya juga banyak yang bertanya kenapa saya nggak menjadi nakhoda seperti ayah saya.

Menurut saya, jadi nakhoda itu gak bisa bebas sama sekali, persis seperti jadi anggota TNI atau anggota Polri. Rambut harus cepak, harus disiplin, dan punya hierarki yang sama kakunya dengan dua lembaga tersebut. Saya menilai, saya bukan orang yang seperti itu. Saya justru pengennya jadi anak band berambut gondrong yang bisa bebas mengkesplorasi apapun yang saya sukai, termasuk naik gunung, traveling, sampai main game seharian. Kalau jadi nakhoda, mana bisa bebas kayak gitu?

#2 Gak Bisa Matematika

Sejak SD, saya ini lemah banget sama pelajaran matematika meskipun sudah ikut bimbel atau les privat sana-sini, udah kayak Nobita aja. Saya termasuk anak yang lambat ketika mencerna konsep matematika seperti aljabar, trigonometri, sampai konsep integral. Ketika sudah paham pun, saya mudah kebingungan ketika diberi soal dengan angka yang sedikit berbeda. Hal ini bikin saya benci banget dengan ketidakmampuan saya akan matematika.

Meskipun tidak bisa matematika, bukan berarti saya benci dengan matematikanya. Saya sendiri sudah mencoba ujian masuk ITB sebanyak tiga kali meskipun tiga-tiganya gagal. Hal tersebut bikin saya gak berminat jadi nahkoda karena jadi nakhoda banyak hitung-hitungannya. Seperti menghitung jarak tempuh, kecepatan kapal, hingga navigasi. Kalau saya dikasih otak yang encer sih gak masalah. Masalahnya saya ini kan lemot banget dalam bidang matematika.

#3 Kehidupan Nakhoda Gak Seasyik Kelihatannya

Banyak orang yang bilang, jadi nahkoda itu asyik. Bisa jalan-jalan keliling dunia gratis, udah gitu dibayar. Di luar waktu dinas, saat kapal berlabuh di pelabuhan, bisa jalan-jalan keliling kota, belanja, minum-minum, sampai cari cewek. Bahkan bisa pesta liar untuk melepas stress setelah berbulan-bulan di atas kapal gak ada hiburan sama sekali.

Alih-alih jadi orang yang suka melepas stress seperti yang saya sebutkan di atas, ayah saya malah jadi sosok kapten religius saat keliling Eropa. Waktu seumuran saya, uang yang blio dapatkan malah dipakai naik haji. Waktu sudah menikah, blio malah membawa ibu saya ke kapal buat keliling Eropa. Jadi nahkoda juga sibuk banget, gak seperti gambaran orang-orang.

Saking sibuknya, saya baru lahir saat ibu saya hampir 40 tahun, dan umur ayah saya umur 50an. Berkaca dari hal tersebut, saya menilai kehidupan nahkoda itu gak ada asyik-asyiknya.

#4 Gaji Nahkoda Tidak Sebesar Itu

Banyak orang yang bilang, jadi nakhoda seperti ayah saya gajinya besar. Apalagi blio pangkatnya kapten dan kerja di perusahaan pelayaran milik BUMN. Nih, saya kasih tahu, meskipun bekerja di salah satu perusahaan BUMN, ayah saya dan ribuan karyawan tempatnya bekerja sejak tahun 1998 gak dapat uang pensiunan sama sekali karena perusahaannya pailit. Udah dibawa ke Mahkamah Agung juga tidak bisa dilakukan apa-apa karena uangnya memang tidak ada karena kesalahan manajerial para petingginya.

Sejak kejadian tersebut, ayah saya terpaksa membiayai saya sekolah sampai jadi sarjana dengan uang tabungan yang sudah blio kumpulkan selama puluhan tahun soalnya gak ada uang pensiunan. Saya memang bisa menyelesaikan pendidikan saya sampai tingkat sarjana, tapi tidak semewah orang-orang yang bisa memiliki sepeda motor atau laptop canggih.

Semua rekan kerja ayah saya dengan pangkat yang setara pun saat ini gak kaya-kaya amat, sekadar cukup doang. Bahkan saat meninggal dunia, ayah saya tidak meninggalkan warisan sama sekali, hanya meninggalkan uang sebesar 500.000 Rupiah saja di ATM. Makanya saya gak tertarik jadi nahkoda sama sekali.

Yah, mungkin kalau zaman itu sudah ada financial planner seperti Ligwina Hananto yang suka ngasih tips mengatur keuangan, mungkin ayah saya udah investasi saham, emas, atau properti sehingga masa tuanya tidak sesengsara yang saya ceritakan di atas.

#5 Tanggung Jawabnya Besar

Alasan terakhir kenapa anak nakhoda nggak mau jadi nakhoda adalah karena beban moral yang tinggi. Harus merencanakan rute terbaik yang harus dilewati, harus menyelesaikan konflik yang terjadi pada anak buahnya, hingga harus menghadapi permasalahan lainnya seperti badai dan bajak laut.

Kalian pasti pernah nonton Titanic kan? Coba lihat, saat Titanic tenggelam Captain Edward John Smith malah berdiam diri di ruang kemudi kapal untuk ikut tenggelam bersama Titanic alih-alih menyelamatkan diri. Tahu alasannya? Bentuk tanggung jawab. Seorang kapten adalah orang yang sudah sepantasnya mementingkan keselamatan seluruh muatan dan seluruh anak buah kapal yang dipimpinnya alih-alih keselamatannya sendiri.

Pernah nonton film Captain Phillips yang dibintangi Tom Hanks? Coba lihat, jadi kapten kapal kargo seribet itu, apalagi pada rute-rute berbahaya yang rawan bajak laut seperti pada Perairan Somalia. Sampai-sampai Captain Phillips diculik karena lebih mementingkan muatan kapal dan anak buahnya. Alasannya? Bentuk tanggung jawab seperti yang saya sebutkan di atas.

Saya sih gak bisa kayak gitu. Waktu naik gunung bareng teman-teman kuliah aja saya egoisnya bukan main. Boro-boro berkorban, yang ada saya jadi orang egois yang paling banyak makan, paling cepat tidur, sampai kerjanya nyuruh-nyuruh doang. Makanya saya gak mau menjadi nakhoda, apalagi kalau pangkatnya kapten seperti ayah saya.  Saya sadar kalau saya gak bisa jadi pemimpin yang baik dan bijaksana. 

Foto: Pexels

Editor: Saa