Dulu, sewaktu SMA, beberapa bulan sebelum menjalani rangkaian ujian akhir, sekolah saya mengadakan sebuah acara semacam seminar motivasi. Salah seorang alumni SMA saya, yang kebetulan memiliki bisnis moncer menjadi salah satu pembicaranya.

Sesuai namanya, tentu saja isi dari seminar ini adalah motivasi untuk mengejar cita-cita dan apa-apa yang ingin dilakukan setelah rampung dari bangku SMA. Dalam seminar ini, sang motivator begitu menggebu-gebu menyampaikan tentang berbagai capaiannya dalam hal bisnis.

Peserta seminar, termasuk saya kala itu, sangat antusias mengikuti. Maklum, di lingkungan sekolah kami, acara seminar satu ini memang kerap dianggap sebagai acara pamungkas. 

Di salah satu rangkaian acara tersebut, ada sesi di mana peserta diminta untuk menuliskan 100 butir cita-cita, mimpi atau pun harapannya ke depan. Cita-cita yang paling ingin diwujudkan dalam waktu dekat wajib dituliskan, disusun dan dihias pada sebuah kertas besar. Semacam dream board begitu lah. Lantas, beberapa peserta diminta untuk mempresentasikan dream board miliknya.

Sewajarnya siswa kelas tiga SMA, mayoritas dream board tadi akan berisi tentang program studi atau kampus impian yang ingin mereka tuju, pekerjaan-pekerjaan ideal setelah lulus kuliah, dan hidup bahagia membina rumah tangga dengan pasangan. Intinya, semua yang disampaikan berada pada kondisi ideal. Ya, nggak salah juga sih, masak cita-cita kondisinya tidak ideal.

Seminar motivasi serupa tampaknya juga jamak ditemui di sekolah lain. Saya pernah menanyai beberapa kawan dari sekolah lain, dan ternyata seminar motivasi jenis ini memang umum diadakan. Mungkin hanya beda dalam hal teknis dan formatnya, esensinya tetap saja bercita-cita pada kondisi yang ideal.

Bahkan, jenis seminar motivasi ideal ini tidak hanya ditemui pada jenjang sekolah saja. Di perguruan tinggi juga banyak ditemui model seminar serupa. Pun juga sering ditemui dalam seminar-seminar bisnis. Semua yang dipaparkan dalam seminar jenis ini seolah berada pada kondisi yang serba ideal, mulus, dan baik-baik saja.

Setelah beberapa tahun berselang sejak mengikuti seminar motivasi di SMA, saat usia memasuki angka 20 something, saya menyadari betul bahwa seminar motivasi yang terlalu mengagungkan kondisi ideal ini, ternyata nggak relate-relate amat sama kondisi di lapangan. Loh kok bisa?

Begini lho, Bun Yorobun. Pada kenyataannya, kondisi yang kita hadapi sangat mungkin untuk menjadi kodisi yang tidak ideal. Dalam perjalanan menggapai cita-cita, mimpi, harapan, akan banyak sekali kita temui halangan atau bahkan kegagalan. Tidak selamanya apa-apa yang kita inginkan bisa kita capai dengan kondisi ideal.

Tidak berhasil berkuliah di kampus impian, menghadapi perpisahan, kerja yang tidak sesuai impian, putus hubungan kerja, dan banyak rupa kegagalan lainnya. Banyaknya rupa kegagalan ini tampaknya sangat jarang dibahas di dalam seminar motivasi. Padahal, kondisi tidak ideal dan kegagalan juga punya kemungkinan sama besarnya kelak akan kita hadapi.

Soal kegagalan ini saya jadi teringat tulisan Mas Arman Dhani, salah seorang jurnalis dan penulis buku. Di laman pribadi miliknya, dia menulis “Kita diajarkan cara untuk sukses, diajarkan cara untuk bisa jadi orang besar. Tapi nggak pernah diajarakan bagaimana menerima kegagalan atau bagaimana menjalani hidup sebagai orang biasa-biasa saja. Lantas saat kita berusaha dan gagal, kita benar-benar terpukul  lantas susah untuk bangkit.”       

Setelah membacanya, saya merasa kondisi di rentang usia 20-an ini begitu relate dengan apa yang disampaikan pada tulisan tersebut. Sejak kecil, saya memang selalu diajarkan untuk menjadi sukses dan memiliki cita-cita tinggi. Tapi, kenyataannya di usia sekarang, banyak kondisi yang memang membuat saya mengalamai kesulitan untuk menggapai cita-cita yang tinggi itu. Dan mulai memikirkan untuk hidup biasa-biasa saja.

Bukan, ini bukan sikap pesimitis dan menyerah dengan keadaan. Bagi saya, ini justru sikap untuk berpikir lebih realistis menyesuaikan keadaan. Semacam adaptif. Tidak terlalu memaksakan. Tidak terlalu membebankan diri. Dan tentu saja tidak terlalu mengikuti standar-standar omongan orang. Secukupnya saja. Samadyane wae.

Sikap menyiapkan kegagalan dan berusaha hidup biasa-biasa saja ini, yang barangkali terlambat untuk saya sadari. Andai kata saya menyadarinya lebih awal, mungkin saya akan lebih bersikap tenang dalam menjalani hidup yang kerap tidak ideal ini.

Ya gimana, ya, dari dulu saya dicekoki seminar motivasi melulu, sih. Seminar menyiapkan kegagalan memang jarang, atau nyaris tidak pernah saya temui. Padahal, sebagaimana seminar motivasi, seminar menyiapkan kegagalan dan hidup biasa-biasa saja juga perlu ada. Teman-teman, apakah ada yang tertarik mengadakan? Saya mau daftar!

Editor : Hiz

Foto : Pexels/LuisQuintero