Ada kabar yang tidak mengenakkan kemarin. Salah satu pasangan muda yang tidak lain adalah sepupu saya, harus berpisah dengan anak pertama mereka. Bayi yang telah dinantikan setelah beberapa tahun pernikahan –yang ucapan selamat atas kelahirannya baru saya sampaikan kurang dari seminggu yang lalu.

Begitu mendapat kabar ini, saya kaget. Siapa yang tidak? Membuat saya tak sampai hati untuk bertanya mengapa dan apa penyebabnya. Tak etis, dan lagipula tak ada gunanya bagi saya untuk sekadar tahu. Apalagi bagi kedua orang tuanya.

Peristiwa yang menimpa sepupu tadi membuat saya berpikir nyaris seharian. Anak siap dan mampu melepas kepergian orang tua adalah satu hal, tetapi bagaimana dengan sebaliknya? Kesiapan dan kemampuan orang tua melepas kepergian anaknya.

Seolah-olah menjadi kodratnya, bahwa orang tua dan anak-anaknya akan saling meninggalkan satu sama lain. Hanya saja, dari dua pilihan skenario yang tersedia, “masih akan lebih baik” jika orang tua yang meninggal terlebih dahulu ketimbang anak-anaknya. Yang oleh karenanya, pembahasan tentang kesiapan anak ditinggal orang tuanya jauh lebih banyak daripada sebaliknya.

Sebagai seseorang yang belum punya anak–dan entah kapan punya anak–saya tentu sangat lancang untuk berpendapat. Selain lantaran sok tahu, mustahil bagi saya untuk benar-benar mengerti, merasakan, dan memahami apa yang sepupu saya alami. Namun, saya justru terpikir bahwa salah satu kesiapan dasar bagi para orang tua adalah kesiapan ditinggal oleh anak-anaknya. Bahkan, dalam hal ini, bukan semata-mata perihal maut.

Siap ditinggalkan

Setujukah kamu, bila salah satu fungsi orang tua adalah mempersiapkan anak agar mampu berpisah dari mereka suatu hari? Konteksnya adalah kemandirian -mampu menjalani dan mengelola kehidupannya sendiri, juga tidak lagi bergantung pada orang tua.

Dari kecil kita dibesarkan bersama sejumlah pengetahuan dan pemahaman. Kita disekolahkan dengan preferensi masing-masing. Kita ditumbuhkembangkan sesuai lingkungan keluarga masing-masing. Dari seorang bocah, tahu-tahu menjadi “seseorang” dengan kompleksitas hidupnya sendiri. Tidak sedikit yang malah mampu lebih besar daripada kedua orang tuanya. Menjadi figur yang mengemuka, hidup di atas angin. Situasi ini bisa menenangkan hati orang tuanya, membuat mereka merasa sudah menunaikan tugas dan tanggung jawab sebagai pendahulu manusia-manusia lainnya.

Dengan kemandirian (yang turut dibangun dan dipersiapkan oleh para orang tua) tersebut, memberikan sedikit kepastian bahwa anak-anaknya dapat terus hidup, meneruskan hidupnya sendiri. Tidak terlunta-lunta karena ketidaktahuan, dan tidak diombang-ambingkan keraguan. Sehingga tatkala ajal para orang tua itu datang, mereka bisa yakin dan tenang bahwa anak-anaknya tetap bisa hidup dan berkehidupan.

Aspek-aspek pemikiran di atas pun juga terefleksi pada kehidupan sang anak. Mereka harus mampu, berkemampuan, dan mandiri, agar bisa tetap hidup dan berkehidupan tanpa bergantung pada orang tua mereka.

Dari titik ini, setelah orang tua “ditinggalkan” oleh anak-anaknya yang menjalani kehidupan masing-masing, lalu mengarah pada perkara baru. Sesiap apakah para orang tua tersebut melanjutkan kehidupannya?

Menjadi semacam siklus lestari. Orang tua mempersiapkan anaknya agar bisa hidup terpisah dan mandiri. Kemudian setelah sang anak benar-benar mandiri, giliran orang tua mempersiapkan hidupnya yang “baru”. Menjadi mandiri tanpa kehadiran dan interaksi langsung dari anak-anaknya. Begitu pula seterusnya, sang anak yang telah mandiri dan pada akhirnya memiliki anak-anaknya sendiri pun bakal meneruskan misi yang serupa.

Segala hal yang terpikirkan kemarin sampai dini hari tadi–saat menulis ini–sementara berujung ke satu kesimpulan sederhana;

Kesiapan untuk meninggalkan, dan ditinggalkan, adalah sebuah keniscayaan. Mustahil terelakkan.

Berat memang, tapi semoga kita semua mampu pada akhirnya.

 

Penulis: Nadhifah Azhar