Dunia kampus nggak selamanya bisa disematkan sebagai wadah pembentukan karakter dan perwujudan keadilan, karena kampus yang menyandang sebagai tempatnya orang kaum terdidik justru tak sedikit juga ada oknum yang bisa merusak citra pendidikan.
Bicara mengenai dunia kampus, mungkin tak sedikit persoalan yang bisa ditemukan. Mengapa kampus menjadi hal sensitif dan kadang menuai banyak persoalan yang menghebohkan publik? Karena kampus merupakan satu-satunya wadah yang diharapkan dapat mewujudkan orang-orang terdidik, terpelajar, dan perbuatannya bisa secara adil.
Birokrasi kampus yang ruwet
Tetapi, yang terjadi banyak oknum yang justru melukai notabene kampus itu sendiri. Mulai dari birokrat kampus, yang mempersulit mahasiswa dan secara tak sadar mencekik orang miskin dengan mahalnya biaya pendidikan, dan terlebih sistem birokrasi yang bisa mempersulit mahasiswa. Ujungnya kampus dijadikan sebagai ladang mencari keuntungan sendiri, ajang untuk berbisnis, dan kultur pendidikan karakter pun mulai luntur. Sehingga yang terjadi, kampus terkesan hanya untuk menciptakan manusia yang siap bekerja tanpa peduli bagaimana sikap dan karakter mereka.
Sejatinya kampus nggak boleh dijadikan ladang untuk berbisnis, dengan alasan apa pun itu tetap salah. Kampus memang harus bisa memasang badan tempatnya untuk menguras ilmu pengetahuan dan pendidikan, nggak lebih dari itu.
Kampus harus bisa hadir untuk merangkul semua pihak dari berbagai golongan dan perekonomian yang bermacam-macam, kampus harus menjadi wadah untuk bisa memutus rantai kemiskinan. Maka dari itu, kampus nggak boleh menolak atau mengeluarkan mahasiswa yang nggak mampu dari segi ekonomi. Jika ada mahasiswa yang nggak mampu membayar biaya pendidikan di kampus, maka pemerintah dan pihak kampus harus mencarikan solusinya supaya mahasiswa tersebut nggak putus pendidikan.
Problem sumbang buku ke perpustakaan kampus
Dari sekian banyak persoalan yang dapat ditemukan di kampus, sumbang buku di perpustakaan kampus sebagai syarat agar bisa ikut wisuda bagian dari persoalan yang patut dievaluasi. Mungkin masalahnya terbilang sepele, atau bahkan ada yang menganggap ini bukan suatu persoalan.
Sebenarnya sumbang di perpustakaan kampus itu nggak ada rujukan kebijakannya, sumbang buku di perpustakaan kampus ini dinotasikan hanya sebagai bentuk pengabdian mahasiswa yang akan mau meninggalkan kampusnya. Mungkin nggak semua kampus di Indonesia menerapkan kebijakan ini, tapi di kampus saya di Universitas Sulawesi Barat, di Majene menerapkan ini dan kadang dapat membuat sebal mahasiswa.
Akumulasi sumbangan buku
Maksud saya gini, tentu nggak kentara kalau menyumbang satu atau dua buku saja. Tetapi jika buku itu diakumulasikan dari setiap mahasiswa, kan buku itu akan ribuan jadinya yang akan terkumpul. Berapa banyak uang itu habis, misalnya per mahasiswa kita-kita rata-ratakan menyumbang satu buku dengan harga Rp.100.000, jadi kalau ada 2.000 mahasiswa yang mau wisuda dan menyumbng buku semua. Total uang yang keluar hanya untuk uang sumbang buku sebesar Rp.200.000.000. Kan mengerikan kalau begitu apalagi berada di tempatnya orang-orang kaum terdidik.
Justru menjadi sangat vatal, jika sumbang buku ke perpustakaan kampus kalau sudah menjadi budaya dan menjadi kewajiban yang tak bisa dilanggar mahasiswa. Kalau mahasiswa yang keluarganya berdompet tebal, mungkin nggak apa-apa banget. Tapi, bagaimana kalau mahasiswa yang perekonomian keluarganya pas-pasan, makan aja susah. Kan itu bisa mengerikan buat mereka.
Wisuda banyak pengeluaran
Belum lagi, saat menjelang wisuda, ada banyak biaya yang harus dikeluarkan, mulai dari bayar sewa baju wisuda, biaya foto wisuda, terlebih juga akan banyak biaya kebutuhan yang lain. Namun jika ditambah lagi kewajiban membeli buku untuk disumbangkan ke kampus, kan bisa mencekik itu.
Bukannya pelit dan nggak mau menyumbang buku ke perpustakaan kampus, tapi kenapa buku perpustakaan malah dibebani lagi kepada mahasiswanya. Belum cukupkah membebani mahasiswa dengan pembayaran UKT tiap semester. Pernahkah berpikir bagaimana nasib orang tua mahasiswa berupaya keras hanya bisa melihat anaknya mampu membayar UKT. Kenapa buku perpustakaan kampus, harus mahasiswa lagi yang tanggung?
UKT mahasiswa kemana?
Lalu kemana UKT mahasiswa yang tiap semester itu dibayarkan. Kenapa bukan itu saja yang disisakan untuk membeli buku perpustakaan kalau memang anggaran buku perpustakaan kampus nggak ada? Kan lumayan buku yang bisa terkumpul kalau tiap semester menyisakan Rp.100.000 dari UKT tiap mahasiswa.
Bukan itu saja yang jadi persoalan, sumbang buku di perpustakaan kampus nggak boleh juga sembarangan buku. Ada standar sendiri yang telah ditentukan pihak kampus, seperti terbitan 5 tahun ke belakang.
Seraahkan saja pada komunitas baca
Menurut hemat saya, kalau mau nyumbang buku, lebih diserahkan kepada komunitas-komunitas literasi yang program kerjanya jelas, mereka ada program lapak baca untuk menggaet anak muda bisa melek baca buku. Mereka nggak ribet harus buku itu dan buku ini, sederhanya mereka nggak memaksakan. Saya rasa itu lebih berfaedah, ketimbang sumbang buku ke perpustakaan kampus yang belum tentu akan dibaca juga mahasiswa.
Untuk birokrat kampus, sumbang buku ke perpustakaan kampus ini patut dievaluasi dan kebijakan ini menurut saya aneh. Sudahlah, mahasiswa sudah terbebani berat dengan pembayaran UKT. Cukup sampai disitu saja, mahasiswa merasakan pedihnya pendidikan. Kampus jangan dijadikan sebagai ladang untuk berbisnis, karena kampus tempatnya manusia kaum terdidik, bukan seperti pasar yang tempatnya untuk mengeruk keuntungan.
Editor: Assalimi
Gambar: Pexels
Comments