Masyarakat awam, khususnya para orang tua yang ada di desa masih beranggapan bahwa beasiswa pendidikan itu diberikan pada 2 golongan. Golongan pertama adalah mereka yang punya prestasi bagus, sementara golongan kedua adalah mereka yang kurang mampu. Namun, faktanya masih ada satu jalur lain. Jalur yang benar-benar menjamin kita bisa lolos seleksi beasiswa meskipun nggak punya prestasi apa-apa dan punya rumah paling mewah se-RW. Jalur apa lagi kalau bukan jalur orang dalam. Masyarakat awam di desa mungkin banyak yang nggak menyangka bahwa praktik busuk tersebut terjadi di bawah payung pendidikan, apalagi hal tersebut menyangkut beasiswa.

Ketika masyarakat awam tersebut bertemu mahasiswa yang dapat beasiswa, ya mereka menganggap bahwa mahasiswa termaktub merupakan anak yang pinter atau berasal dari keluarga yang kurang mampu. Mereka nggak akan kepikiran kalau ada campur tangan orang dalam saat seleksi beasiswa. Belum lagi kalau mahasiswa tersebut kuliah di kampus yang berlabel Islam, masyarakat akan menganggapnya sebagai paket komplit menantu idaman. Udah pinter, mau belajar agama, pasti berakhlak mulia pula. Padahal kenyataannya sama saja, kampus yang berlabel Islam juga melakukan praktik jalur orang dalam saat seleksi beasiswa.

Kalau kayak gitu, bukannya hal tersebut sama aja dengan kasus penistaan agama ya?. Coba lihat! Di depan pasang label agama, tapi di belakang malah menzalimi orang-orang yang tak berdaya. Agama dijadikan kedok untuk menutupi praktik busuk, hipokrit yang sungguh nggak main-main. Terus, kalau yang nggak ada label agama gimana? Ya sama aja! Lha wong mereka melakukannya di bawah payung pendidikan, payung yang digadang-gadang bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Pertanyaan terbesarnya, para mahasiswa yang dapat beasiswa jalur orang dalam itu apa nggak ngerasa berdosa?.

 Seandainya mau menjawab, “Halah, nggak usah sok suci deh! Semua orang juga punya dosa, cuma jalannya beda-beda”. Iya, saya tahu; saya juga sadar kalau saya berlumuran dosa. Tapi masalahnya dosa kalian itu nggak bisa langsung diampuni hanya dengan mengucap ‘astaghfirullah al-‘azhim’. Saya bukan mencoba mendramatisasi, memang seperti itulah kenyataannya. Coba pikir! Kalian udah merebut hak orang lain, hak untuk mendapat keringanan biaya pendidikan. Ya kalau kalian punya prestasi yang memadai atau berasal dari golongan kurang mampu, it’s okelah! Nggak masalah. Lha kalau kalian udah nggak punya prestasi, berasal dari keluarga yang kaya pula, itu namanya semena-mena.

Melalui beasiswa yang kalian dapatkan dengan cara busuk itu, ada satu orang―bahkan mungkin banyak―yang terpaksa putus kuliah karena tak mampu membayar biayanya. Kalian sama saja memutus satu jalur kesejahteraan bagi mereka. Ketika kalian menikmati uang beasiswa secara hedonistik, apa kalian nggak merasa bahwa uang itu sebenarnya hendak digunakan oleh seseorang untuk membeli beras guna mencukupi makan sehari-hari?. Kalian semua punya otak dubur kan? Masa’ nggak bisa mikir sampe’ segitu? Ironis sekali.

Saya heran, kalian kok bisa bangga ya menunjukkan kepada publik bahwa kalian adalah penerima beasiswa. Padahal, kalian mendapatkannya dengan merampas paksa hak orang lain. Yah, mungkin saat ini publik nggak tahu perbuatan busuk kalian itu. Tapi ingat! Tuhan nggak pernah tidur, dan semesta punya hukum kausalitas (hukum sebab-akibat). Jika nanti hak kalian dirampas paksa oleh orang lain, itu berarti akibat dari perbuatan busuk yang kalian lakukan secara sadar dan tanpa rasa bersalah tadi. Bila itu nggak terjadi pada kalian, bisa saja keluarga kalian yang kena imbasnya, ayah-ibu, kakak-adik, atau anak-anak kalian. Memang seperti itulah semesta bekerja. Tenang! Nggak ada yang tahu kok kapan imbas itu akan menimpa. Jadi, tinggal tunggu mainnya sambil foya-foya ngabisin duit beasiswa yang didapat dari cara yang busuk.

Oh iya, kalian apa juga nggak pernah mikir, bisa jadi orang-orang yang terpaksa bekerja sebagai―mohon maaf―PSK itu penyebabnya adalah perbuatan busuk kalian?. Sering kali mereka terpaksa menjalani pekerjaan tersebut karena tuntutan ekonomi. Mereka terpaksa menerima cap hitam dari masyarakat dan hidup di bawah rasa bersalah yang terus menghantui. Seandainya kalian nggak merebut kursi beasiswa dengan cara yang busuk, mungkin orang-orang yang terpaksa jadi PSK itu nggak akan sampai berenang di kubangan dosa.

Bila yang terjadi memang demikian, kalian yang secara tidak langsung menyebabkan orang-orang tadi terpaksa menjadi PSK, bukankah kalian dapat imbas dosa jariah?. Sekali lagi, kalian punya otak dubur kan? Masa’ nggak bisa mikir sampe’ segitu?. Hadeeehhh! Kader-kader Juliari Batubara memang seperti itu; suka belagu di awal, nanti kalau sudah ketahuan dan kena imbasnya baru deh merasa diri paling menderita. Punya kelakuan mbok ya jangan nggilani-nggilani banget gitu lho!

Editor: Nawa

Gambar: Detik.co