Beberapa tahun yang lalu ketika mengikuti kelas Psikologi Sosial dan saat kami sedang membahas perkara mengenai stereotype dan prejudice, dosen saya berkata bahwa kultur dan masyarakat kita masih banyak yang mengutamakan tampang, daripada attitude. Memiliki paras good-looking seakan menyelesaikan separuh dari masalah hidup. Tidak apa-apa kalau kamu kurang pintar, suka melakukan ghosting, atau berbuat kesalahan keji sekalipun. Asal, kamu harus good-looking!

Mirisnya, karya seseorang juga kadang tidak dianggap hanya karena dia memiliki paras yang tidak masuk dalam standar good-looking tadi. Hal ini, didukung pula dalam sebuah hasil dari studi psikologi mengenai bias kognitif. Menurut riset, kita otomatis memberikan penilaian baik seperti baik hati, jujur, dan pintar kepada orang yang “good-looking.”

Situasi menilai dan mengevaluasi orang lain secara sepintas tersebut dikenal dengan Halo Effect. Halo Effect adalah istilah dalam psikologi untuk menyebut kejadian yang kamu alami saat memiliki kesan pertama pada seseorang.

Edward Thorndike, psikolog yang pertama kali melontarkan istilah Halo effect tersebut dalam ulasan hasil risetnya yang berjudul The Constant Error in Psychological Ratings (1920), mengkaji dan meneliti cara para komandan militer menilai kualitas karakter para prajurit bawahan mereka. Penilaian para perwira itu, menurut Edward, mencakup kualitas kepemimpinan, fisik, kecerdasan, hingga kesetiaan yang ada pada bawahan mereka.

Surprisingly, risetnya mendapat kesimpulan hasil bahwa penilaian positif atau negatif dari para komandan cenderung dipengaruhi oleh salah satu sifat prajurit mereka, seperti kualitas fisik. Misalnya, prajurit dengan tubuh tinggi dan fisik menarik dianggap cerdas. Fenomena bias kognitif terhadap penilaian kualitas karakter seseorang ini juga berdampak pada berbagai bidang, termasuk pendidikan, ketenagakerjaan hingga pemasaran.

Fakta yang Terjadi di Masyarakat

Fenomena ini, bias karena penilaian tampang, rupanya terdapat pula pada warganet Twitter saat menyikapi kasus Isabella Guzman, gadis berusia 18 tahun yang menikam ibu kandungnya sendiri hingga tewas dengan tikaman sebanyak 151 kali.

Alih-alih mengambil pelajaran tentang berbakti kepada orang tua, isu soal toxic parent, dampak perceraian bagi anak, atau membahas mental issue lainnya seperti yang kemudian dinyatakan di persidangan bahwa Isabella adalah pengidap skizofrenia paranoid, warganet secara kurang penting malah membahas tingkah cute Isabella dan memperbincangkan kecantikannya! Meski ada yang berdalih bercanda, apa itu merupakan hal yang benar dan tidak apa-apa jika kamu menjadi pembunuh kalau kamu good-looking?

Frasa good-looking juga menuai perhatian warganet bahkan kecaman dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika Menteri Agama Fachrul Razi menarasikan bahwa orang-orang yang radikal adalah mereka yang good-looking, pengetahuan agamanya mumpuni, menguasai Bahasa Arab, dan hafal Qur’an. Terlepas dari pernyataan Pak Menteri yang cukup ngawur dan menimbulkan kegaduhan di kalangan masyarakat tersebut, kita jadi tahu bahwa kesan pertama kita terhadap orang lain tidak selamanya benar.

Selain itu, ada highlight yang sebenarnya perlu kita garisbawahi lho, millennials. Agaknya, Pak Menteri pun setuju, kalau good-looking saja  tidak cukup dan tidak ada apa-apanya, kalau tidak disertai dengan potensi lain yang kita miliki seperti wawasan yang luas, attitude yang meyakinkan, juga pemahaman tentang agama. Jadi, pelajaran apa yang bisa kita ambil dari fenomena good-looking ini?

Pertama, good-looking bukan jaminan

Meski dalam riset disebutkan bahwa penampilan menarik atau good-looking berkorelasi positif terhadap perceived intelligence dan perceived academic performance, tapi sebetulnya good-looking tidak memiliki korelasi sama sekali dengan actual intelligence & academic performance.

Seperti hasil penelitian oleh Julian dan Peters (2017) mengenai catatan akademik dari 4500 siswa. Setelah siswa dibagi menurut kelompok penampilan di bawah rata-rata, rata-rata, dan di atas rata-rata, kemudian dibandingkan nilai siswa tersebut berdasarkan hasil pemilahan kelas daya tarik mereka, rupanya hasil menunjukkan bahwa siswa yang dinilai memiliki penampilan di atas rata-rata memperoleh nilai lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya.

Good-looking tidak keren sama sekali

Seorang profesor di kelas Filsafat yang saya ikuti pernah berkata bahwa paras yang good-looking adalah ‘being’. Sesuatu yang memang sudah dari sananya. Kita tak perlu berlebihan memujanya karena yang hebat sama sekali bukan orang dengan paras rupawan tersebut. Dia tidak keren sama sekali karena tidak memiliki kontribusi dalam hal itu. Kekaguman karena paras ini, seharusnya ditujukan kepada penciptanya. Ya, ini bukan karena kehebatanmu, tapi kehebatan-Nya.

Jadi menurut Profesor tersebut dan tentu saja kau boleh tidak setuju, adalah sebuah penghinaan jika seseorang dicintai karena parasnya. Sebab seseorang menilai bukan karena apa yang diusahakannya. Maka kalau kamu dinilai hanya karena parasmu, jangan buru-buru bangga dan besar kepala. Beberapa kekayaan, kecantikan, dan nasab, adalah being. Sesuatu yang sama sekali di luar kendali kita.

Good-looking bukan sebenarnya-benarnya nilai diri

Berbeda dengan being, sesuatu yang patut kita pertimbangkan adalah becoming. Becoming dapat diketahui dari perilaku, cara bertutur, kasih sayang, idealisme, pola pikir, potensi, kontribusi, juga hal lain yang menunjukkan pribadi kita karena tempaan dari berbagai pengalaman. Ia merupakan sebenar-benar nilai diri kita, juga hal yang seharusnya lebih dikedepankan pula ketika kita menilai seseorang.

Lagi pula di dalam Qur’an [16:97], Allah menjanjikan balasan pahala dan kehidupan yang lebih baik, kepada laki-laki maupun perempuan yang mengerjakan kebajikan dalam keadaan beriman, bukan dalam keadaan good-looking. Kesimpulannya, good-looking tidak apa-apa sih, apalagi kalau berwawasan luas, kepribadiannya menyenangkan, santun, shalih, berakhlak, dan tentu saja bisa masak Indomie! Hehe.