Sejak zaman dahulu para filosof, ilmuwan dan orang-orang bijak lainnya telah memberikan kita cara mengelola psikis kita. Salah satu diantaranya adalah tokoh-tokoh dari Stoa. Stoisisme adalah paham yang dicetus oleh seorang filsuf bernama Zeno yang berasal dari Citium di awal abad ke-3. Berawal dari pemikiran zeno, muncul tokoh-tokoh besar yang menganut falsafah ini. Penganut filosofi ini tidak terbatas pada orang-orang menengah saja, bahkan dari kalangan budak, orang awam hingga kaisar romawi. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Kaisar Marcus Aurelius, Epictetus dan Seneca. Pandangan Stoisisme memiliki pengaruh kuat untuk menjaga stabilitas diri di masa sulit.

Di tengah wabah Covid-19 yang terus menunjukkan angka kenaikan, bangsa Indonesia harus mengalami duka yang seolah datang bertubi-tubi. Keprihatinan bangsa Indonesia bertambah lantaran terjadinya sejumlah bencana alam seperti longsor di Sumedang, banjir di Kalimantan Selatan, gempa di Sumatera Barat, banjir serta tanah longsor di Sulawesi Selatan, juga erupsi gunung Semeru dan Gunung Merapi. Bencana alam tersebut juga terjadi di tengah peristiwa pilu jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta pada 9 Januari 2021 lalu. 

Berikut 5  kebijaksanaan dari Stoisisme yang akan bermanfaat dalam memperkuat diri kita di masa bencana:

1. Memisahkan apa yang dapat kita kendalikan dan apa yang tidak

Salah satu ajaran penting Stoisisme adalah dikotomi kendali. Epictetus pernah mengatakan sebagaimana dikutip oleh Ryan Holiday The Daily Stoic:

“Ada hal-hal di bawah kendali kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali kita”

Epictetus.

Mungkin di antara kita akan berkata “Ah kaya gitu aku juga tahu” tapi apakah kita benar-benar memahaminya?. Sebagai generasi muda, seringkali kita mencemaskan hal-hal yang sebenarnya di luar kendali kita, seperti opini orang lain, sikap orang terhadap kita, kondisi alam dan sebagainya. Jika demikian alih-alih kita menjadi kuat, justru kita malah terjerumus dalam rasa sedih yang berlarut-larut hingga berpengaruh terhadap kesehatan kita.

 Baik dalam keadaan normal atau dalam keadaan sulit, penting bagi kita untuk memahami betul apa yang dapat kita kendalikan dan apa yang dalam kuasa luar diri kita. Pada masa sulit seperti bencana, hal yang dapat kita kendalikan antara lain yakni respon kita, pikiran kita, kemauan untuk bertahan, bersabar menerima dan sebagainya. Sementara yang tidak dapat kita kendalikan antara lain bencana itu sendiri, rusaknya harta benda karena bencana, nyawa seseorang dan sebagainya. Dengan memahami ini kita dapat memfokuskan hati dan pikiran terhadap apa yang kita kendalikan.

2. Kesulitan sebagai jalan berkembang.

Dalam pandangan Stoisisme, tidak ada peristiwa hidup yang bisa disebut “baik” atau “buruk”, yang ada hanyalah interpretasi kita. William Shakespeare, sebagaimana dikutip Henry Manampiring dalam Filosofi Teras pernah menggemakan hal senada .Tidak ada hal yang baik, atau buruk. Pikiran kitalah yang menjadikannya ‘baik’ atau ‘buruk’”.

Filosofi Stoisisme mengajarkan untuk melihat kesulitan dan tantangan sebagai ujian. Tidak banyak dari kita ketika tertimpa musibah menginterpretasi peristiwa dengan cara yang justru memperburuk perasaannya. Alih-alih berkata “Mengapa saya harus menerima semua ini?” sambil menggerutu, atau “Saya sudah berbuat baik, tetapi kenapa Tuhan tidak adil” dan interpretasi lain yang tidak membuat hal baik, kita sebaiknya menginterpretasikan peristiwa pedih sebagai kesempatan menjadi lebih baik. Misalnya berkata “Pelajaran apa yang dapat saya ambil dari peristiwa ini?” Atau “Value apa yang bisa saya kembangkan dari keadaan ini”. 

“Kesusahan yang datang terus menerus membawa berkah ini: mereka yang selalu tertimpanya, akhirya akan diperkuat olehnya” – Seneca.

3. Menerima penderitaan

Menerima kenyataan atas peristiwa yang pedih memang tidak sederhana. Pandangan Stoisisme mengajak kita untuk berlapang diri menerima keadaan meskipun itu menyakitkan.

“Mengapa begitu sulit saat hidup dirasa melawan dirimu? Jika memang peristiwa ini datang dari Alam, maka terimalah dengan lapang dada. Jika tidak, maka cari tahulah apa yang harus kamu lakukan. Kerjakan itu, bahkan jika hal itu tidak memberikanmu kemuliaan” – Marcus Aurelius.

Apapun yang terjadi memiliki dua kemungkinan. Atas kelalaian kita sendiri sebagai manusia atau alam memang menghendaki demikian. Menurut Marcus Aurelius, jika datang dari alam maka terima itu dengan lapang. Karena hanya dengan rela menerima jiwa kita akan lebih baik daripada menolak sebuah kenyataan. Namun, jika itu atas kesalahan kita maka cari tahu dan perbaiki sebisa mungkin apa yang dapat diperbaiki oleh kita.

4. Mempersiapkan kenyataan terburuk

Premeditatio Malurum secara sederhana adalah konsep visualisasi untuk kemungkinan terburuk. Banyak dari kita sering merasa kecewa, sedih karena kita belum siap menghadapi kejadian, misalnya hilangnya nyawa orang yang kita sayang, kehilangan harta, dan peristiwa buruk lain. Stoisisme tidak mengajarkan kita untuk pesimis, akan tetapi mengajak kita untuk membayangkan kemungkinan terburuk dari kehidupan.

Seneca pernah berpesan dalam“Letters” yang bahasa mudahnya “Jika kamu ingin seseorang tak goyah saat krisis menghantam, maka latihlah ia sebelum krisis itu datang” ujar Seneca dalam tulisannya. Untuk dapat tetap tegak dan tenang, kita diajak oleh Seneca untuk mempersiapkan diri sebelum kesulitan menghantam diri kita. Contoh sederhana yakni kita memvisualisasikan suatu saat ayah kita meninggal dunia, atau terjadi bencana yang sangat dahsyat. Untuk apa hal ini? Hal ini dilakukan bukan untuk mengharap hal buruk, melainkan mempersiapkan diri kita agar tidak terkejut ketika peristiwanya terjadi. Selain itu kita dapat membuat persiapan baik psikis maupun fisik sebagai upaya mencegah datangnya peristiwa itu.

5. Menang dan Bertahan

Bagi kaum Stoa, kemenangan diri kita adalah ketika kita dapat bertahan dan membuat lawan kita (cobaan, kesusahan) kelelahan sendiri.

Jadilah seperti tebing di pinggir laut yang terus dihujam ombak, tetapi tetap tegar dan menjinakkan murka air di sekitarnya

– Marcus Aurelius 

Ketika cobaan, musibah, bencana terasa begitu berat yang diminta dari kita bukanlah teori, strategi maupun hal yang canggih-canggih. Stoisisme hanya meminta kita untuk dapat “bertahan”, tetap teguh, bagai tebing karang yang tidak bisa dikalahkan. Sampai akhirnya cobaan tersebut yang ‘lelah sendiri.

Demikian 5 pandangan Stoisisme dalam menghadapi bencana. Dengan memahami beberapa kebijaksanaan Stoisisme tersebut, diharapkan kita dapat memiliki kejernihan, resiliensi, optimisme serta kedamaian dalam menghadapi peristiwa pahit.

Penyunting: Halimah
Sumber gambar: IDN Times