Aku beruntung di tengah situasi dan kondisi pandemi, diberikan kesempatan bergabung bersama 19 orang lainnya di program KKN Anak Bangsa. Salah satu program pengabdian masyarakat di tempat yang nan jauh dari kampungku. Kampung itu bernama Desa Karampi. Karampi merupakan satu dari 15 desa yang terletak di Kecamatan Langgudu, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk bisa sampai kesana dari Yogyakarta, dimulai dengan menumpang bus sampai ke Surabaya. Kemudian transit pesawat di Lombok, diteruskan dengan perjalanan menggunakan pesawat baling-baling kurang lebih 1 jam untuk sampai di Kabupaten Bima. Setelah itu, kami menempuh harus menempuh perjalanan jalur darat melewati perbukitan lebih kurang 2 jam. Tak berhenti disitu, kami lalu berganti menggunakan boat untuk menyebrang laut selama 40 menit, hingga kami tiba di Dermaga Karampi.

Sinyal yang Susah

Selain perjalanan jauh dan medan yang tidak mudah, soal sinyal provider juga telah terinfo, bahwa provider jenis apapun tidak ada jaringan di desa tersebut. Kecuali saat kami berada di dermaga. Ketika kami tiba di Dermaga Karampi, sinyal provider masih cukup baik. Sehingga momen kesempatan tersebut kami gunakan untuk berkomunikasi mengabarkan keadaan kepada sanak keluarga di rumah mengenai ketibaan kami. Berjalan menuju kantor desa, benar adanya, semua provider kami tidak ada tanda sinyal sama sekali.

Di kemudian waktu, kami mulai pandai beradaptasi dengan jaringan yang harus dikunci dulu ataupun berjalan ke tepian laut. Dengan segala hal yang sangat baru kami memantabkan hati memulai petualangan menempati tiga dusun dari total 4 dusun yang ada. Yakni Dusun Oi Temba, Dusun Mamba Na’e, dan Dusun Sorobali. Dusun Sorobali yang terletak di paling ujung barat Desa Karampi, memiliki jarak yang lebih jauh dibandingkan Dusun Mamba Na’e. Hal tersebut ditambah kondisi jalan yang buruk ditambah hujan saat itu, memaksa beberapa kawan-kawan kami harus mendorong mobil pick up. Karena terjerembab tanah lumpur.

Terkendala Bahasa

Aku ditempatkan di Dusun Mamba Na’e bersama keenam kawanku. Bahasa pada mulanya menjadi sedikit kendala kami, karena mayoritas masyarakat terbiasa menggunakan bahasa daerah Bima, meskipun sebagian dari mereka juga memahami bahasa Indonesia. Pelan-pelan kami belajar dan membaur. Masyarakat sangat terbuka menyambut kehadiran kami, meskipun saat kami datang sedang berada di musim tanam sehingga aktivitas masyarakat lebih banyak di kebun karena selain melaut dan beternak, mayoritas masyarakat Mamba Na’e memiliki keseharian bertani. Kami pun pernah turut ke ladang mencicipi langsung hasil kebun di ladang, seperti kelapa muda, jagung bakar, maupun pisang. Posko kami juga sering menerima hantaran hasil pertanian dalam jumlah besar, seperti beras, kacang, sekarung singkong, pisang satu tandan, dan banyak lainnya. Tak jarang juga, kami diantarkan ayam ataupun itik untuk makan kami sehari-hari.

Sedapnya Ikan Laut Mamba Na’e

Kawan laki-laki pun berkesempatan turun ke bagang ( sebutan kapal nelayan untuk melaut), yang tentu mabuk lautan, alias berakibat hanya sedikit bantunya, hahaha. Yang menjadi ketakjuban kami di awal adalah saat melihat orang beramai-ramai merapat ke dekat dermaga untuk membeli ikan segar, dengan harga yang murah. Dan rasanya tiada duanya, tidak pernah kami merasakan ikan se-enak hasil laut disini. Kami pun terkadang ketika membeli ikan, pasti diberikan bonus oleh masyarakat setempat. Ampun deh, baiknya kebangetan!

Dihempas Badai Laut

Mobilitas masyarakat memang banyak menggunakan boat. Seperti kami jika ingin belanja keperluan hadiah di Festival Anak Sholeh dan mencari kelengkapan lain, kami perlu menyebrang ke Rompo dengan Boat sekitar 1 jam. Ada suatu kesempatan kami menyebrang pulang dari menemani ibu kepala desa mengikuti lomba pidato di kecamatan. Saat itu hujan lebat disertai badai angin menerjang kami. Bidan Umro, salah satu bidan desa mengatakan, hal itu tidak ada apa-apanya di banding bidan Umra yang harus merujuk pasien melahirkan, dalam kondisi badai di malam hari menggunakan boat. Tapi jujur, saat itu karena hempasan angin dan ombak, betul-betul membuat tanganku mencengkram erat teman yang ada disampingku. Sedang masyarakat yang satu boat dapat tetap tidur dengan tenang. Hahaha.

Memunculkan Program dan Gerakan

Dalam mewujudkan Karampi bersinar, kami mulai dengan gerakan dan program kecil dahulu, seperti mendorong peningkatan pola kehidupan sehat masyarakat dengan program bernama “Jum’at Bersih”. Suatu program yang membiasakan cuci tangan pada anak-anak sebelum makan, lalu senam bersama, maupun edukasi pengelolaan sampah. Kami pun berupaya meningkatkan kualitas pendidikan melalui program “Pojok Literasi”. Program ini berisi kelas-kelas kreatif, seperti mendongeng, bermain permainan tradisional, menyanyi lagu daerah, berkreasi dari daun, belajar Bahasa Inggris, maupun pendampingan materi sekolah. Anak-anak disana juga sangat cerdas, serta penuh semangat. Mereka antusias setiap kami memberikan pengajaran baik di posko maupun di tempat mengaji. Setiap pulang sekolah atau hendak mengaji, anak-anak sering mengetuk posko dan menagih buku bacaan. Mereka juga sangat mudah mengingat apa yang kami ajarkan. Bahkan, terus mengulangnya seperti saat kami mengajarkan lagu gundul-gundul pacul, meskipun secara bahasa asing bagi mereka.

Mengajar Sekolah

Kami juga disana bertugas untuk mengajar ke sekolah, yang jaraknya kurang lebih perlu 40 menit. Waktu tempuh tersebut kami tempuh dengan berjalan kaki untuk sampai di sekolah dasar. Durasinya akan bertambah jika kamu berjalan kaki sampai ke sekolah menengah pertama. Kami merasa malu kalau mengeluh, karena adik-adik disana terbiasa berjalan jauh. Saat pulang mengajar, kami pun terkadang bertemu beberapa siswa yang tinggal di ujung timur desa. Namun, karena masih minimnya fasilitas pendidikan disana, mereka terpaksa bersekolah di ujung barat desa. Pada salah satu obrolan saat berkunjung ke anak-anak SMK yang sedang indekos. Diantara mereka menyatakan pernah jalan kaki ke sekolah selama 1 jam. Wow, luar biasa dalam batinku.

Wisata Pantai Nisa Bea

Di akhir, kami  juga melakukan kunjungan ke Dusun Nanga Niu untuk berbagi inspirasi pada anak-anak sekolah dasar. Kami berkunjung menuju lokasi wisata di Pantai Nisa Bea dan Serai Ruma. Pantai ini dulu sempat ramai dikunjungi wisatawan, sekaligus menjadi destinasi wisata unggulan. Tetapi beberapa tahun belakang ini belum terangkat lagi. Dan sekali lagi masyarakat sangat baik menyewakan boat untuk lawatan kami beserta bekalnya. Sebelum kepulangan, kami menyuguhkan Festival Rakyat sebagai ajang pamitan sekaligus menampilkan potensi unggul dari masing-masing dusun. Kegiatan ini mendapat apresiasi dan animo masyarakat cukup tinggi. Hal tersebut tercermin dengan banyaknya masyarakat yang ingin terlibat dalam menyuguhkan penampilan, maupun datang menyaksikan penampilan demi penampilan.

Sayonara Mamba Na’e

Momen paling mengharukan adalah saat ramai masyarakat desa melepas kami di dermaga, saat kami akhirnya harus pulang. Beberapa masyarakat bahkan rela berjam-jam melewati jalan darat yang rusak untuk turut mengantarkan kami di Terminal Bima. Terimakasih untuk Dusun Mamba Na’e. Tempatku menerima kehangatan dari setiap pelukan dan senyuman yang tidak akan pernah aku lupakan. Juga untuk ketulusan hati seluruh masyarakat Karampi yang telah menerima kami beduapuluh. Sayonara Dusun Mamba Na’e.  Semuanya akan terus tersimpan di hati, dan mengingatkan kami untuk kembali lagi suatu hari nanti.

Editor : Faiz

Gambar : Kontributor