Memasuki tahun ketiga pandemi covid-19 di Indonesia, tentu kita semua tahu ada banyak dampak yang ditimbulkan. Bukan hanya berdampak pada hilangnya pekerjaan seseorang, tetapi sudah mempengaruhi pada pola kehidupan masyarakat. Kuliah online contohnya, seakan menyebabkan matinya gerakan mahasiswa.

Seperti halnya di dunia pendidikan, termasuk di tingkat kampus, pembelajaran online bagi mahasiswa seakan tak masalah lagi. Bahkan, ada mahasiswa yang sampai hari ini belum  pernah menghirup udara perkuliahan tatap muka. Walau wacana Pembelajaran Tatap Muka (PTM) sering kali digaungkan.

Kuliah online berdampak besar pada kehidupan dan budaya mahasiswa, di mana umumnya mahasiswa dapat belajar untuk bertemu langsung dengan dosen, namun sejak penerapan kuliah online justru harus rela hanya bantuan media internet. 

Mahasiswa yang dulunya sontak ramai terlihat di kampus, namun kini sudah bisa terhitung dengan jari mahasiswa yang muncul di kampus sejak dengan aturan pembelajaran online. Hal demikian memang suatu tuntutan, dan budaya baru mesti harus diterima dengan lapang dada. 

Rana kampus sering kali dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk berkumpul dan berdiskusi, menyusun gerakan, dan belajar melihat fenomena kampus dan sosial. Sejatinya mahasiswa memang seperti demikian. Sejarah mahasiswa telah mencatat bahwa ia sebagai wadahnya orang-orang kritis, penuh semangat, dan selalu menjadi garda terdepan dalam setiap penyelesaian masalah. 

Mahasiswa dengan gaya kritisnya selalu menjadi catatan pada sejarah Indonesia, sehingga sering kali disandarkan sebagai agent of change, control of sosial, dan moral of cost. Dengan kata lain, mahasiswa akan menjadi intermediary aktor di tengah-tengah masyarakat. 

Namun, kondisi demikian telah berubah dengan seketika, ruang-ruang mahasiswa untuk berdiskusi dan menyusun gerakan, justru kini mahasiswa banyak disibukkan dengan aktivitas di media sosial. Gerakan intelektual di kampus terlihat nampak sudah mati. Kuliah online menyebabkan matinya gerakan mahasiswa.

Mahasiswa sekarang sudah dijauhkan dengan kondisi kampus dengan gerakan intelektual dan diskusi, minat masuk di organisasi pun sudah mulai berkurang. Begitupun dengan aktivitas organisasi, kini juga terlihat redup. Ruang konsolidasi antara mahasiswa seakan dibatasi, hingga perlahan mematikan gerakan mahasiswa di kampus dan membawanya pada dunia yang pragmatis. 

Kondisi demikian, jelas menjadi masalah bagi dunia kampus dan mahasiswa, kampus sejatinya sebagai tempat mengasah kritis, namun malah dipadamkan. Tentu hal demikian, jelas bukan keinginan kita, karena kondisi yang memaksakan untuk melakukan itu, akibat pandemi covid-19 yang tak bosan-bosannya menghantui kami. 

Akan tetapi, hal itu perlu dicari solusi secara bersama-sama, kondisi demikian tidak patut dibiarkan begitu saja karena hanya akan mematikan gerakan mahasiswa sebagai kontrol sosial. Mahasiswa harusnya selalu menjadi garda terdepan dan agen kontrol yang tak boleh disusupi oleh kelompok yang tak bertanggungjawab. 

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa ada saja kelompok yang ingin meninabobokan, atau dalam bahasa kasarnya mematikan gerakan mahasiswa. Bahkan, problem kampus yang sampai hari ini tak bisa terselesaikan, yakni kampus hanya mencetak mahasiswa sebagai pekerja dan penurut. Bukan seperti orang pemikir yang kritis. 

Hal itu dipengaruhi karena sistem pendidikan yang belum normal, mahasiswa selalu menjadi objek dan dosen sebagai subjek. Padahal sejatinya dalam dunia kampus, dosen, dan mahasiswa mestinya sama-sama subjek, dan yang menjadi objeknya adalah ilmu pengetahuan. Dengan begitu, tentu terjalin hubungan harmonis antara dosen dan mahasiswa, dan ilmu pelajaran pun akan lebih mudah dipahami. 

Di tengah kondisi hari ini, kita berharap agar gerakan mahasiswa bisa tumbuh lagi dan kampus selalu menjadi wadah orang-orang intelektual dan kritis. Bukan malah menjadi kampus sebagai tempat berbisnis dan hanya menjadikan mahasiswa sebagai orang pekerja dan penurut semata. 

Foto: Pexels

Editor: Saa