Bam! Tiba-tiba semua lenyap. Pesan-pesan beruntunnya. Sapaan cringe di pagi hari, atau perhatian-perhatian yang tanpa diingatkan pun pasti akan dilakukan seperti beribadah, makan, dan membersihkan diri. Perasaan, kemarin masih baik-baik saja. Kamu pun tidak merasa berbuat kesalahan karena selalu mengupayakan yang terbaik untuknya. Tapi, kenapa sekarang ia seolah lenyap ditelan bumi? Kalau kamu sedang berada di situasi tersebut, bisa jadi kamu merupakan korban ghosting.

Ghosting adalah salah satu terminologi populer dalam beberapa tahun terakhir. Ia merujuk pada satu situasi ketika tiba-tiba seseorang melakukan penarikan diri dari seluruh hubungan dan komunikasi yang pernah terjalin. Fenomena ini juga dikenal dengan kondisi ketika ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Dalam ilmu Psikologi, ghosting dikenal dengan sebuah tindakan pasif agresif yang dilakukan seseorang sebagai upaya menghindar dan mengakhiri hubungan secara sepihak.

Sebenarnya, siapa pun bisa terkena ghosting atau bahkan menjadi pelakunya. Ghosting juga tidak hanya dalam hubungan percintaan, tetapi bisa juga dalam lingkup pertemanan dan pekerjaan. Hanya saja, fenomena ini sering ditemukan pada hubungan percintaan. Penyebabnya pun bermacam-macam. Mulai dari timbul ketidaknyamanan dari salah satu pihak, ketidakberanian untuk melangkah lebih jauh, ada pihak lain yang baru, atau sebenarnya sedari awal dia telah menyembunyikan pihak yang lama dari kamu.

Ghosting adalah Bentuk Emotional Cruelty

Ghosting biasanya dilakukan dengan taktik mendiamkan, mengabaikan, bahkan meninggalkan seseorang yang memiliki keterikatan dengan kita entah dalam hubungan percintaan atau pertemanan. Meski kelihatannya sepele, perilaku yang juga dikenal dengan silent treatment tersebut merupakan suatu sikap abusive dan bisa melukai perasaan dan fisik pasangan/orang lain.

Para profesional kesehatan mental pun menganggap ghosting adalah suatu bentuk emotional cruelty, atau kekejaman emosional. Mengapa? Sebab kondisi ini membuat kita merasa powerless dan kita ditinggalkan begitu saja tanpa penjelasan sehingga membuat kita merasa tidak dihargai.

Ghosting tidak memberikan kesempatan bagi korban untuk memproses pengalaman menyakitkan yang tengah dialami. Pelakunya membiarkan korban bertanya-tanya dan menebak-nebak jawabannya sendiri. Penolakan sosial yang terjadi dalam fenomena ghosting dapat membuat korban memiliki luka batin dan bahkan dapat berujung trauma. Perasaan dikhianati dan ditinggalkan tanpa kabar, juga perlakuan yang tidak memberikan petunjuk bagi korban untuk bereaksi memunculkan suatu permasalahan pelik yang dapat mengakibatkan penghargaan diri yang rendah, kebingungan, dan perasaan sedih berkepanjangan.

Ketika berada di situasi ini, korban sangat mungkin untuk mengalami luka yang dalam, karena ketika peristiwa buruk yang terjadi seringkali dapat mengaktifkan saraf sakit yang sama di otak ketika tubuh merasakan sakit fisik.

Sakit emosional yang kita rasakan direspon di bagian otak yang sama ketika kita disakiti secara fisik. Jadi ketika dilanda stress, bagian otak yang dinamakan sistem limbik (sebagai otak pusat pengatur emosi) sedang aktif-aktifnya bekerja, dan sayangnya, sistem limbik tersebut malah bisa menyebabkan otak depan kita yang berfungsi untuk berpikir rasional, menjadi berkurang perannya. Itulah mengapa bentuk pengalihan kita terhadap perilaku ghosting lebih mengarah kepada pengalihan yang sifatnya emosional.

Pelaku Ghosting Punya Cacat Kepribadian

Ini benar. Minimal, orang-orang yang melakukan ghosting adalah orang-orang yang tidak memiliki empati, senang menghindari tanggung jawab, menolak berkomitmen, punya pola komunikasi yang buruk, tidak bisa dipercaya, dan relasi sosialnya tidak sehat. Perilaku ghosting setidaknya memenuhi semua unsur yang telah dipaparkan. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa seseorang yang melakukan ghosting setidaknya memiliki masalah pada beberapa aspek kepribadiannya.

Tindakan ghosting juga mencerminkan ciri-ciri utama seorang narsistik, terutama harga diri rendah, obsesi dengan kekuatan yang dirasakan dan memegang kendali, dan kurangnya perhatian terhadap orang lain.

Terkait dengan fenomena ini, belum ada penjelasan pasti mengapa seseorang menjadi pelaku ghosting. Tetapi, beberapa hal yang dapat menyebabkan situasi ini di antaranya adalah pola pengasuhan yang tidak terpenuhi semasa tahap perkembangan, pernah menjadi korban kekerasan, juga rendahnya rasa percaya diri.

Rileks, Kamu Akan Dapat Ganti yang Lebih Baik

Ketika kamu sedang terkena ghosting, pahami bahwa barangkali ini adalah bentuk pendewasaan diri. Tuhan menyiapkan pertumbuhan diri kita dengan banyak cara. Melalui kegagalan, harapan-harapan, duka cita, juga orang-orang yang datangnya hanya untuk memarut luka. Alih-alih merasa sedih dan terpuruk, ingat bahwa dirimu berharga dan juga layak untuk dicintai dengan lebih baik.

Rasanya, bersyukur juga bukan hal berlebihan karena kita telah dijauhkan dengan orang yang tidak berkompeten di kemudian hari. Jangan pernah menurunkan standarmu hanya untuk bisa diterima oleh orang lain. Sebab bisa jadi saat ini kita sedang akan dihampiri oleh seseorang atau sesuatu yang lebih baik sesuai dengan kapasitas yang kita miliki. Lagi pula, seharusnya tidak ada penyesalan untuk orang yang hanya bermain-main dalam berjuang. Please be strong, you’re not alone and you’re loved. Let’s live fully healthy and happy.