Album foto Facebook adalah tempat menyimpan kenangan terbaik.

“Ini lo Prim fotoku waktu SMP,” ungkap salah satu teman di pelataran kos pukul setengah sebelas malam.

“Kon dekil cuk,” respon cepat saya menanggapi penampilannya yang terlihat tidak oke banget daripada sekarang.

Saya juga heran, pembicaraan malam itu terbang begitu saja sampai kita menunjukan foto masa lalu masing-masing di album Facebook. Padahal waktu itu kita sedang mendekati waktu berpisah dari kuliah ke tempat kerja baru masing-masing.

Syukur, album-album kenangan di masa SMP itu begitu mudah diakses. Karena teman saya tadi merupakan aktivis Pramuka, dia lantas menunjukan foto temannya yang sedang menyusun tongkat menjadi bentuk bangunan, foto bersama satu regu yang terdapat dia di dalamnya, sampai foto ruang Pramuka dengan tembok jelek lusuh di sekolahnya.

Begitu pula dengan teman saya lainnya. Masa lalunya yang bersekolah di asrama menjadi hal asing bagi saya yang bersekolah di sekolah negeri kabupaten. Dia menunjukan foto-fotonya ketika dia masih dalam keadaan prima: badan kurus, lengan berotot, perut sixpack. Sungguh berbeda drastis dengan keadaannya sekarang, maklum dia sudah tinggal di kos selama enam tahun dan tidak ada pengawasan untuk makanannya.

Sayang, foto-foto penuh memori itu berhenti di sekitar tahun 2014. Tepat ketika saya kelas satu SMA. Gara-garanya, waktu itu popularitas media sosial dengan fasilitas upload foto seperti Facebook pelan-pelan tergeser oleh Instagram.

Instagram memang memberikan ruang yang pas di jaman itu, cara penggunaan yang mudah dengan tinggal scroll ditambah fitur tambahan berupa likes dan comment memang menyuguhkan kepraktisan yang digandrungi anak muda seperti saya. Jauh berbeda dengan Facebook yang memiliki banyak fitur dan terkesan ribet. Apalagi waktu itu kedatangan smartphone android semakin menjadi momentum perpindahan pengguna Facebook ke Instagram.

Kini, sampailah kepada zaman ketika saya menyesal mengapa ada perpindahan zaman dari Facebook ke Instagram. Saya ingat betul, ketika saya ingin membuat album foto Facebook di waktu itu, fitur jumlah upload yang tidak terbatas membuat saya dengan bebas memasukan semua foto dari satu kegiatan dengan gamblang.

Misalnya saja ketika saya upload foto kegiatan Persami. Saya tidak terlampau ribet memilah, tinggal pilih sekian foto yang saya inginkan, nggak peduli itu bagus atau jelek, ya sudah yang penting sudah ter-upload, jangan lupa tag semua teman yang terlibat di dalamnya. Alhasil banyak kegiatan di SMP yang tersimpan di sana, mulai dari persami, main ke air terjun, main naik gunung, kegiatan lomba antar kelas, semua ada dan lengkap di dalam album-album saya.

Hal ini tentu berbeda dengan Instagram, akibat tampilannya yang fokus dengan unggahan foto, alhasil kita semakin pilih-pilih untuk meng-upload sembari memperhatikan estetikanya. Hal ini tentu berbeda dengan Facebook yang punya banyak pengalihan, seperti fitur update status, update video, pemberitahuan ulang tahun, hari persahabatan, dan lainnya.

Sehingga tidak membuat banyak pikiran ketika upload foto yang nggak mbois secara estetika. Mau buat album dalam satu postingan Instagram pun juga harus dibatasi 10 foto doang, beda betul kan sama Facebook.

Sayang kesadaran itu tidak saya rasakan ketika saya beranjak dari SMA sampai sekarang. Pada menit-menit perpisahan saya dengan kawan-kawan kuliah ini, kita tidak ada foto-foto album yang super duper lengkap seperti jaman kita SMP dulu. Kegiatan bersama kita hanya terekam pada postingan Instagram dan penyimpanan smartphone masing-masing. Jauh kurang lengkap daripada album foto Facebook. Beberapa kawan juga ada yang meng-archive postingannya di Instagram karena dianggap kurang eye catching.

Dan kini saya kebingungan bagaimana cara mendapatkan foto-foto kegiatan kuliah saya. Sampai-sampai di malam kumpul-kumpul akhir saya dan teman-teman harus diakhiri dengan menunjukan foto-foto kenangan jaman SMP masing-masing, alih-alih foto kenangan kuliah.

Ah Facebook, harusnya kau tidak pernah tergeser! Kini aku menyesal telah mendua.

Editor : Hiz

Foto : Pixabay