Di zaman ini, kita tidak perlu meragukan lagi perkara akses internet yang sangat mudah, dimana banyak terungkap masalah pelecehan seksual lewat media sosial. Terutama platform Twitter yang digunakan oleh kawula muda, umumnya mereka membuat thread berisi kisah atau  kejadian pelecehan seksual. Ada kasus yang terjadi di beberapa universitas terkenal di indonesia. Akun-akun yang memposting biasanya juga bukan akun dengan identitas asli, Saya merasa bahwa para korban sudah mulai berani dalam menguak hal tersebut.

Salah satu kasus yang  terungkap adalah pelecehan yang diduga dilakukan oleh motivator, Dedy Susanto. Kasus ini diawali oleh Revina, influencer, yang menguak kejanggalan dari terapi Dedy Susanto. Langkah Revina membuat banyak penyitas muncul dan mendukung langkah kasus ini dibawa ke jalur hukum.

Namun, apakah cara yang  itu tepat? Tidak juga.

Banyak yang mengungkapkan bahwa hal itu kurang tepat. Seolah-olah korban memang sengaja membuat keonaran dengan menghakimi pelaku. Hujatan juga kepada pelaku juga tidak bisa dihindari. Bahkan ada yang menulis bahwa korban yang speak up pesimis terhadap hukum di Indonesia, memilih media sosial dengan dalih “sanksi sosial”’dan merasa bahwa sosial media adalah wadah yang tepat dalam membuka kasus kejahatan seksual.

Dalam CATAHU 2020 (Catatan Tahunan) milik Komnas Perempuan yang berisi kasus kekerasan terhadap perempuan, ditemukan fakta bahwa dalam kurun 12 tahun kekerasan pada perempuan di Indonesia meningkat 79%.

Terlebih lagi dalam data pengaduan langsung tercatat kenaikan yang signifikan yakni  281 kasus (2018 tercatat 97 kasus) atau naik sebanyak 300% untuk pengaduan kasus cyber crime. Kasus siber terbanyak berbentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto serta video pribadi korban.

Permasalahannya tidak hanya itu, untuk langkah speak up tak jarang bukan korbannya langsung yang melakukan, tetapi bisa jadi teman dekatnya yang justru menguak kasus. Perlu diketahui dalam hal ini diperlukan  keberanian yang kuat, karena tak jarang korban mendapat tekanan dari pelaku.

Mengapa akhirnya korban bisa membuka diri untuk speak up?

  1. Korban mengevaluasi hal yang sudah terjadi. Pasca kejadian pasti membuat korban terpukul sehingga membutuhkan waktu.
  2. Keinginan membuat jera pelaku. Baik hukuman legal maupun sanksi sosial
  3. Merasa cukup aman untuk menceritakan. Contohnya, ketika bercerita dia mendapatkan respon positif dari lingkungan

Dampak psikologis bisa dirasakan sesudah pelecehan atau kekerasan seksual terjadi pada korban, seperti:

  1. Gangguan stress pasca trauma (post trauma stress disorder)
  2. Self blaming, yaitu menyalahkan diri sendiri
  3. Perubahan perilaku pada korban, korban seringkali mudah merasa takut atau marah meski tidak dipicu oleh gangguan trauma.

Mengapa korban tidak bisa menolak? Langgengnya kerangka berpikir seperti ini hanya akan membuat korban menerima perlakuan tidak adil. Korban tidak bisa menolak ataupun berteriak ketika kekerasan/pelecehan terjadi. Dalam sains, hal itu disebut tonic immobility sebuah gejala kelumpuhan yang terjadi saat seseorang merasakan ketakutan luarbiasa.

Kasus-kasus kekerasan seksual tak jarang berada di wilayah privat. Tak ada saksi. korban takut untuk berbicara. Setelahnya, ketika kasus ini dibawa ke pihak berwajib, tak banyak bukti yang dapat dihadirkan dimana bisa memberatkan keputusan atas pelaku di pengadilan. Sehingga dibutuhkan metode lain oleh pihak berwajib dalam rangka mengupas kasus kekerasan seksual tanpa harus menekan korban baik secara fisik maupun psikologis.

Sebagai anak muda, kita harus paham betul bagaimana cara membentengi diri dari kekerasan/pelecehan seksual, dan cara menyikapinya. Baik dengan media sosial atau tidak. Jika takut, kalian bisa hubungi teman, saudara atau lembaga bantuan untuk melawan bersama-sama. Ingat, kalian tidak sendiri.

 

Penulis: Shifa Fauziah A

*) Artikel ini merupakan peserta Collaboration Project on Writing Challenge hasil kolaborasi Milenialis dengan Puan Melawan, Its Girl’s Time, dan Kuntum