Bandit merupakan suatu fenomena lama dari potret kehidupan sosial di Jawa. Tiga abad yang lalu, Pulau Jawa merupakan tempat persembunyian ideal bagi orang-orang yang hidup di luar tatanan hukum masyarakat. Garis perbedaan antara perampok dan pemberontak cenderung samar. Lebih-lebih, sebagian besar penyamun berasal dari orang-orang yang melarikan diri dari pemerintahan tertentu. Penyamun juga sering kali terlibat, bahkan memimpin pemberontakan.
Juragan Bandit
Tokoh kunci dalam politik lokal Batavia adalah para juragan yang mengatur para bandit yang sporadis dan kurang terstruktur. Para juragan di kota Batavia mencarikan mereka pekerjaan, memastikan upah mereka cukup untuk bisa bertahan hidup, serta menyediakan tempat tinggal di asrama atau rumah pondokan.
Bahkan juragan juga mengatur kepulangan mereka ke kampung dalam menghadiri acara keluarga yang penting atau apabila tidak ada pekerjaan di kota. Begitulah perekrutan alami secara besar-besaran yang dilakukan para juragan ini untuk mengakomodir para bandit.
Pada masa itu memang tengah terjadi kekacauan kekuasaan. Kebencian terhadap tuan tanah dan orang asing yang membuat kaum-kaum revolusioner lokal melakukan inisiatif untuk melakukan sebuah pemberontakan. Tuan tanah dan pegawai pemerintahan yang menjadi sekutu pemerintah kolonial atau orang asing yang menguasai sumber daya di daerah tersebut menjadi sasaran pembunuhan.
Lebih parahnya lagi, bukan saja mengabaikan kaum revolusioner marjinal dalam perjuangan, RI dan TNI-nya pada saat itu malah mencoba untuk memberangus mereka. Kaum revolusioner ini memang tumbuh dan berasal dari kriminal-kriminal atau bandit-bandit sosial pada masa pemerintahan kolonial. Akan tetapi, bukan berarti mereka layak dan pantas diberangus hingga ke akar-akarnya. Kesediaan mereka untuk bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) didasarkan atas ketulusan mereka yang mau berjuang bersama menuju rakyat yang berdaulat.
Tentara Kolonial, TNI, dan Laskar Rakyat
Konstelasi yang terjadi adalah antara Tentara Kolonial vs TNI vs Laskar Rakyat. Mereka semua berseteru satu sama lain. Namun, menjadi sangat berat bagi Laskar Rakyat karena mereka tidak disokong persenjataan dan modal mobilisasi yang besar. Perjuangan mereka hanya mengandalkan niat yang kuat dan dukungan masyarakat sekitar yang tidak lain adalah akar di mana laskar-laskar itu muncul dan tumbuh.
Di sisi lain, tidak semua anggota laskar mempunyai ketulusan berjuang. Ada juga dari mereka yang oportunis dan mengalihkan dukungan ke tentara kolonial. Tujuannya mereka hanya satu, yakni menghancurkan Republik. Hal ini bukanlah sebuah anomali dan merupakan hal yang wajar bilamana ada dari para laskar yang berperilaku seperti itu.
Tindakan tersebut mungkin semacam balasan terhadap pemerintah RI dan TNI. Seperti pribahasa “Habis manis, sepah dibuang” sepertinya cocok untuk disematkan guna mendeskripsikan perilaku RI terhadap kaum revolusioner tersebut. Oleh sebab itu, sikap oportunis anggota laskar yang membelot karena mereka merasa lelah dengan perjuangan RI menghadapi Belanda, ditambah dengan negosiasi-negosiasi pemerintah RI yang banyak merugikan pihak mereka.
Kaum revolusioner atau para bandit awalnya hanya berjuang untuk sekedar mempertahankan hidup dan eksistensi komunitasnya. Sabotase yang dianggap perbuatan kriminal menjadi pilihan mereka ketika tak ada sumber daya yang bisa mereka manfaatkan.
Bandit Sosial
Tuan tanah, orang asing, dan pegawai pemerintah menjadi sasaran aksi kriminal mereka. Para bandit ini memang lebih pantas disebut sebagai bandit sosial, karena yang mereka lakukan tidak semata-mata atas insting jahat, tetapi lebih dipicu oleh insting bertahan hidup. Sampai pada masa transisi pasca kekalahan Jepang dari Sekutu, mereka diajak berkoalisi oleh tokoh-tokoh nasional untuk berjuang mempertahankan proklamasi 1945. Mereka yang direkrut biasanya adalah orang-orang yang mempunyai basis massa yang besar.
Koalisi antara dunia hitam Jakarta dan kelompok nasionalis radikal mencapai puncaknya dalam bentuk LRJR (Lasykar Rakyat Jakarta Raya) yang merupakan hasil dari situasi yang tidak biasa. Para nasionalis melihat para jago sebagai satu dari sedikit elemen masyarakat Indonesia di bawah Kolonialisme yang memiliki keahlian bertarung. Sementara para jago, yang dalam aksi subkultur kriminalnya terkandung kebanditan sosial, melihat nasionalisme sebagai kesempatan memperoleh masa depan di mana mereka dapat di akui dan di hormati.
Fakta sejarah yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah atau diumbar di ruang publik, ternyata tidak merepresentasikan akar rumput yang sesungguhnya. Bagaikan teori gunung es, permasalahan yang muncul di permukaan sejarah Indonesia selama ini hanya sejarah elitisme Republik Indonesia. Yang terlalu mengglorifikasi tokoh-tokoh, seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Amir Syarifuddin, dan lain sebagainya. Mereka sering disebut dalam buku sebagai pemimpin kaum elitis yang kharismatik dan kurang mengangkat kisah atau tokoh lain yang padahal memiliki andil besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Editor: Nirwansyah
Comments