Semakin tinggi pohon semakin kencang angin menerpa.

Pepatah populer itu agaknya cocok untuk menggambarkan tokoh kita ini: Ahmad Syafii Maarif. Tak terbilang berapa jumlah tuduhan yang ditujukan pada laki-laki Minang yang dijuluki oleh Gus Dur sebagai salah satu personil “Pendekar dari Chicago”. Ahmad Syafii Maarif atau kerapkali disapa Buya Syafii, adalah pribadi yang ramah, berani bersikap jujur, mendobrak pakem dan tegas pada prinsip.

Tidaklah mengejutkan jika Buya Syafii kerap diserang oleh pihak-pihak yang kurang berkenan dengan sikap dan jalan yang ia ambil. Disalahpahami dengan varian tuduhan itu biasa. Dan sebagaimana tuduhan pastilah subjektif dan tebal sisi emosional, tak jarang orang-orang merespons terlampau berlebihan terhadap Buya Syafii. Setelah saya petakan, tuduhan dan atau menjurus ke tudingan tak sopan pada Buya Syafii berkisar pada hal-hal berikut: Tokoh liberal, anti Arab, pembela Ahok, dan sebagainya.

Namun demikian, tidak elok rasanya jika mendaras Buya Syafii dari pusaran ideologis, selain karena sudah terlalu sering jadi topik bahasan, saya khawatir akan adanya perdebatan dan menimbulkan prasangka-prasangka tak perlu. Saya tak mau terjebak pada sesuatu yang mubazir dan kurang substantif.

Bagaimanapun Buya Syafii adalah bapak, kakek, paman dan tokoh bagi kita semua. Tentu layak dihormati, meski beliau pribadi tak pernah bersikap gila hormat. Karenanya sikap dan pandangan hidup Buya Syafii penting untuk kita teladani.

Buya Syafii, Sepeda dan Kesederhanaan

Di usianya yang senja, Buya Syafii masih tetap menyempatkan dirinya bersepeda, hobi yang beliau tekuni semenjak muda. Dalam beberapa kesempatan beliau tertangkap kamera sedang mengayuh sepeda di kawasan perumahan Nogotirto. Tak jarang beliau juga mengayuh sepedanya sampai Tugu Pal Putih Yogyakarta.

Sepeda model Jenki itu jugalah yang Buya pakai saban hari ketika menempuh studi lanjutan di IKIP Yogyakarta (UNY). Kalau sedang diundang untuk mengisi ceramah, diskusi dan forum-forum ilmiah lain, kebetulan jaraknya tak begitu jauh, Buya Syaffi lebih memilih untuk bersepeda.

Begitulah guru bangsa ini, sekalipun punya nama besar, sosok Buya Syafii jauh dari bayang-bayang kemewahan. Lulusan Univesity of Chicago dan Ohio University itu adalah pribadi yang mandiri dan sungkan untuk merepotkan orang lain. Di tengah kepungan budaya feodalistik dan mental tuan, Buya Syafii justru menolak mentah-mentah, dia tak mau diperlakukan khusus.

Cerita lain yang tak kalah tersohor adalah tentang Buya yang mengantre di salah satu RS PKU Muhammadiyah. Kita sama-sama tahu hubungan Buya dengan Muhammadiyah. Bisa saja Buya minta privilese, namun sekali lagi, tak dilakukannya.

Barangkali itulah yang disebut kemurnian. Buya Syafii tak berbakat sedikitpun untuk berpura-pura. Beliau bukan jagoan akting. Buya adalah buya, seorang intelektual dalam balutan kesederhanaan.

Kesederhanaan Buya seolah menampar kita semua yang sering bergaya untuk hal-hal tak perlu juga jauh dari kata penting. Sikap sahaja Buya itu ia peroleh dari rangkaian hidup yang susah dan pengalaman yang pahit. “Hidup saya dari tragedi ke tragedi” kata Buya dalam sebuah wawancara.

Semasa muda Buya Syafii pernah menjadi pelayan toko, mengajar anak-anak mengaji, tukang cuci piring di asrama mahasiswa Universitas Chicago, menjadi dosen dengan gaji kecil,  hingga jadi Jurnalis di Suara Muhammadiyah. Semua demi menyambung penghidupan di tanah rantau. Catatannya itu ia rekam dalam otobiografinya, Titik Kisar Perjalananku: Auotobioografi Ahmad Syafii Maarif (2009).

Buya Syafii dan Bung Hatta

Dalam banyak kesempatan, Buya Syafii tak ragu untuk menyebut nama Mohammad Hatta sebagai tokoh yang beliau idolakan. Mereka sama-sama tumbuh dari akar kebudayaan yang sama: Tanah Minangkabau. Apa-apa yang Bung Hatta lakukan semasa hidupnya, kini tak ubahnya bagai pantulan cermin seorang Buya Syafii.

Sudah jadi rahasia umum, Bung Hatta adalah penggila teks dan huruf-huruf. Kecintaan pada buku dan ilmu pengetahuan melebihi apapun. Buya Syafii pun demikian, beliau pembaca yang tekun dan menulis adalah jalan hidupnya. Tak terbilang berapa esai politik, sejarah, filsafat, pendidikan dan lain sebagainya yang pernah Buya Syafii garap.

Bung Hatta itu keras kepala tapi santun. Dalam artian beliau punya pendirian yang tegas, prinsip yang jelas, tak mau ambil pusing pada penilaian orang lain, selagi itu baik dan tak melanggar rambu-rambu moralitas, Hatta jalan terus. Beliau menentang penjajahan Belanda, mengatakan ketidaksetujuannya terhadap politik demokrasi terpimpin Soekarno.

Sama halnya dengan Buya Syafii, karakter itu juga-lah yang menguatkannya ketika badai cibiran datang dari mereka yang sinis. Meski dalam konteks berbeda, Buya Syafii juga sering melayangkan kritik membangun pada gejala sosial umat yang kadang latah, baperan dan merasa kecil, seolah-olah korban superioritas.

“Tulang punggungnya terlalu keras untuk membungkuk pada siapapun.” Kata Bung Hatta ketika mengomentari kegigihan kawan jauhnya, Tan Malaka.

Menutup tulisan ini, kalimat yang persis sama, akan saya pinjam dari Bung Hatta untuk mendeskripsikan Buya Syafii, “Tulung punggungnya terlalu keras untuk membungkuk pada siapapun.” Termasuk pada kemewahan hidup, kemalasan berpikir dan nasib usia yang harus ditanggung anak cucu Adam. Pendeknya, Buya Syafii sang “Muazin Bangsa dari Makkah Darat” itu, menolak tua.

Tabik.

Penulis: Gigih Imanadi Darma

Penyunting: Aunillah Ahmad