Buya Syafii Maarif, sosok yang menjadi penyejuk di tengah kehausan, penenang di tengah kekalutan, serta menjadi harapan di tengah keputusasaan bangsa Indonesia, senantiasa menjadi penyulut semangat anak-anak muda seperti saya. Keteduhan dan kebijakan nasihat-nasihat Buya selalu membekas.

Masih teringat, pada bulan Desember 2015 lalu saat saya mengikuti Jambore Pelajar Teladan Bangsa (JPTB), seremoni pembukaan diadakan di Balai Kota Jakarta, Buya kala itu turut hadir membuka acara dengan wejangan-wejangan, seperti dari kakek kepada cucu-cucu kesayangannya. Hadir pula Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, seseorang yang kemudian dibela Buya saat mendapatkan cibiran karena perkataannya. Sikap Buya tersebut dihujat dan dimaki sana sini, namun Buya tetap sabar dalam menghadapinya. Bagi kebanyakan orang, “Kok bisa-bisanya Buya tidak marah sama sekali?”

Hatinya memang sungguh mulia

Buya yang kala itu telah memasuki kepala delapan tetap semangat dan menggebu-gebu dalam memberikan sambutannya, supaya kami sebagai penerus bangsa tidak patah semangat, giat menuntut ilmu, dan terus berperan bagi bangsa ini. Pemikiran-pemikiran dan gagasan Buya tersalurkan kepada kami, bahwa menerjang gelombang anti keberagaman harus terus dilawan dengan narasi-narasi perdamaian dan toleransi.

Teringat beberapa nasihat Buya yang lain ketika saya mengunjungi beliau di Masjid Nogotirto, masjid dekat rumahnya selepas salat tarawih Ramadan tahun lalu bersama tiga teman saya untuk meliput. Kejadian itu tepat satu tahun lalu, begini kira-kira pesan Buya,

 

“Kekurangan kita masih banyak. Maka, siapkan sumber daya manusia yang sebanyak-banyaknya dan masuk ke dalam gelombang besar kekuatan bangsa ini. Tentunya dengan wawasan dan komitmen kebangsaan disertai iman, integritas, dan profesionalitas.”

Buya selalu peduli pada kekuatan anak muda. Tidak hanya menunjukkan kepeduliannya dengan orasi pada seminar-seminar, namun juga dengan aktivisme yang digelutinya sejak muda, bahkan sampai berusia senja kekuatannya masih dirasakan.

Barangkali kita sama-sama merasa sulit untuk menandingi Buya dalam kekuatan ilmunya yang masih ia ingat dengan jelas hingga saat ini. Nasihatnya selalu disertai pengetahuannya akan kondisi dunia secara global maupun Indonesia secara lokal. Namun, saya rasa dengan menjadikan rasa sulit itu sebagai korek api untuk membakar semangat kita jangan sampai padam. Demi melakukan seperti nasihat Buya, menjadi seseorang yang menjaga keutuhan bangsa ini pada porsi masing-masing.

Lagi-lagi, seperti nasihatnya yang masih saya ingat pada pembukaan JPTB kedelapan bulan November 2019 lalu, “Anak muda harus lanjut menyiapkan diri untuk menggantikan dan memikul peran-peran kebangsaan. Setidaknya menjaga keutuhan bangsa ini dari berbagai tantangan yang ada. Setidaknya hingga sehari sebelum kiamat.”

Daya magis semangat Buya mampu menjadikan siapa pun kagum akan sosok negarawan dan cendekiawan Indonesia. Dituduh anti Islam, liberal, dan banyak tuduhan tidak pantas lainnya yang disematkan pada Buya, tapi sungguh mereka tidak tau akan ketawadhu’an Buya dalam berislam. Salat lima waktu selalu ditegakkan berjamaah di masjid hingga menjadi identitas yang melekat dengannya, maka mudah saja bagi kami jika ingin bertemu Buya tinggal datang salat berjamaah di masjid dekat rumahnya.

Tidak pernah merasa lelah dan jenuh mendengarkan nasihat Buya, saya sering terdiam dan merenungi lagi seberapa bermanfaat hidup saya. Kata-kata Buya selalu menjernihkan dan meretaskan kekalutan. Saya sepakat dengan apa yang dikatakan Prof. Haedar Nashir:

“Buya Syafii adalah tokoh yang seolah jelmaan Buya Hamka tetapi dengan horizon akademik yang melampaui dan juga sosok yang seolah perpaduan antara Mohammad Hatta dan Hamka.”

Maka, mari kita bersama-sama bersepakat untuk tidak patah semangat untuk berperan bagi umat dan bangsa. Menjadi seseorang yang ahli pada bidangnya masing-masing, memaksimalkan potensi, dan mengarungi samudera keilmuan seluas-luasnya. Setidaknya sampai sehari sebelum kiamat, seperti kata Buya. Sekali lagi, Selamat Ulang Tahun ke-85 Buya, semoga sehat dan diberi keberkahan hidup sampai ajal menjemput. Keteduhan Buya selalu hadir memayungi bangsa ini. Terimakasih, Buya.

Penulis: Ulima Nabila Adinta (Alumni Jambore Pelajar Teladan Bangsa 2015)

Penyunting: Aunillah Ahmad