BBM naik masyarakat menjadi panik~

Tepat pada 3 September 2022 pukul 14.30 WIB, masyarakat Indonesia secara nasional mengalami kepanikan yang membabi buta, dikarenakan kenaikan harga BBM dari jenis pertalite, solar hingga pertamax. Untuk pertalite yang awalnya Rp. 7.650/liter, naik menjadi Rp. 10.000/liter. Solar pun yang awalnya Rp. 5.150/liter, naik menjadi Rp. 6.800/liter. Begitupun dengan pertamax yang awalnya Rp. 12.500/liter, naik jadi Rp. 14.500/liter.

Kepanikan-kepanikan ini dilampiaskan oleh kebanyakan masyarakat dalam bentuk mengisi tangki kendaraan mereka secara penuh. Bahkan mereka rela mengantri puluhan meter demi tangki mereka penuh sebelum kenaikan BBM. Beberapa oknum masyarakat juga mengalami kepanikan dengan melakukan penimbunan BBM. Sedangkan kepanikan di kalangan mahasiswa dilakukan dengan melakukan demonstrasi di depan gedung-gedung pemerintah.

Saya sendiri masih nggak begitu paham mengapa masyarakat begitu panik puoll mendengar kenaikan BBM. Bahkan kalangan mahasiswa yang katanya agen intelektual kok ikut panik gara-gara BBM naik. WHY banget lo, ngapain juga panik. Justru menurut saya BBM naik itu bukan sesuatu yang harus dipanikkan gitu, toh bukan kiamat juga. Berikut alasan mengapa masyarakat seharusnya nggak perlu panik ketika BBM naik.

BBM merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui

Ini merupakan pelajaran anak SD banget, yang saya pelajari sejak saya masih ingusan, bahwa minyak bumi, batu bara, termasuk juga BBM itu merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Berbeda dengan air, pohon, dan lainnya yang merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui.

Jadi, BBM ini semakin lama pasti stoknya akan menipis dan dalam waktu tertentu pasti habis total. Sedangkan di sisi lain, sebagaimana  hukum ekonomi bahwa semakin barang itu langka, maka nilainya akan semakin tinggi. Oleh karena itu, wajar dong kalau BBM itu pasti akan naik terus harganya, entah siapapun itu presidennya.

Ini merupakan hukum alamiah di kehidupan kita, nggak ada soal presidennya siapa, DPR-nya siapa, menterinya siapa atau siapa pun pejabatnya. Apapun yang langka, antik atau stoknya yang selalu menipis, maka pasti harga dan nilainya selalu meningkat. Lantas pertanyaannya, ngapain panik?

BBM naik itu sudah biasa terjadi di setiap presiden siapapun

Kalau boleh dikata, bahwa kenaikan harga BBM itu sudah menjadi kebiasaan umum bahkan menjadi budaya yang dilestarikan pada pemerintahan presiden siapapun. Mulai dari era bung Karno, hingga era pakde Jokowi, semuanya pernah memiliki kebijakan kenaikan harga BBM. Apalagi di era orde baru, peningkatan harga BBM gila-gilaan kala itu bahkan sampai sepuluh kali lipat dari harganya.

Meskipun di era beberapa presiden pernah mengalami penurunan, itu pun nggak berlangsung lama dan turunnya sangat sedikit sekali. Begitupun dengan perbandingannya, bahwa lebih banyak naik nya dari pada turunnya, kalau turunnya sekali, naiknya bisa sampai sepuluh kali.

Apa yang hendak saya katakan disini adalah, secara historis, sebenarnya kita itu sudah sangat biasa, bahkan telah menjadi budaya kenaikan harga BBM. Bahkan dari era awal-awal kemerdekaan, masyarakat Indonesia sudah biasa mengalami kenaikan harga BBM. Lantas mengapa kita masih amat panik dengan kenaikan harga BBM? toh, itu sudah biasa.

BBM naik subsidi dialihkan ke bantuan tunai

Kenaikan harga BBM ini juga sebenarnya nggak serta merta dinaikin begitu saja. Meskipun kurang enak diucap, namun sebagaimana yang dikatakan pemerintah bahwa mereka juga mikir nasib rakyatnya kurang mampu. Pemerintah menaikkan harga BBM diiringi dengan memberikan bantuan tunai kepada mereka yang berhak mendapatkannya, misalnya kepada mereka yang gajinya di bawah tiga juta setengah. Kalau program ini benar terlaksana, ya berarti bagus dong.

Selain itu, kenaikan harga BBM ini juga dilatarbelakangi banyaknya kalangan kelas menengah atas yang masih menikmati BBM subsidi yang seharusnya diperuntukkan pada mereka di kelas menengah ke bawah. Oleh karena itu, agar subsidi tepat sasaran, akhirnya pemerintah memberikan bantuan tunai langsung kepada mereka kelas menengah ke bawah, dari pada mensuntik subsidi pada BBM.

Jadi, seharusnya nggak perlu panik yang berlebihan ketika harga BBM naik, toh sebagai gantinya dapat bantuan tunai juga dari pemerintah. Ketika kalian masih panik ketika harga BBM naik, maka perlu dipertanyakan, jangan-jangan kalian dari kalangan dengan gaji  tiga juta setengah ke atas, atau jangan-jangan kalian merupakan kelas menengah atas yang pengen menikmati subsidi yang bukan hak kalian. 

Subsidi BBM menciptakan ketergantungan sosial

Mungkin tidak banyak yang menyadari, khususnya masyarakat penerima subsidi atau bantuan sosial, bahwa sebenarnya subsidi atau bantuan sosial dalam bentuk tunai itu justru menciptakan ketergantungan sosial bagi penerimanya. Ketika bantuan atau subsidi itu terus-terusan diberikan begitu saja tanpa ada upaya membangun kesadaran kemandirian pada penerimanya, maka si penerima ini akan selalu tergantung pada si pemberi. Kemudian ketika subsidi atau bantuan itu distop, maka si penerima akan mengalami kepanikan, protes dan ngelakuin hal yang nggak karu-karuan. Inilah yang terjadi pada kasus naiknya harga BBM, ketika subsidi di stop atau dialihkan, maka masyarakat amat panik yang menggila.

Lantas bagaimana mengatasi ketergantungan sosial ini? Caranya selain dari pihak pemberi yang menyadarkan si penerima dalam hal ini pemerintah memberikan penyadaran pada masyarakat, pihak penerima juga harus bisa mandiri. Ambillah contoh masyarakat Jepang yang mana mereka nggak begitu tergantung dengan BBM, pasalnya mereka ketika kemana-mana ngandalin transportasi umum atau menaiki sepeda tenaga dengkul.

Kebiasaan ala masyarakat Jepang inilah yang dapat ditiru masyarakat Indonesia agar tidak tergantung dengan BBM. Sehingga ketika kita nggak tergantung lagi, maka nggak bakal ada kepanikan yang mau mendekat.

Melalui beberapa alasan yang saya paparkan ini, masyarakat kita perlu mengoreksi diri, bahwa sebenarnya ngapain sih kita panik itu ketika harga BBM naik? Sampek dibela-belain antri berpuluh meter untuk memenuhi tangki kendaraan.

Editor: Ciqa

Gambar : Pexels