Bagi saya, belajar dan ujian itu prosesnya berbeda. Belajar untuk ujian kebanyakan dilakukan pelajar dengan proses klasik hingga modern, seperti sibuk mengulang materi, meringkas, meminjam catatan teman, les privat, tanya sama mbah google, dengerin motivasi dari akang-akang di youtube, hingga beragam strategi lainnya. Tak ada yang salah jika seseorang belajar untuk ujian. Namun, rasanya kurang afdhol jika proses-proses belajar ini dilakukan hanya dengan tujuan untuk ujian saja, tanpa ada keberlanjutan.

Sedangkan, ujian untuk belajar biasanya dilakukan seseorang dalam bentuk pengalaman. Mungkin hasil belajar ini tidak langsung terasa ketika dalam keadaan mendapat ujian, bisa jadi hari esok, minggu depan, bulan depan, bahkan tahun-tahun sesudahnya setelah ujian yang dialami. Misalnya, dahulu masa SD saya merasa kesusahan ketika ujian Bahasa Jawa, padahal saya sudah berusaha semampu saya. Nah, dari ujian itulah saya belajar terkait kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki, serta potensi dan minat saya yang perlu dikembangkan.

Ujian untuk Belajar

Dalam renungan saya, keduanya pernah saya rasakan, dan boleh jadi sebagian orang juga demikian. Namun, seiring hadirnya pahit-manis pengalaman hidup, menurut saya istilah yang lebih tepat ialah “ujian untuk belajar”, tidak sekedar belajar untuk ujian. Sebab, seluruh manusia tentu pernah mengalami ujian yang beragam, dan dari ujian itulah manusia akan belajar. Adapun beberapa pembelajaran berharga bagi saya, yaitu ketika saya mendapat ujian berupa sakit antara lain:

1. Dibutuhkan Dukungan Eksternal

Beberapa tahun lalu, ketika perjalanan studi saya di tanah rantau saya mendapat ujian berupa sakit tyfus. Ujian itu hadir ketika saya telah diberi kesempatan oleh Allah dan untuk mewakili suatu perlombaan, rasanya kebahagian itu sirna seketika.

Dua tahun berikutnya saya dikirim alas kasur yang tebal dari orang tua saya, dikarenakan riwayat flex paru-paru yang pernah saya alami ketika kecil. Kemudian setahun berikutnya lagi, saya mendapat diagnosa tumor jinak oleh dokter. Saya sempat merasa putus asa.

Meski demikian, dari kejadian seluruhnya saya sangat bersyukur, saya mendapat dukungan dari keluarga. Selain itu, lingkungan pergaulan, serta kecocokan dokter sangatlah mempengaruhi kesehatan saya. Tiga rumah sakit berbeda yang saya kunjungi memberi respon berbeda, mulai dari operasi hingga pengobatan herbal.

2. Membangun Kekuatan Internal

Tidak ada seorang pun yang ingin mengalami ujian berupa sakit. Kabar baiknya, ujian ini bisa melatih mental juga, lho. Tak dapat dimungkiri, memang rasa sakit kerap membuat galau hati, tetapi bukan berarti tak ada solusi.

Menerima keadaan diri ketika sakit akan membuat keresahan berkurang. Kekuatan diri juga bisa dibangun dengan membaca buku-buku motivasi, mengubah mindset agar lebih optimis, lebih memperhatikan diri (pola makan, aktivitas, pola tidur), serta melakukan rileksasi seperti meditasi dan menikmati keindahan alam.

Wawasan dan hasil pembelajaran seseorang yang didapat usai ujian dan pengalaman yang dirasakan biasanya akan lebih terkesan. Bagi saya, setelah merasakan ujian dari pengamalan tersebut, saya belajar bahwa “kesehatan bukanlah segalanya, namun segalanya tanpa kesehatan ialah tiada artinya”.

Ujian yang terjadi kapanpun, di manapun, dengan siapapun, dan tentang hal apapun merupakan proses seseorang untuk belajar. Sebab, apa yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan merupakan pendidikan. Nah, tinggal bagaimana nih cara kita untuk selektif dalam memilih sikap dan lingkungan agar terbentuknya konsep diri yang baik. Selamat menikmati ujian untuk belajar, sob!