Ada satu hal yang cukup mengganggu pikiran setelah menginjak usia 20 tahun, yaitu kepergian teman. Saya rasa semua orang pernah bertanya-tanya kenapa teman yang dulu menghabiskan waktu bersama justru pergi satu per satu. Dan sialnya, kadang kita merasa menjadi alasan kepergian mereka. Padahal nggak begitu kenyataannya, itu semata-mata hanya sebuah siklus kehidupan.
Dulu, saya sering merasa bahwa mereka pergi karena saya belum cukup baik, belum cukup berpengalaman, belum cukup berilmu, belum pantas buat menemani mereka. Padahal, mereka pergi karena memang sudah waktunya.
Prioritas
Umur dan pengalaman yang terus bertambah, akhirnya membuat saya menyadari bahwa sebenarnya semua orang punya prioritas sendiri. Mirisnya, baik saya atau kamu, nggak pernah jadi prioritas buat orang lain. Kalaupun nggak sengaja bertemu kembali dengan teman, artinya ada kesamaan prioritas di situ.
Sejak menyadari hal tersebut, saya mulai mengurangi tuntutan egois seperti “Mereka seharusnya meluangkan waktu buat kumpul bersama lagi,” atau bahkan “Kemana ini yang namanya teman? Kok nggak ada satupun yang mau membantu saat saya kesusahan?!”
Keegoisan semacam itu adalah bukti bahwa saya masih terjerat kenangan masa lalu dan belum menemukan sesuatu yang baru. Bahkan, bisa dibilang saya masih membanggakan masa lalu. Tapi, ada masanya saya benar-benar merindukan mereka, ada masanya saya benar-benar ingin mengetahui kabar dan kesibukan mereka.
Yang lebih miris lagi, keegoisan itu juga membuktikan bahwa saya hanya diam di tempat. Nggak ada perubahan berarti dalam hidup saya yang bisa menggantikan kenangan bersama teman itu. Kenangan itu, bagi saya, sulit sekali dilupakan kecuali menggantinya dengan kenangan lain.
Ibarat seorang penulis, saya terlalu sibuk membaca ulang cerita di halaman sebelumnya di saat teman-teman saya yang lain fokus pada apa yang sedang mereka tulis dan apa yang akan mereka tulis. Mereka menghabiskan berlembar-lembar kertas sambil menikmati prosesnya.
Saya, di sisi lain, fokus mencoba menghapus beberapa frasa atau kalimat yang nggak sesuai atau nggak tepat meskipun itu juga sia-sia saja. Karena setelah itu saya harus mengubah keseluruhan ceritanya. Ujungnya, teman-teman saya menyelesaikan ceritanya lebih dulu.
Lalu, bukankah jika orang lain sudah melesat maju lebih dulu saat saya hanya diam di tempat, sebenarnya saya justru sedang mundur?
Ya…ya…ya… Begitulah kenyataannya.
Teman di Media Sosial
Nah, beruntungnya di era media sosial seperti sekarang, teman bisa siapa saja. Nggak harus seseorang yang ada di dekat rumah, bekas teman sekolah, bekas teman satu kelas, atau bekas teman satu organisasi. Kita jadi lebih mudah menemukan orang yang memiliki prioritas sama dengan kita. Contohnya, sekarang banyak grup-grup WhatsApp, Facebook, Line, atau Telegram mengenai macam-macam hobi dan cita-cita.
Orang-orang dengan prioritas yang sama berkumpul dan saling menemukan kawan sesungguhnya. Yang saling mengerti keluh-kesah, tantangan, rintangan, halangan, keinginan, harapan satu sama lain. Beberapa mungkin punya cerita yang mirip. Istilahnya “satu frekuensi.”
Berdamai dengan Kepergian Teman
Begitulah kehidupan bekerja, kawan. Terlalu memikirkan kepergian teman pada akhirnya hanya membuat pikiran semakin kalut. Jadi, yuk stop menyalahkan dan menganggap rendah diri sendiri.
Ingat, kita itu unik dan punya jalan masing-masing. Jangan sampai kamu membuat orang lain tersiksa hanya karena mengikuti jalanmu. Cukup sesekali bertemu di persimpangan jalan. Agar ada cerita menarik untuk dibagi, kesedihan untuk diratapi, dan kebahagiaan untuk dirayakan bersama-sama.
Lagipula, apakah dengan memikirkan kepergian teman lantas bikin mereka kembali? Nggak. Kecuali kamu meminta mereka kembali, itupun nggak semuanya akan kembali.
Penulis: Gilang Oktaviana Putra
Penyunting: Aunillah Ahmad
Comments