Ramadan adalah bulan kebahagiaan. Selain dari sisi religi yang merupakan bulan Agung dalam Islam, kebahagiaan Ramadan juga berdampak di berbagai sisi. Ramadan adalah bulan yang membuat angka ekonomi tersenyum, meski di sisi lain kadang harga beberapa kebutuhan pokok menjerit. Ramadan adalah bulan kebahagiaan bagi setiap orang, bulan yang membuat bedug adzan Maghrib menjadi waktu yang ditunggu-tunggu. Ramadan adalah bulan kebahagiaan bagi setiap manusia untuk mengistirahatkan organ pencernaan setelah 11 bulan lamanya beroperasi tiada henti. Bulan Ramadan adalah bulan kebahagiaan, bahkan bagi non-muslim sekalipun di beberapa sisi ekonomi.

Kini, di tengah pandemi covid-19, kebahagiaan Ramadan dikagetkan dengan Surat Edaran Kementerian Agama RI Nomor 6 Tahun 2020 yang berisikan Panduan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri di tengah Pandemi Covid-19. Kegiatan-kegiatan ibadah yang berkaitan dengan berkumpulnya orang banyak terpaksa harus dihentikan. Seperti sholat Tarawih berjamaah di masjid, buka Bersama, pengajian akbar, hingga peringatan Nuzulul Qur’an. Sejumlah fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengiyakan fatwa dari Kementerian Agama dan memberikan fatwa yang saling mendukung satu sama lain.

Jika ditarik benang merah antara kebijakan Kementerian Agama dan semua pemangku kebijakan agama, dapat disimpulkan bahwa seluruh kegiatan peribadahan harus mematuhi protokol kesehatan. Nilai ketawakkalan seorang umat beragama dalam menangkis covid-19 harus berada di bawah syariat dan usaha manusiawi. Berdo’a untuk dihindarkan dari virus covid-19 harus melewati tahap usaha kemanusiaan, di antaranya dengan mematuhi anjuran pemerintah dalam rangka pencegahan mata rantai covid-19. Mayoritas ulama sepakat bahwa hukum beribadah akan menjadi relatif dan fleksibel jika memiliki udzur-udzur (kendala-kendala) yang menghalangi suatu ibadah.

Hukum agama sangatlah relatif. Dalam istilah pengambilan hukum Islam, terdapat kaidah yang berbunyi “hukum itu berlaku sesuai dengan ada atau tidaknya sebab dan hikmahnya”. Bisa menjadi wajib, bisa menjadi sunnah, bahkan haram, semuanya tergantung sebabnya. Dalam konteks wabah Covid-19 ini banyak pemikiran tentang hukum Islam mengenai masalah peribadahan. Zakariya Al-Anshari dalam kitab Asnal Mathalib mengutip pendapat al-Qadhi ‘Iyad yang mengatakan adanya konsensus di kalangan ulama bahwa orang yang terkena penyakit lepra dan kusta dilarang ke masjid untuk melakukan shalat Jumat karena alasan berbaur dengan orang lain.

 

Raih Kemuliaan Ramadan dari Rumah

Semua sepakat bahwa pandemi covid-19 telah menyempitkan ruang gerak kehidupan kita, apalagi menghadapi bulan Ramadan. Gemerlap Ramadan kian menjadi redup. Acara-acara meriah mendadak dibatalkan. Namun menyikapi kepastian akan Ramadan memang harus di rumah, maka kita harus pandai membangun paradigma cerdas. Kementerian Agama dan seluruh pemangku kebijakan beragama di Indonesia satu suara bahwa meski di rumah, nilai keagungan bulan suci ini tidaklah berkurang. Suara lirih do’a orang berpuasa dan kemustajaban do’a tidak terhalangi sama sekali.

Ramadan di tengah covid-19 mengingatkan umat Muslim akan sebuah hadis: sebaik-baik kamu adalah untuk keluargamu. (HR. Ibnu Majah). Dengan di rumah, justru membuka tirai kebaikan-kebaikan agung yang selama ini kebanyakan orang lupa. Jika biasanya Ramadan masih bersibuk-sibuk dengan pekerjaan, pandemi covid-19 telah membentuk setiap individu untuk berkesempatan menikmati hari demi hari dengan berbuat baik untuk keluarga.

Setiap individu berkesempatan untuk menggapai pahala besar dari dalam rumah, mulai saat sahur hingga berbuka. Seorang anak perempuan bisa membantu ibu memasak untuk berbuka. Anak laki-laki bisa membantu ayahnya mengerjakan tugas rumah atau pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Ibadah tarawih bisa dilaksanakan berjamaah di rumah.

Ramadan di rumah adalah ajang untuk mempererat komunikasi antar anggota keluarga. Rasulullah dalam sabdanya mengatakan bahwa keluarga adalah kewajiban kita untuk berbuat baik adalah kepada keluarga sebelum orang lain. Begitupun dalam bersedekah. Al-Qur’an memposisikan orang tua sebagai orang yang harus disedekahi sebelum kerabat dekat dan orang lain yang membutuhkan. Demikianlah nilai-nilai dan hikmah yang dapat kita tarik dari Ramadan di rumah. Dengan meniti Ramadan di rumah, semoga akan berbuah idul fitri yang lebih indah.

 

Penulis: Firdan Fadlan Sidik