Menjadi guru tidaklah mudah. Apalagi, menjadi guru sosiologi, sebuah pelajaran yang labil dan sering disalahpahami. Saya sebagai lulusan sosiologi murni, tapi memilih mengajar sosiologi di sekolah, menemukan banyak dilema karena kelabilan dalam ilmu sosiologi itu sendiri. Berikut beberapa dilemanya:

Antara Normatif atau Kritis

Saat belajar sosiologi klasik, saya melihat bahwa sosiologi adalah ilmu yang normatif. Itulah yang akhirnya banyak diajarkan pada siswa di sekolah. Akan tetapi, sebagai lulusan sosiologi murni saya juga belajar sosiologi yang kritis. Aliran sosiologi yang saya pikir wajah sebenarnya dari ilmu ini. Sebab, masyarakat berkembang, maka ilmu sosiologi pun ikut berkembang. Maka dari itu, saya mencoba memperkenalkan gagasan kritis sosiologi pada siswa. Alhasil, banyak siswa yang tertarik dan merasa nyaman dengan keterbukaan pembelajaran yang kritis. Tapi, hal ini tak banyak diterima oleh guru lain dan pihak sekolah. Katanya, gagasan kritis yang dibawa sosiologi mengarah pada pembangkangan dan cenderung malah nggak mengikuti nilai dan norma yang berlaku. Salah satunya dalam hal bertanya, siswa malah fokus pada kesalahan yang berujung pada menciptakan kritik pada guru. Secara sosiologis, ini bagus. Tapi, secara normatif dianggap nggak sopan oleh beberapa guru. Alhasil, saya kurangi dan kembali sedikit normatif untuk bisa mengurangi resiko teguran dari sekolah.

Antara Mengejar Target Materi atau Kedalaman Materi

Bagi mahasiswa yang belajar sosiologi, apalagi sosiologi murni, pasti sama-sama tahu bahwa materi sosiologi begitu kaya, beragam, yang akhirnya jika tak dijelaskan semua bisa disalahartikan. Saat kuliah, saya sering belajar satu teori dari satu tokoh sampai dengan 3-4 pertemuan (-+6 sks). Itu pun, masih banyak yang tak terjamah. Sedangkan di SMA, guru dikejar oleh target capaian pembelajaran. Meskipun katanya kurikulum merdeka nggak mengekang, tapi masih saja praktik di lapangan sistem kejar target materi tetap ada. Sehingga, muncul dilema, memilih memperdalam materi, tapi target materi nggak tercapai. Atau, target materi tercapai, tapi materinya nggak mendalam. Ini membingungkan dan salah satu harus dikorbankan.

Antara Disiplin atau Humanis

Sosiologi adalah ilmu yang humanis. Humanis artinya mengerti kondisi manusiawi dari seorang siswa. Sebagai guru sosiologi, tentu ciri humanis harus melekat dalam diri saya. Tapi, hal ini menjadi dilema ketika dibenturkan dengan sistem disiplin dan kepatuhan yang ada di sekolah.

Misalnya, saat ada siswa tidur, cara pandang humanis harusnya mentoleransi. Anggapannya, barangkali siswa lagi letih, lesu, dan lunglai. Tapi, dari sudut disiplin sekolah, harus ditegur. Siswa harus terus fokus belajar menatap penjelasan guru. Suatu waktu, saya pernah sedikit mendapat teguran karena mentoleransi siswa yang tidur di kelas. Katanya, saya membiasakan budaya nggak disiplin di kalangan siswa. Nanti siswa kebiasaan. Begitu pula dengan siswa makan dan minum. Di sekolah, siswa nggak boleh makan saat jam pelajaran. Ini wajar. Sesekali, sebagai guru yang humanis saya memperbolehkan, asal tetap sambil fokus belajar. Tapi, di sisi lain guru lain nggak suka dengan hal yang demikian. Kalau minum siswa memang diperbolehkan, tapi tetap harus izin pada guru. Ini lebih ke arah normative. Meski pada intinya, siswa harus disiplin makan dan minum di waktu jam istirahat sesuai waktu yang telah ditentukan oleh sekolah. 

Selain itu, disiplin dalam sosiologi juga cukup berbeda dengan pemahaman orang awam. Disiplin dalam sosiologi mengarah pada tindakan yang dilakukan secara konsisten terus-menerus dengan kesadaran yang akhirnya mengarah pada progres perubahan. Berbeda dengan disiplin di sekolah yang lebih banyak bersifat pengekangan berlebih pada siswa, yang akhirnya siswa seakan burung dalam sangkar. Sebagai guru sosiologi, saya bingung harus ikut yang mana. Ikut mengekang dengan dalih kedisiplinan sekolah atau tetap menjadi humanis mengikuti ajaran sosiologi yang saya kuasai.

Apakah nggak bisa diselaraskan antara dilema keduanya? Sependek saya mengajar, rasanya sulit. Jika mengajukan usul pada sekolah, pasti akan sulit diterima. Karena, gagasan kritis dari sosiologi rasanya pahit kayak jamu. Bahkan mungkin lebih pahit. Nggak semua pihak mau menerima, ya kan? Ujung-ujungnya, memang harus beradaptasi dengan aturan sekolah. Sekali-kali bandel sedikit melanggar demi menyelipkan gagasan sosiologi yang sebenarnya. Hihihi.