Membaca buku ini akan membuat kamu ikut merasakan bagaimana struggling-nya penyintas OCD. Pengalaman membaca ini akan membuat perasaan teraduk-aduk, kosong, dan hanya menyisakan kehampaan. Penasaran? Baca artikel ini sampai selesai ya!
Turtles All The way Down adalah karya John Green. Buku ini merupakan fiksi yang menarasikan kisah penyintas OCD dalam kehidupan sehari-harinya.
Tentu kita paham, dalam keseharian akan selalu menemui banyak hal untuk dituntaskan. Baik masalah yang ada maupun hal-hal yang bersifat rutin mulai dari sekolah, kuliah, bekerja hingga bersosialisasi dengan orang-orang lain.
Di buku ini, John Green menggambarkan kehidupan sosial penyintas OCD.
Bagaimana dia bisa berinteraksi di tengah apa yang dia rasakan dan pikirkan sebagai penyintas.
Bagaimana dia mampu melalui hari-harinya yang sulit dengan segala keruwetan pikirannya.
Bagaimana dia bisa menyelesaikan misi-misi bersama sahabat dekat, hingga bagaimana peran keluarga, teman dan psikiater bisa membantu pemulihan dirinya.
Dinamika Penyintas OCD
Aza Holmes namanya. Dia didiagnosa oleh psikiaternya memiliki Obsessive Compulsif Disorder (OCD).
Diceritakan dari sudut pandang orang pertama, sebagai pembaca kita bisa benar-benar merasakan menjadi Aza dan bagaimana struggling-nya sebagai penyintas OCD.
Aza selalu tidak menyukai tubuhnya, ia merasa dia bukanlah ketunggalan melainkan ada banyak sekumpulan makhluk hidup yang hidup di tubuhnya.
Aza merasa ia hanyalah inang dari kumpulan besar organisme parasit dalam dirinya, bahwa menurutnya wajar saja berpikir bahwa kita adalah sekumpulan koloni bakteri yang dibungkus kulit.
Dia memiliki kecemasan dan ketakutan jika ada pertukaran mikroba setelah bersentuhan dengan orang lain.
Dia memiliki rasa takut terinfeksi Clostridium difficile (C-diff) dan mati karenanya, hingga Aza terobsesi untuk terus mengganti BandAid di jari tangannya setelah dia self harm.
Hal ini dia lakukan untuk meyakinkan dirinya bahwa dia nyata. Aza juga meminum cairan pembersih tangan agar dia merasa lebih bersih dan bisa benar-benar terbebas dari infeksi C-diff.
Ada satu kutipan menarik yang saya highlight dari apa yang dipikirkan Aza.
“Kurasa aku hanya tidak suka hidup di dalam sebuah tubuh? Kalau itu masuk akal. Dan aku berpikir, barangkali jauh di dalam, aku hanyalah sebuah alat yang eksis untuk mengubah oksigen menjadi karbon dioksida, hanya sebuah organisme di tengah-tengah … dunia yang luas ini. Dan, rasanya menakutkan bahwa yang kuanggap sebagai, seperti, dalam tanda kutip, “diri”, tidak benar-benar berada di bawah kendaliku?”
Sebagai penyintas OCD, Aza dihadapkan pada kerumitan pola pikirnya. Pergulatan batin dan pikiran Aza hingga ia mampu menyakiti diri sendiri untuk membungkam pikirannya yang tidak bisa dia kendalikan.
Tentang OCD
Di dunia kesehatan gangguan perilaku yang dialami Aza tersebut disebutnya sebagai obsessive-compulsive disorder atau dalam bahasa indonesia disebut gangguan obsesif–kompulsif atau disingkat OCD.
Gangguan obsesif – kompulsif ini merupakan kondisi yang ditandai adanya pengulangan pikiran obsesif atau kompulsif, hal ini membutuhkan waktu (dalam sehari bisa lebih dari satu jam) dan mampu memberikan penderitaan (kondisi distress).
Obsesi merupakan ketekunan yang sifatnya patologis dari suatu pikiran atau perasaan yang tidak bisa dikendalikan ataupun ditentang serta tidak mampu dihilangkan begitu saja dari kesadaran disertai adanya kecemasan.
Sedang kompulsi merupakan kebutuhan yang sifatnya patologis untuk melakukan sesuatu tanpa pertimbangan, dan jika ditahan bisa menyebabkan kecemasan.
Kehidupan Interpersonal Aza sebagai Penyintas OCD
Dinamika kehidupan interpersonal Aza di buku ini mengambil sudut pandang dari kisah ala detektif.
Bermula dari pemberitaan yang santer mengenai Russel Picket, dia nyaris ditangkap dengan tuduhan kasus penyuapan.
Namun, ketika akan digrebek malam sebelumnya, Russel Picket menghilang. Siapapun yang berhasil menemukannya akan diberikan imbalan seratus ribu dolar.
Daisy Ramirez tertarik dengan imbalan tersebut, mengajak Aza sang sahabat untuk terlibat menemukan miliuner Russel Pickett yang sedang menjadi buron; ayah dari Davis Picket teman lama Aza.
Di tengah kecamuk perburuannya untuk menemukan Russel Picket, Aza terus bergulat dengan keruwetan pikiran yang selalu saja memiliki celah untuk mengganggu kesehariannya dan membuat Aza terkadang sulit bicara maupun mengungkapkan pendapat.
Di sisi lain, keikutsertaannya dalam pencarian buron ini, membuat Aza kembali berinteraksi dengan Davis Picket.
John Green secara apik dan perlahan memulai pendekatan kembali antara Aza dan Davis. Mereka berdua tidak terkesan terburu-buru dan penuh pergolakan pikiran Aza.
Hal itu menunjukkan secara gamblang bahwa sebagai penyintas OCD tentu tidak mudah untuk bersosialisasi meskipun Aza sangat ingin melakukannya.
Hal lain yang ditunjukkan Aza sebagai dinamika penyintas OCD adalah, dia menjalani masa remajanya secara tidak normal hingga memengaruhi hubungan interpersonalnya, tetapi Davis mencoba memahami dengan banyak bercerita mengenai kesukaannya terhadap astronomi.
John Green menyoroti betapa penting peran dari orang-orang terdekat penyintas OCD untuk peduli dan menjadi caregiver baginya.
Sikap Davis yang coba dia lakukan untuk Aza secara tersirat menunjukkan perannya sebagai pendukung penyintas OCD dan bukan sebagai perundung.
Selain itu, di buku ini juga dikisahkan bahwa peran Daisy dan ibu Aza yang begitu menyayangi Aza dalam proses pemulihannya.
Tidak adanya labeling yang disematkan dari keduanya, memahami dan terus mendukung Aza, salah satunya dengan menemani selama masa-masa Aza sedang down setelah meminum cairan pembersih dan konsultasi dengan Dr. Singh, sang psikiater.
Ini menjadi pesan yang mendalam bagi kita semua untuk menjadi support system bagi mereka yang memiliki mental illness.
Bukan malah menjadi perundung dengan memberikan label maupun menjauhi, yang sesungguhnya akan membawa kepulihan penyintas OCD maupun mental illness yang lain semakin jauh.
Bantuan Psikiater untuk Penyintas OCD
Sesi-sesi konsultasi Aza dengan Dr Singh mengalami up and down. Banyak percakapan mereka berlangsung selama sesi membantu Aza melewati masa-masa sulitnya.
Hal itu tergambar dari bagaimana metafora yang disampaikan Aza pada Dr Singh hingga pergulatan Aza untuk memilah apa yang di pikirkannya.
“Satu dari tantangan-tantangan yang berkaitan dengan rasa sakit—baik fisik maupun psikis—adalah bahwa kita hanya benar-benar bisa melakukan pendekatan terhadapnya lewat metafora. Rasa sakit tidak bisa direpresentasikan layaknya meja atau tubuh. Dalam beberapa hal, rasa sakit adalah antonim dari bahasa.”– Dr. Singh
Beberapa pergulatan spiral-spiral pikiran Aza yang coba dia gunakan untuk dealing, karena dirinya teringat sesi bersama Dr. Singh yang sering mengatakan,
“Berusaha membiarkan diriku memiliki pikiran-pikiran tersebut, karena menolaknya berarti membiarkan mereka mengambil kendali atas diriku. Kuberi tahu diriku bahwa memiliki pikiran-pikiran itu tidaklah berbahaya, bahwa pikiran-pikiran bukanlah perbuatan, bahwa pikiran hanyalah pikiran.”
Tentu saja perjalanan Aza untuk mencapai kepulihannya tidak akan habis dalam satu buku jika itu realita.
Tapi dari membaca kisahnya, kisah pasti paham betapa beratnya hidup para penyintas mental illness, salah satunya dinamika penyintas OCD yang dibahas di buku ini.
Jika kamu tidak cukup peduli untuk menjadi caregiver, cukuplah menjadi manusia yang tidak judgmental dengan memberikan label-label menyebalkan untuk para penyintas yang berusaha untuk pulih dari sakit mentalnya.
Cukup menjadi manusia baik dengan menjaga mulut dan tanganmu untuk tidak sembarang bertutur dan mengetik.
Jadi, kamu bisa kan melakukannya?
Editor: Lail
Gambar: Pexels
Comments