Memahami konsep beragama dan fase manusia beragama bisa mendewasakan mengatasi konflik perbedaan ideologi. Agama saat ini menjadi candu yang rentan terhadap perpecahan sebab tidak menerimanya keyakinan atau pemahaman kebenaran yang lain. Keyakinan menuntut persamaan yang beberapa di antaranya dipaksakan kepada orang lain.
Perkara metafisika (gaib) tentang sebuah keyakinan mendasari orang melakukan hal-hal militan memperjuangkan kebenarannya. Bahkan dalam kondisi tertentu rela mengorbankan segala kehidupannya untuk mempertahankan keyakinannya. Agama menjadi dogma dan doktrin yang mengakar pada manusia sebab ketidakmampuan menerima kebenaran keyakinan yang lain.
Luasnya ilmu agama yang selalu berubah berdasarkan konteks peradaban, menjadikan pelajaran bahwa pemahaman konservatif akan melahirkan tindakan yang ekstrim untuk melawan perubahan zaman. Mengingatkan kejayaan masa lampau dengan narasi keadilan dan kemakmuran ketika menerapkan sistem syariah dalam bernegara. Perlawanan dilakukan melalui jalan dakwah di berbagai media, jalan pergerakan melalui bidang pendidikan dan instansi publik, dan jalan politik melalui partai.
Jalan dakwah mulai gencar dilakukan di berbagai platform digital dengan memunculkan tokoh-tokoh yang diulamakan. Melakukan kajian dakwah secara modern dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Sasarannya adalah pemuda yang ingin belajar agama secara instan dan tidak terikat ruang waktu.
Jalan pergerakan dilakukan dengan membentuk berbagai komunitas atau organisasi dengan memanfaatkan momentum hijrah milenial dan fanatisme kampanye ketauhidan. Masuk pada ruang pendidikan dan instansi untuk merekrut sumber daya unggul. Pemuda potensial dijadikan senjata untuk menarik massa (jamaah) dengan iming-iming kenikmatan surga. Setelah selesai dicekoki kajian agama, mereka diterjunkan untuk menguasai masjid atau mushola daerah-daerah sebagai strategi menyebarkan ideologi secara masif.
Jalan politik dengan menciptakan narasi kontra pemerintahan. Menentang segala kebijakan yang dianggap tidak memuat unsur syariah. Menekan penerapan sistem syariah di berbagai lembaga pemerintahan. Hingga penciptaan konflik sosial dengan narasi politik identitas. Menarik perhatian umat muslim yang merasa pantas mendominasi kebijakan. Membanggakan kelompok mayoritas (muslim) untuk terus bertaklid kepada ulama.
Fase Beragama Manusia
Tahap religiusitas (iman) seseorang pernah diteliti oleh James Fowler pada motivasi menemukan makna hidup. Ia membagi perkembangan iman dalam 6 fase dalam hidupnya. Tujuannya sebagai bahan refleksi atau kontemplasi diri. Selain itu juga bisa menjadi pembelajaran memaklumi keyakinan orang yang sedang berada di tahap apa.
Pertama, fase intuitif-proyektif atau intuitive-projective faith. Fase ini terjadi di usia anak-anak awal. Pada tahap ini manusia memasrahkan hidupnya pada pengasuh (orang tua). Meniru perkataan dan perilaku orang di sekitarnya. Kaitannya dengan iman, tahap ini mulai memasuki tahap praoperasional dimana dunia kognitifnya mulai terbuka terhadap berbagai kemungkinan baru. Benar dan salah dilihat menurut konsekuensi bagi dirinya kemudian mulai mempercayai adanya hal-hal gaib.
Kedua, mistis-literal atau mythical literal faith. Fase ini terjadi di usia anak-anak dan remaja (sekitar usia 8 – 19 tahun). Tahap ini mulai bernalar secara lebih logis dan konkret namun tidak abstrak. Menginterpretasikan kisah-kisah religius secara literalis. Pandangan mereka mengenai Tuhan sangat menyerupai gambaran mengenai orang tua yang memberikan hadiah ketika berbuat baik dan memberikan hukuman ketika berbuat jahat.
Ketiga, sintesis-konvensional atau synthetic-conventional faith. Tahapan mulai mengembangkan pemikiran operasional formal dengan mengintegrasikan hal-hal yang pernah dipelajari mengenai agama ke dalam suatu sistem keyakinan yang koheren. Mereka lebih menggantungkan kebenaran kepada orang yang dianggap lebih alim (taklid). Mulai berafiliasi dengan kelompok dan bersikap militan apabila ada yang ingin mengganggu atau menyerang kelompoknya. Tahap ini juga mulai menjadi kebimbangan seseorang tentang tidak korelasinya keyakinan dengan realita.
Keempat, individuatif-reflektif atau individuative-reflective faith. Tahapan pertama kalinya individu mampu sepenuhnya bertanggung jawab terhadap keyakinan imannya. Pemikiran dan intelektual operasional formal yang menantang nilai-nilai dan ideologi religius individu. Tahapan dimana manusia mulai menyadari bahwa kebenaran atas keyakinan dimiliki setiap orang. Mulai mempertanyakan kebenaran dan keyakinannya sendiri.
Kelima, konjungtif atau conjunctive faith. Pada tahap ini, seseorang lebih terbuka terhadap dimensi paradoks dan mengandung berbagai sudut pandang yang saling bertolak-belakang. Keterbukaan ini beranjak dari kesadaran seseorang mengenai keterbatasan mereka. Manusia mulai melakukan introspeksi diri.
Keenam, Iman universal atau universal faith. Tahap tertinggi dari perkembangan iman melibatkan transendensi dari sistem keyakinan tertentu untuk mencapai penghayatan kesatuan dan komitmen untuk mengatasi berbagai masalah yang tidak berfokus pada konsep kedamaian. Peristiwa-peristiwa yang menimbulkan konflik tidak lagi dipandang sebagai paradoks. Seseorang menjadi lebih bijaksana menerima perbedaan sebagai keniscayaan.
Foto: Pexels
Editor: Saa
Comments