Jum’at yang lalu, di masjid tempat biasa saya ibadah jum’atan, ada satu orang yang asing bagi saya di antara para jama’ah lainnya. Hal itu karena wajahnya yang belum pernah saya lihat serta model busananya. Dia hanya memakai sarung dan kaos, tanpa peci dan baju koko. Namun, ada hal lain yang menjadi perhatian saya daripada semua itu. Saat ia membuka tangannya untuk berdoa, di kedua lengannya terdapat tato.

Awalnya saya sedikit tersentak melihatnya, tapi tak lama kemudian saya merasa biasa saja, dalam arti tak tebersit rasa takut dalam hati. Dari sini, saya merasa ada kejanggalan. Kejanggalannya ialah apabila melihat orang bertato di masjid, saya biasa saja. Namun, jika melihat orang berjambang dan berpakaian khas Arab, saya justru merasa agak gimana gitu. Entahlah! Apakah orang lain juga merasakan hal yang sama atau tidak? Menurut saya, penyebab dari apa yang saya rasakan tersebut, karena fenomena terorisme yang terjadi belakangan ini.

Dari apa yang saya lihat, tragedi bom bunuh diri sering kali disematkan pada Islam. Bahkan biasanya si pelaku melakukan hal tersebut dengan mengatasnamakan Tuhan dan surga, bahkan menganggap hal tersebut sebagai ibadah. Sangat disayangkan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan respon saya terhadap orang-orang yang berjubah dan bercadar, menjadi terbalik.

Padahal, apabila dicermati, misi utama Nabi Saw adalah “Menyempurnakan akhlak yang baik”. Artinya apa? Ini tentu tak selaras dengan insiden bom bunuh diri, sebab tak ada unsur akhlak di dalamnya.

Jangan Menghakimi Ibadah Seseorang

Kembali ke pembahasan awal tadi mengenai orang bertato. Dalam fiqih, orang bertato memang tidak sah untuk melaksanakan sholat. Karena, tato yang terdapat pada dirinya menghalangi air wudlu. Bila wudlu-nya tidak sah, maka sholatnya juga tak sah. Tapi tunggu! Sebelum menghakimi, mari merenung sejenak! Seandainya ada orang bertato sholat dan orang tak bertato meninggalkan sholat, manakah yang lebih baik? Jangan sampai menjawab, “Orang tak bertato yang sholat”, lho ya! Itu tak ada dalam opsi.

Mungkin jawaban kita terhadap pertanyaan di atas berbeda-beda. Ada yang memilih orang pertama, ada juga yang kedua. Alasannya pun masing-masing. Akan tetapi, intinya adalah jangan sampai kita menganggap atau menilai bahwa salah satu dari mereka berdua, maupun keduanya, tak berhak masuk surga. Ingat, kita ini manusia. Kita ini hanya sekedar makhluk (ciptaan). Keputusan masuk surga atau neraka itu bukan ranah manusia. Kita tidak punya hak untuk andil dalam memutuskannya.

Bisa jadi Tuhan memutuskan salah satu di antara mereka berdua (orang bertato yang sholat dan orang tak bertato yang meninggalkan sholat) masuk surga atau neraka. Di sisi lain, tak menutup kemungkinan bahwa keduanya masuk surga atau neraka.

Lantas, apa pelajaran yang bisa kita ambil dari sini? Pertama, jangan sampai merasa diri paling baik. Kedua, jangan menganggap orang yang ibadahnya, secara kasat mata, lebih sedikit dari kita “Pasti” masuk neraka. Ketiga, jangan mengafirkan orang lain yang syahadatnya sama dengan kita.

Hal Kecil dengan Dampak yang Tak Terduga

Kita tak pernah tahu mana amal baik yang akan mengantarkan kita ke surga dan amal buruk yang berbuah siksaan neraka. Buktinya apa? Teman-teman pasti sudah tak asing dengan kisah pelacur yang diampuni dosanya “Hanya” karena member minum anjing yang kehausan. Catat! Yang ia beri minum bukan manusia, melainkan hewan yang notabene termasuk dalam kategori najis mughallaẓah (berat).

Di sisi lain, ada seorang ṣaḥabat Nabi yang sulit melewati sakarah al-maut disebabkan ia tak membalas panggilan ibunya ketika sedang shalat. Hal tersebut kemudian membuat ibunya benci terhadapnya. Sekali lagi, catat! Ṣaḥabat Nabi tadi sibuk dengan urusan akhirat, bukan dunia.

Apa yang dilakukan pelacur dan ṣaḥabat Nabi di atas sama-sama hal yang kecil dan sederhana, tapi dampaknya tidak terduga. Oleh Karena itu, belajar dari kisah tersebut, mari berhenti merasa paling baik agar kita tak berhenti berbuat baik!