Politik adalah jalan untuk mendistribusikan keadilan. Tapi dalam praktiknya, tujuan mulia itu kerap macet dan cuman jadi jargon di ujung bibir. Sebagai contoh, mari kita ambil isu mutakhir yang saya rasa masih hangat untuk kita bicarakan: Habib Muhammad Rizieq Shihab, untuk mempermudah, biar saya pakai nama akronim HRS saja.

Laki-laki yang punya trah darah dari ‘gurun pasir’ itu kini ditahan oleh Polda Metro Jaya atas dasar pelanggaran ‘standar protokol kesehatan’ terkait kerumunan massa dalam rangkaian kegiatan di Petamburan, Jakarta.

Pada tulisan yang lalu, saya menyebut HRS sebagai tokoh oposisi nomor satu. Ia berpolitik, mengerti politik, dan meski tak berpartai, HRS adalah politisi itu sendiri. Maka dengan begitu, mari kita dudukkan bahasan ini dalam bingkai kacamata politik.

***

Kalau pihak kepolisian mau jujur, sungguh tak terbilang berapa jumlah pelanggar protokol kesehatan. Pelakunya beragam, dan ada kalanya dari pihak kepolisian itu sendiri. Tapi lihatlah, rasa-rasanya hanya HRS yang mendapat perlakukan sebegitu ketat.

Kita boleh berpendapat, sudah terlalu banyak pemakluman untuk HRS. Tapi untuk alasan yang sama, coba hitung berapa kali pemakluman pemerintah untuk kasus-kasus korupsi?

Balik lagi ke bahasan utama, pertanyaan tambahan, kenapa seolah-olah mata pisau hukum condong memberatkan HRS dan tidak kepada pelanggar sejenis?

Misalnya saja pada saat kampanye Pilkada yang lewat, ada banyak sekali kandidat kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan dan hanya diberlakukan denda ringan belaka? Hingga akhir November, Bawaslu mencatat 2.126 kasus pelanggaran.

Dan lihatlah. Tanpa papipu, betapa kesatrianya HRS yang lantas langsung membayar denda yang dijatuhkan padanya sebesar Rp 50 juta.

Politik Tebang Pilih

Apa yang saya kemukakan di atas, baru satu hal dari contoh politik tebang pilih. Kita beranjak ke kasus yang lebih panas: penembakan pada 6 pengawal HRS.

Penembakan yang terjadi di jalan tol Cikampek itu berujung pada –meminjam istilah kelompok FPI– syahidnya para pejuang dan penegak agama Islam. Mereka terbunuh karena melindungi imam besarnya, melindungi Dzurriyah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Kasus itu sudah pasti menambah polemik dan persoalan makin ruwet. Meski sebetulnya, belum terang persoalan apa yang terjadi. Keterangan dari pihak kepolisian di media kerap berubah-ubah. Jadi wajar bila media membuat pemberitaan dua arus yang sama membingungkannya.

Berita terbaru yang beredar menyebut dua pengawal FPI yang ditembak dan meninggal di jalan tol. Sedangkan empat pengawal lainnya ditembak di mobil karena dianggap mencoba merebut senjata. Padahal keterangan semula para pengawal itu tidak bersenjata. Hadeh.

Ketidakjelasan di atas bukan tanpa konsekuensi. Buntut dari lintasan peristiwa itu bisa kita baca pada unggahan akun Twitter Ian Wilson misalnya, seorang dosen senior yang bidang kajiannya adalah politik dan studi keamanan di Australia, Murdoch University.

Ia mengunggah gambar orang-orang yang berpose sambil menunjukkan poster HRS yang bertuliskan ‘Relawan Melbourne’, tak lupa dengan bubuhan caption, “Habib Rizieq supporters in Melbourne, Australia #FPI #HRS #HabibRizieq”.

Apa arti dibalik unggahan tersebut? Bagi saya itu semacam imajinasi ketidakadilan yang telah menyeberang lintas negara. Kita tunggu saja, kota-kota di belahan bumi mana lagi yang bakal menunjukkan simpatinya pada HRS. Ini hanya soal waktu.

Dari dalam negeri, kita disajikan berita tentang ratusan pendukung HRS yang mendatangi Polres Cimahi dan meminta agar mereka saja yang ditahan menggantikan sang Imam Besar.

Apa-apa yang dilakukan oleh pendukung atau simpatisan HRS adalah respon simbolik. Mengapa itu terjadi? Bagi saya, kata kuncinya satu: keadilan.

Meski saya banyak tidak sepakatnya pada apa yang diajarkan oleh HRS, tapi untuk urusan ini, saya lebih tidak sepakat pada orang-orang yang memanfaatkan momentum.

Pusaran Isu Toleransi

Yang saya maksud adalah para buzzer yang coba untuk mendengungkan bahwa HRS layak mendapat hukuman. Lucunya lagi mereka mulai mengungkit-ungkit bahwa HRS adalah sosok yang anti toleransi. Lantas adakah kaitannya dengan kasus penembakan dan pelanggaran protokol kesehatan?

Para penyebar toleransi ini agak aneh. Mulut mereka fasih bicara toleransi, tapi tidakkah mereka sadar bahwa mereka tengah menyulut api kebencian yang baru. Paradoks.

Jika Anda tidak toleran terhadap pandangan orang lain dan menganggap satu-satunya jalan untuk menegakkan toleransi adalah dengan membungkam suara-suara pro-Rizieq dan gerakannya? Argumen bahwa Rizieq anti-toleransi pun harus dikaji ulang.

HRS adalah seorang politisi. Sebagaimana politisi yang lain, dia pun mencari simpati dengan keahliannya dan itu adalah cara yang lazim, apalagi kalau bukan dengan mengeksploitasi firman-firman Tuhan.

Tapi bukankah banyak politisi yang menempuh jalan demikian? Politisi yang berwajah pluralisme sekalipun. Bedanya adalah, HRS bukan politisi yang mengadu nasib lewat kontes pemilu atau jadi bagian dari lingkar-lingkar kekuasaan. Ia tak lebih dari politisi pinggiran, dalam bahasa yang lebih sopan, marjinal.

Keadilan untuk HRS

Balik lagi ke bahasan utama. Saya kira, persoalan HRS ini tak boleh berlarut-larut. Pertama, jika HRS benar melanggar hukum karena melanggar protokol kesehatan, maka perlakukanlah hal yang sama pada para pelanggar sejenis.

Kedua, beri keterangan yang jelas pada publik, pihak polisi harus bersikap gentle, apa yang sebetulnya terjadi di jalan tol Cikampek itu dan motif apa yang mendasari mereka untuk mengikuti rombongan HRS.

Dan yang jauh lebih penting, stop semua caci maki dan kalimat yang mengatakan para pengikut dan pendukung HRS adalah orang-orang yang bodoh. Hidup ini sudah sulit dan pemerintah adalah dalang dari semua itu. HRS muncul dengan pseudo-psikologis yang demikian.

HRS adalah manifestasi kemarahan rakyat kecil pada rezim. Ia mewakili rakyat yang tak cukup keberanian untuk terang-terangan bilang para elit negeri ini, bahwa mereka ‘bajingan’.

Pada akhirnya, sekali lagi, berilah keterbukaan dan keadilan pada HRS.

***

Saya ingin menutup catatan ini dengan kalimat yang rasa-rasanya patut kita renungkan: Seringkali manusia menyederhanakan makna keadilan hanya pada titik yang menguntungkan bagi kroni-kroninya.

Tabik.

Penulis: Gigih Imanadi Darma

Penyunting: Aunillah Ahmad