Bandar Lampung tak ubahnya seperti rumah kedua bagi saya setelah Jakarta. Selain untuk tempat bernaung, kota ini juga menjadi tempat saya untuk menuntut ilmu. Tercatat mulai dari bangku TK hingga SMA saya jalani di Kota Tapis Berseri ini.

Waktu tersebut jelas sangat tidak sebentar. Kepingan-kepingan peristiwa yang saya alami saat masih bersekolah dahulu kini menjelma menjadi sebuah pengalaman sekaligus pelajaran hidup yang tak terlupakan. 

Selama empat belas tahun lamanya saya menjadi pelajar di Bandar Lampung, ada banyak hal menarik yang saya alami. Meskipun demikian, saya hanya akan menuliskan beberapa saja. Semua itu terangkum dalam suatu memoar yang tak terlalu panjang ini

Naik Becak saat Pulang dan Pergi Sekolah

Sewaktu saya masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI), saya pernah berlangganan moda transportasi yang bernama becak. Moda transportasi beroda tiga ini rutin mengantarkan saya ketika hendak berangkat atau pulang sekolah.

Di jaman saya kecil dahulu, becak merupakan moda transportasi yang memiliki banyak kegunaan. Selain untuk mengantar orang pulang dari pasar, becak juga dapat digunakan untuk mengantar atau menjemput anak-anak sekolah. Tukang becak langganan saya dahulu punya beberapa langganan anak sekolah selain saya dan adik. 

Seingat dan sepengetahuan saya, saya setidaknya sudah tiga kali berganti becak. Saya bahkan pernah satu atap becak dengan adik sendiri. Kebetulan adik pernah satu sekolah dengan saya meskipun berbeda kelas pastinya.

Setelah lulus dari MI, saya praktis meninggalkan becak sebagai sarana pengangkut menuju sekolah. Sebagai gantinya, saya beralih ke angkutan umum yang bernama angkutan kota atau yang bisa disebut sebagai angkot.

Dari MTs hingga SMA saya selalu bersekolah di daerah Tanjungkarang. Adapun jarak sekolah saya dan rumah berdasarkan Google Maps mencapai 7-8 km. Dengan jarak yang sedemikian jauhnya, sangat tidak mungkin mengandalkan becak untuk berangkat ke sekolah

Weekend Masih Sekolah

Sejak saya sekolah dari MI hingga SMA, saya diwajibkan untuk menghadiri proses pembelajaran di sekolah setiap enam hari per pekan. Sistem ini dianut oleh mayoritas sekolah di Bandar Lampung, terutama di sekolah-sekolah negeri. 

Praktis, hanya di hari Minggu saja saya bisa merebahkan diri seharian di ranjang putih kesayangan yang begitu empuk. Tapi kebahagiaan itu terkadang sirna karena adanya agenda sekolah. Biasanya sih agendanya kalau tidak jalan sehat ya try out gitu. 

Kalau boleh jujur, sekolah di hari Sabtu itu adalah ujian terbesar bagi nurani. Ingin rasanya menikmati Sabtu pagi di atas ranjang, namun terbentur oleh kewajiban menuntut ilmu. Meskipun demikian, saya kemudian jadi terbiasa dan enjoy-enjoy saja dengan sistem tersebut.

Belajar Bahasa Lampung

Sebagai orang yang pernah bermukim di ibu kota Provinsi Lampung alias Bandar Lampung, tentu tidak mungkin saya tidak pernah bersinggungan dengan yang namanya bahasa Lampung. Saya sendiri pernah mempelajari bahasa ini saat masih duduk di bangku MI hingga MTs. 

Meskipun demikian, jangan ajak saya berbicara dalam bahasa Lampung. Saya akan kesulitan untuk meresponnya. Terlebih teman-teman maupun tetangga tidak pernah mengajak saya untuk berbicara dalam bahasa Lampung. 

Bisa dibilang bahasa Lampung merupakan mata pelajaran yang paling sulit saya kuasai. Waktu saya duduk di awal-awal bangku MTs, saya pernah mengikuti remedial ulangan Bahasa Lampung. Padahal nilai-nilai ulangan mata pelajaran saya yang lainnya cenderung bagus bahkan tinggi pada saat itu.

Kalau hanya sekedar menuliskan kalimat ke dalam aksara Lampung sih saya bisa. Waktu masih bersekolah dahulu, saya tahu kok aksara Lampung beserta tanda-tandanya. Hanya saja saya tak hafal urutan aksaranya.

Meskipun demikian, ada beberapa kalimat dalam Bahasa Lampung yang saya tahu artinya. Salah satunya adalah ‘nyak haga mit sekula’ yang kalau diterjemahkan artinya adalah saya mau pergi sekolah. Kalimat ini cukup sering saya dengar ketika belajar bahasa Lampung di sekolah. 

Lalu ada juga kata lawang yang saya ingat. Kata ini begitu memorable di benak saya mengingat ia memiliki arti yang berbeda terhadap dua bahasa daerah. Pada bahasa Jawa lawang dapat diartikan sebagai pintu. Sementara dalam bahasa Lampung lawang sendiri memiliki arti gila.

Menjadi pelajar di Kota Bandar Lampung memberikan saya banyak pelajaran berharga. Selain belajar bahasa dan juga kebudayaan Lampung, saya juga belajar untuk menjalin hubungan dengan orang lain yang kemudian menjadi teman di kemudian hari. Sungguh tak mungkin terlupakan masa-masa tersebut.

Penyunting: Halimah
Sumber gambar: JawaPos.com