Belakangan, entah kenapa, saya merasa semakin mudah tersinggung dan marah. Saya yang tidak merokok ini semakin sensitif terhadap asap rokok. Apalagi kalau menemui orang yang merokok di jalan sambil naik motor atau mobil di depan saya. Rasa ingin misuhi orang itu muncul seketika. Padahal, dulu, saya adalah perokok pasif dan sangat biasa ngopi dengan orang-orang yang merokok.
Tak hanya itu, saya juga semakin sensitif terhadap bunyi yang kencang. Saya benci sekali jika di samping saya ada orang teriak-teriak ketika main game. Saya juga muntab ketika di dalam ruangan ada orang yang bicara lewat telfon atau zoom tapi suaranya kencang sekali. Bahkan, sesederhana mendengar orang cerewet ngobrol dengan orang lain saja cukup membuat saya sakit kepala.
Mudah Emosi
Perasaan yang semakin sensitif itu dibarengi dengan suasana hati yang mudah murung ketika melihat apa yang tidak saya suka. Selain rokok dan bunyi yang keras, suasana hati saya bisa berubah menjadi buruk ketika, misalnya, ada orang yang keluar masuk tanpa menutup pintu yang seharusnya selalu tertutup.
Sialnya, suasana hati yang buruk itu sulit untuk diobati. Saya selalu menyebut tidur, terutama tidur siang, sebagai mekanisme mengembalikan emosi menjadi lebih stabil. Sialnya lagi, belakangan, saya merasa semakin sulit tidur siang.
Jalan Kaki
Nasehat-nasehat di lini masa kemudian berseliweran. Salah satu yang saya tangkap dan saya praktikkan adalah exercise, khususnya lari dan jalan kaki. Seperti sore ini, karena seorang teman mengubah janjinya kepada saya, yang itu menghancurkan mood saya untuk melakukan sesuatu yang produktif, saya memilih untuk keluar jalan kaki. Saya berjalan ke timur, 700 meter dari tempat tinggal, menuju 0 km Yogyakarta. Saya kemudian berbelok ke kiri menuju Jalan Malioboro.
Tentu saya tidak tau apa yang akan saya lakukan nanti di Malioboro. Hanya sekadar berharap suasana hati menjadi sedikit lebih baik. Ketika berjalan, saya mengingat beberapa tokoh besar yang suka jalan kaki. Sebut saja orang yang sangat saya kagumi: Dahlan Iskan. Tak hanya itu, saya juga teringat dengan salah satu esai Iqbal Aji Daryono di Detik.
Cerita Iqbal
Di esai itu, Iqbal bercerita tentang kegalauannya berhadapan dengan deadline menulis esai dari Detik. Di hari terakhir, ketika tak kunjung mendapatkan ide menulis, dia jalan kali di sebuah stadion di Jogja. Nyatanya, Iqbal justru semakin resah, karna ketika sudah lelah berjalan, ide yang ia harapkan dapat ditulis lalu berubah menjadi pundi-pundi ekonomi untuk menghidupi anak istri itu tak kunjung datang.
Ia pun menyangsikan sebuah nasehat dari tokoh yang ia tulis, yang saya lupa namanya. Yang menasbihkan bahwa untuk mendapatkan ide menulis, maka jalan kakilah. Iqbal gagal dapat ide. Lalu menulis kegagalannya. Di tengah menulis esai itu, dia menyadari satu hal: bahwa tidak semua teori itu dapat bekerja dengan baik pada semua orang. Ia tulis penjelasan dari temuannya itu. Lalu jadilah esai yang ia kirimkan ke Detik dan dimuat beberapa jenak kemudian!
Iqbal gagal dapat ide, sekaligus berhasil mengirim esai. Sungguh anomali.
Tapi, terlepas dari keberhasilan dan kegagalan Iqbal yang saya tidak peduli-peduli amat itu, saya merasa bahwa jalan kaki dan menulis cukup efektif untuk meredakan kegelisahan saya. Seperti saat ini, saya jalan kaki ke Malioboro, duduk di salah satu kursinya. Lalu mengetik, mengingat-ingat tulisan Iqbal yang tidak terlalu penting. Lalu perlahan kegelisahan dan kegundahan saya hilang. Barangkali, jalan kaki dan menulis adalah mekanisme yang bisa saya lakukan untuk menstabilkan emosi yang mulai sering gonjang-ganjing ini.
Tentu, di sore ini, saya tak hanya mengingat Iqbal. Saya juga mengingat Harari supaya esai ini terlihat sedikit lebih intelektual.
Rekayasa Emosi
Konon, menurut Harari, esok lusa, di sebuah masa yang entah apa namanya, emosi itu dapat direkayasa. Seperti tanaman saja.
Ketika teknologi semakin canggih, dan pengetahuan tentang manusia semakin maju, orang-orang cerdas di negara-negara maju itu dapat mempengaruhi emosi kita. Bagus, batin saya. Artinya, kita tak butuh exercise untuk mengobati gundah gulananya hati. Tapi, di sisi lain, ketika orang tak lagi bisa bersedih, itu juga berarti seni yang mengkapitalisasi kesedihan seperti musik, film, dan novel drama menjadi tak lagi punya harga diri. Eh, tapi saya lupa, ketika masa itu datang, musik, film, dan novel kita sudah diproduksi oleh mesin.
Tidak Butuh Hiburan
Atau jangan-jangan kita tak butuh lagi musik, film, dan novel? Karna emosi kita sepenuhnya dikontrol oleh aktor di luar tubuh kita sehingga kita tidak butuh hiburan? Atau musik, film, dan novel itu diproduksi oleh mesin untuk masing-masing diri kita? Sesuai dengan kecenderungan personal kita?
Kini, kita bisa mendengar musik dan menonton film dengan begitu privat di kamar dengan headset. Ke depan, mungkin saja kesenian itu tidak hanya dikonsumsi secara privat, tapi juga diproduksi secara privat, untuk kita nikmati secara privat, dan langsung ditampilkan secara privat di depan indra kita. Atau bahkan langsung ditanam di dalam kepala kita, sehingga kita bisa menikmatinya ketika indra kita sedang tidak bekerja.
Apapun itu, menulis dan jalan kaki tetap menjadi hal yang menyenangkan sekaligus menenangkan. Maka, selagi itu menyenangkan dan menenangkan, kenapa tidak?
Editor: Assalimi
Gambar:
Comments