Berbicara tentang perempuan muslimah, sebelum jauh-jauh membahas perannya sebagai sebaik-baik rahim peradaban, madrasatul ula atau bahkan menggugah daya berpikir kritis muslimah terhadap kenaikan harga BBM. Asma Nadia, seorang penulis kondang tanah air mengajak kita untuk berkaca pada diri sendiri. Sudahkah image sebagai muslimah itu menjadi citra diri yang meneduhkan atau justru hadir sebagai gambaran perempuan yang menyebalkan. 

Sebelumnya, perlu penulis klarifikasi bahwa bukan berarti peran-peran besar seorang muslimah itu tidak penting. Akan tetapi, besarnya peran-peran tersebut akan menjadi tidak seimbang alias jomplang. Apabila tidak diiringi dengan memperhatikan hal-hal yang nampaknya sederhana namun selalu melekat pada diri perempuan muslimah. Hal apakah itu?

Perempuan berjilbab panjang dan berbusana tertutup tentu memancarkan aura yang indah dan nyaman bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Terdapat aura positif yang membuat jiwa-jiwa kembali bersinergi karena luhurnya budi pekerti. Akan tetapi, nyatanya tidak demikian, tidak jarang ditemukan seorang muslimah yang berperilaku membuat orang-orang di sekitar merasa risih dengan kehadiran dirinya yang menyebalkan.  

Melihat persoalan yang demikian, Asma Nadia menulis buku berjudul “Salon Kepribadian, Jangan Jadi Muslimah Nyebelin”. Tujuannya, agar sebagai seorang muslimah, kita mampu berkaca melihat hal-hal buruk sekecil apapun di dalam diri sehingga tidak menjadi muslimah nyebelin. Baik yang disadari atau tidak disadari dan tentunya dilengkapi dengan solusi dalam membenahi diri. Buku ini sebenarnya telah terbit sejak lama dan sudah penulis baca ketika duduk di bangku menengah pertama, namun penulis baru merasakan manfaat dan pentingnya saat sudah menjadi mahasiswa dan ukhtivis. 

Dalam buku tersebut, terdiri dari delapan bab yang membahas persoalan-persoalan Muslimah yang sangat menyebalkan. Mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala, mulai dari nilai-nilai etik sampai nilai-nilai estetik. Baik penampilan, ucapan, tindakan  bahkan dari perkara muamalah sampai ibadah sekalipun, perempuan muslimah seringkali menimbulkan kesan menyebalkan bagi orang-orang di sekitarnya.

Bagaimana tidak menyebalkan, ketika seorang muslimah yang seharusnya menjadi inspirasi justru ketika didekatnya mencium aroma terasi, bau kaos kaki dan aroma tidak sedap lainnya. Akibatnya, hal tersebut perlahan-lahan membuat orang-orang di sekitarnya berancang-ancang mengeluarkan jurus seribu kaki, sebab tidak tahan dengan bau badan yang menghampiri. Hal ini, dibahas pada bab pertama dan kedua, mengenai aroma bau badan, rambut, tangan, keringat serta serba-serbi ekspresi wajah yang seharusnya hangat dan syahdu ketika dipandang, bukan mengerikan seperti singa kelaparan

Sama halnya ketika seorang muslimah yang seharusnya menjadi mutiara dari setiap kata yang terucap tetapi justru menyakitkan bahkan membuat pendengarnya menangis diam-diam. Hal ini dibahas pada bab ketiga berjudul “Muslimah Nyelekit?”. Dalam bab ini membahas tentang ucapan-ucapan yang seringkali menyakitkan. Mulai dari merusak kegembiraan teman, mencela, tidak mau kalah, tidak bisa membaca situasi, suka menyindir, celetuk yang bikin malu bahkan mengawali pertanyaan dengan kata “kok”. 

Pertanyaan yang diawali dengan kata “kok” ini cenderung menyebabkan hati pendengarnya menangis berdarah-berdarah. Contohnya “kok kamu gendutan sih?”, “kok, kamu tidak syar’i?” dan ungkapan-ungkapan lainnya yang membuat seorang muslimah tidak lagi cocok dijadikan mantu idaman, eh.

Nah kemudian, dalam bab empat berjudul “Your Attitude, Goals” membahas berbagai perilaku muslimah nyebelin. Misalnya, suka ikut campur, lelet, jorki (baca : jorok sekali), suka ngeluh, big boss, penggoda, mental gratisan, suka memaksa, kuper, tukang dandan (over), kaku, dan perilaku-perilaku lainnya yang sangat dan sangat menyebalkan.

Selanjutnya dalam hal ibadah, ternyata muslimah nyebelin, bagaimana bisa moment-moment indah menjalankan ibadah justeru memancing emosi karena seorang muslimah tidak bisa membaca situasi. Misalnya, wudhu terlalu lama, salat di tempat umum berlama-lama tanpa memikirkan orang lain yang sudah menangantri dan berdesak-desakan atau menjadi imam salat tanpa memikirkan jama’ah. Bahkan saat umroh dan haji, seringkali muslimah berprilaku yang membuat orang lain merasa terganggu, begitupun dalam hal menyampaikan dan menerima nasihat. 

Terakhir dalam bab “Last But not Least” kurang lebih disampaikan kalau ada di antara kita menganggap it’s fine being nyebelin dengan berbagai alasan, harap dengan sangat untuk dipikirkan lagi. Sebab menjadi nyebelin saja sudah merugikan diri sendiri dan orang lain. Apalagi ditambah dengan image sebagai seorang muslimah. 

Menurut hemat penulis, kurangnya perhatian terhadap hal-hal di atas seringkali melahirkan stigma negatif terhadap perempuan muslimah. Dalam tingkatan yang lebih ekstrem bahkan, tidak jarang orang-orang sangat anti dan alergi terhadap perempuan-perempuan yang berpakaian syar’I. Karena alergi dan dihormati itu berbeda. Alergi terhadap perempuan muslimah itu sendiri, seringkali ditimbulkan karena mereka memang tidak melihat wajah Islam dalam diri seorang muslimah.

Selain dilatarbelakangi oleh abainya terhadap hal-hal mendasar dan manusiawi di atas. Juga biasanya disebabkan oleh menggebunya semangat dalam berbenah menjadi muslimah yang kaffah tetapi miskin terhadap pemahaman. Hal inilah yang melahirkan kesenjangan antara cara berpakaian dengan cara bersikap dan cara berpikir. Sebab amal dan ilmu sejatinya berjalan beriringan dan berhubungan positif. 

Tentu saja untuk menggeser tauhid kepada cara berpikir dan cara bersikap membutuhkan proses yang panjang dan melelahkan. Untuk itu, mau berbenah dan terus belajar adalah kuncinya. Jangan terbuai pada bisikan kaum mendang-mending, “mending gak usah syar’i-syar’I, toh yang syar’I aja gak jamin masih steril” dan ungkapan semisal lainnya. 

Oleh karena itu, mari banyak belajar dengan benar bukan hanya merujuk pada yang tenar, memperkaya referensi dan memperluas relasi serta bersungguh-sungguh dalam berdo’a dan beribadah. Tidak apa-apa jika hari ini masih banyak salah dan kurangnya, karena “kesempurnaan” hanya milik Rizky Febian.  Demikian pula yang penulis rasakan ketika hendak menulis artikel ini, jika menunggu menjadi perempuan muslimah yang kaffah dan tidak menyebalkan, kapan nulisnya? Hehe.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Editor : Ciqa

Gambar : Google