“Apa cuma aku, cewek yang kalau dandan cuma pakai bedak” 

“Dih, seleranya K-Pop! Aku sih sukanya Metallica.”

“Males ah temenan sama cewek. Temen cewek tuh tukang gosip dan banyak drama.” 

Apakah kamu punya temen cewek yang seperti ini? Atau kamu sendiri pernah berkata dan bersikap begini? 

Sikap seperti contoh di atas itu namanya pick me girl. Pick me girl adalah perempuan yang bersikap seolah-olah dirinya beda sendiri, lebih unik dan spesial dibandingkan perempuan pada umumnya. Karena selera, gaya hidup, atau nilai-nilai personal yang dianut dirasa berbeda dari mayoritas perempuan, seorang yang terjangkit pick me girl cenderung merasa dirinya lebih superior sehingga tak jarang merendahkan perempuan lain yang berbeda dengannya. 

“I’m not like the other girls”, begitulah pesan tersirat yang hendak mereka sampaikan. 

Nah, pick me girl ini sebenarnya termasuk tanda dari internalized misogyny atau ada juga yang menyebutnya seksisme yang terinternalisasi. 

Apa itu internalized misogyny

Mari kita pahami dulu dari kata misogini sendiri. Secara etimologi, misogini berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata miseo yang berarti kebencian dan gyne yang mengacu pada para perempuan. 

Jadi, misogini artinya adalah sikap, tingkah laku kebencian, penghinaan dan keengganan seseorang terhadap perempuan. 

Seseorang yang membenci dan merendahkan perempuan disebut misoginis. Biasanya sikap dan perilaku ini ditunjukkan oleh laki-laki. Namun, tidak menutup kemungkinan, sikap dan perilaku misoginis juga ditunjukkan oleh sesama perempuan. Kebencian dari seorang atau sekelompok perempuan terhadap sesama perempuan yang memiliki selera atau nilai-nilai personal yang berbeda inilah yang disebut sebagai internalized misogyny

“Kok bisa sih sesama perempuan saling serang? Terus ngapain dong ada jargon sisterhood dan women support women?”

Tak lain dan tak bukan adalah karena budaya patriarki yang mengindoktrinasi dan menempatkan perempuan sebagai pihak inferior sedangkan laki-laki sebagai pelindung, pencari nafkah dan pemimpin. Nilai-nilai patriarki yang terinternalisasi dalam pikiran bawah sadar perempuan ini pada akhirnya membuat perempuan mempercayai bahwa mitos-mitos dan stereotipe tentang perempuan yang bersifat seksis itu benar adanya. 

Stereotipe-stereotipe seperti “perempuan tidak pandai menyetir”, “perempuan itu lemah dan kurang akal”, “perempuan tidak bisa jadi pemimpin” dan sebagainya, yang digaungkan berulang-ulang, akhirnya diyakini sebagai kebenaran sehingga perempuan cenderung meragukan kapasitas dirinya dan terjebak pada inferiority complex. 

Biar kamu lebih paham tentang internalized misogyny, mari kita pahami tanda-tandanya agar lebih berhati-hati dalam bersikap. 

  1. Meremehkan dan meragukan kemampuan perempuan lain
    Hanya karena stereotipe perempuan itu lebih emosional, bukan berarti perempuan tidak mampu dan tidak layak menjadi pemimpin. Meski lebih emosional dibandingkan laki-laki, perempuan juga bisa kok berargumentasi dan bernalar secara sehat. Karakter perempuan yang nurturing dan keibuan bisa membuat kepemimpinannya menjadi kepemimpinan yang empatik, bukan hanya transaksional.
    Hal menggelikan lain yang juga pernah saya dengar adalah stereotipe perempuan yang suka dandan itu kurang cerdas karena dia lebih suka mempercantik wajahnya dibandingkan mengasah otaknya. Mirip dengan stereotipe bahwa perempuan cantik itu bodoh sedangkan perempuan cerdas biasanya kurang cantik. Sayangnya, kok ya stereotipe ini ikut diamini oleh sesama perempuan sih? Kurang-kurangin lah ya, meremehkan sesama perempuan. 
  2. Menerapkan standar ganda
    Pernah gak kamu punya guru, dosen, teman atau atasan perempuan yang kalau ke sesama perempuan galaknya minta ampun, tapi kalau sama laki-laki (apalagi kalau orangnya ganteng) sikapnya jadi lebih ramah?
    Kalau dalam satu tim kerja, ketua laki-laki memberi komentar atau kritik atas hasil kerja rekan setimnya, dianggap responsif dan proaktif. Sementara kalau ketuanya perempuan, malah dianggap bossy dan bawel.
    Kalau laki-laki tidak pandai memasak akan dianggap biasa dan wajar, sedangkan perempuan kalau tidak pandai memasak bakal dikata-katai habis-habisan. Dianggap melanggar kodrat pula. Duh! Standar ganda banget pokoknya. 
  3. Suka menghakimi dan berkomentar negatif atas penampilan perempuan lain
    Lihat perempuan kurus, “Kurus banget sih kayak gak berbentuk. Gak pernah makan ya?
    Lihat perempuan gemuk, “Gendut banget. Diet dong! Jelek lho, ntar.”
    Lihat perempuan bermake-up tebal. “Tebel amat tuh make-up. Kayak tante-tante.”
    Dan sebagainya, dan sebagainya.
    Pertanyaan saya, Anda gak punya kerjaan lain ya, selain mengomentari penampilan mereka? 
  4. Mudah memberi label negatif pada perempuan lain
    Kalau ada istilah “duda keren”, kenapa sih gak ada istilah “janda keren”? Seringnya, labelisasi janda selama ini justru berkonotasi negatif, seperti “janda gatel” atau “perebut suami orang”. Perempuan yang dianggap tidak memenuhi standar norma dan moral sosial akan dicap “kebablasan”, sedangkan laki-laki yang berbuat demikian tidak pernah dicap sebagai “laki-laki kebablasan”. Mirisnya, pelabelan ini juga dilakukan oleh sesama perempuan. 
  5. Suka menyalahkan korban (victim blaming)
    Perempuan menjadi korban pelecehan seksual, yang disalahkan pakaiannya. Rumah tangga berantakan, yang disalahkan perempuan. Padahal tidak selalu salahnya. Bisa jadi si suami melakukan KDRT atau lepas tanggung jawab menafkahi anak istri. Bagaimana mau ada efek jera bagi pelaku, kalau perempuan pun ikut menormalisasi pelecehan dan kekerasan terhadap kaumnya sendiri? 

Kesimpulan

Setiap perempuan punya kisah dan masalahnya masing-masing. Selera, nilai-nilai personal, talenta, dan kemampuan perempuan juga beragam. Hanya karena kamu penyuka make-up natural, tidak perlu nyinyir pada perempuan lain yang lebih suka make-up tebal. Hanya karena kamu penyuka musik metal, kamu tidak perlu mengejek perempuan lain yang lebih suka K-Pop. Hanya karena seorang perempuan punya sifat lemah lembut, penyayang dan keibuan, bukan berarti di saat yang bersamaan dia tidak bisa bersikap tegas dan menjadi pemimpin yang baik. 

Sisterhood dan women support women seharusnya tidak hanya menjadi jargon kosong, sedangkan di saat yang sama pula, kita malah menjatuhkan sesama perempuan. 

Editor: Saa

Gambar: Pexels