Seiring dengan semakin menjamurnya isu kesetaraan gender, tentu ini merupakan kabar baik sebab masyarakat tidak lagi asing dengan isu tersebut. Adanya gerakan sosial dan banyaknya diskursus mengenai kesetaraan gender tidak dapat dilepaskan perannya. Namun pada kenyataannya kesetaraan gender kurang diimplementasikan dengan baik terutama pada unit terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Jika demikian, apakah mewujudkan kesetaraan gender dalam keluarga adalah hal yang utopis?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus melihat lebih luas realitas implementasi dari kesetaraan gender di keluarga kita masing-masing. Sudahkah berjalan dengan baik? Tentu untuk mewujudkan hal tersebut harus diiringi dengan pengetahuan mengenai kesetaraan gender. Hal tersebut menjadi tumpuan dasar untuk mewujudkan keluarga dengan kesetaraan gender di dalamnya.
Menerapkan kesetaraan gender dalam lingkungan keluarga seringkali dijumpai banyak hambatan. Berkaca dari keluarga saya sendiri, saya dapat menilai bahwa kesetaraan gender dalam keluarga saya masih kurang diterapkan dengan baik. Misalnya saja, pekerjaan rumah tangga hampir seluruhnya dikerjakan oleh anggota keluarga berjenis kelamin perempuan. Padahal, laki-laki pun juga dapat melakukannya.
Hampir setiap hari saya menjumpai pemandangan tersebut dalam keluarga saya. Kecuali apabila saya kembali tanah rantau. Mengapa untuk melakukan hal sesederhana mencuci pakaian, mengambil nasi sendiri ketika hendak makan, hingga mencuci alat makan yang telah terpakai sangat sulit dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki? Pertanyaan tersebut selalu menjadi pergulatan dalam pikiran saya.
Dalam pengambilan keputusan keluarga pun, anggota keluarga perempuan tidak memiliki kesempatan yang luas. Pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh perempuan seringkali dilemahkan. Sebab, perempuan dinilai sebagai makhluk yang emosional sehingga pendapat mereka kurang realistis. Bukankah hal tersebut tidak termasuk kodrati dalam diri perempuan?
Ketika saya hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan pun, sempat mendapat tentangan dari pihak keluarga terutama mendiang kakek dan nenek saya. Saat itu saya mendapatkan pertanyaan dari mendiang kakek saya, hendak ke mana saya melanjutkan pendidikan saya? Saya pun menjawabnya dengan penuh semangat, “Di Yogyakarta”. Namun respon yang saya terima cukup bertolak belakang. Kakek saya mengatakan bahwa perempuan, sejauh mana pun kita berkelana untuk menempuh pendidikan akan tetap menjadi “pelayan” bagi laki-laki.
Pendapat yang dikemukakan oleh mendiang kakek saya tersebut cukup banyak ditemukan di masyarakat Indonesia. Tidak hanya satu-dua orang saja. Jika laki-laki bisa mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan hingga jenjang yang tinggi, bukankah perempuan pun memiliki kesempatan yang sama? Mengapa perempuan harus diibaratkan sebagai “pelayan” laki-laki jika perempuan bisa menjadi pendamping laki-laki yang saling mendukung dan melengkapi satu sama lain? Pekerjaan rumah, pengambilan keputusan, dan pendidikan tidak hanya untuk jenis kelamin tertentu bukan?
Pada akhirnya pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya dapat menjadi perdebatan batin belaka. Konstruksi sosial turut menjadi andil dalam melahirkan kebiasaan tersebut. Bukan tanpa alasan, apa yang dikemukakan mendiang kakek saya dipengaruhi oleh suatu konsep filosofis dalam masyarakat Jawa yang beranggapan bahwa perempuan wajib macak, masak, manak (menghias diri, memasak, menghasilkan keturunan). Melalui anggapan tersebut, maka munculah ketimpangan gender dalam keluarga.
Konstruksi sosial yang cenderung tidak adil gender tersebut menjadi tantangan dalam penerapan budaya adil gender di lingkungan keluarga. Pergerakan dan kebebasan perempuan dalam menjalankan hak-hak mereka terhambat oleh adanya nilai dan norma yang terkonstruk tersebut. Benturan dengan nilai dan norma daerah menjadi hambatan yang perlu dituntaskan dalam upaya penerapan budaya yang adil gender dalam keluarga. Hal ini harus diselesaikan dengan cara yang arif. Bukan bertujuan untuk menolak nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Menerapkan kesetaraan gender dalam keluarga bukanlah hal yang utopis. Untuk mewujudkan keluarga yang adil gender maka perlu saling bahu-membahu mendukung program-program kesetaraan gender. Melalui hal sederhana seperti membiasakan seluruh anggota keluarga melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa membedakan jenis kelamin, melibatkan anggota keluarga perempuan dalam pengambilan keputusan, dan memberikan kesempatan menempuh pendidikan untuk anggota keluarga perempuan. Keluarga sebagai sarana transfer nilai melalui interaksi yang dibangun di dalamnya dapat meningkatkan efektivitas penerapan nilai-nilai kesetaraan gender apabila dapat dikelola dengan baik.
Suatu perubahan dapat dimulai dari hal sederhana yang dapat berdampak besar dalam kehidupan sosial. Kontribusi nyata diperlukan tidak hanya sekadar jargon belaka. Dan hal tersebut bukan hanya wacana program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan saja, perlu dibuktikan dengan tindakan aplikatif. Tanpa perlu banyak berteori, melalui tindakan sederhana yang dibiasakan dalam keluarga maka kita dapat turut mendukung program pengarusutamaan gender di Indonesia sehingga dapat terwujud lingkungan yang adil gender.
Penulis: Savira Amarrasuli
*) Artikel ini merupakan karya peserta Collaboration Project on Writing Challenge hasil kolaborasi Milenialis dengan Puan Melawan, Its Girl’s Time, dan Kuntum
Comments