Manusia mana yang tidak ingin bahagia? Namun apakah mereka pernah mencari arti kebahagiaan yang sesungguhnya?

Tentu, manusia ingin bahagia. Bukan saja mengetahui bahagia, akan tetapi mengecap bahagia. Hanya saja, definisi bahagia antar manusia itu berbeda-beda. Menurut Buya Hamka, bahagia itu mempunyai kaidah sebanyak orang, sebanyak penderitaan, sebanyak pengalaman, sebanyak kekecewaan.

Bahagianya orang sakit ada pada kesehatan. Bahagianya orang miskin ada pada kekayaan. Bahagianya pencinta ada pada pertemuan dengan kekasih. Demikianlah manusia menggantungkan kebahagiaan pada kekurangan dan penderitaan yang dimilikinya.

Banyak sekali ahli pikir yang mendefinisikan tentang bahagia. Mereka menulusuri apa sebenarnya arti kebahagiaan. Aristoteles berkata bahwa bahagia itu ialah suatu kesenangan yang dicapai oleh orang berdasarkan kehendak masing-masing.

Hendrik Ibsen berpendapat bahwa kita belum mencapai bahagia, sebab tiap-tiap jalan yang ditempuh menjauhkan kita dari bahagia. Pendapat ini adalah pendapat yang bernada putus asa, sebab melihat kebahagiaan sebagai sesuatu yang sulit dicapai. Hal ini disebabkan kebahagiaan akan dicapai dengan berpeluh yang dipastikan ada rintangan yang menghalanginya.

Lain lagi dengan Leo Tolstoy yang berpendapat bahwa kebahagiaan tidak akan tercapai dengan mencari bahagia untuk diri sendiri. Bahagia adalah sesuatu yang dicapai untuk kebahagiaan bersama. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa kebahagaiaan yang diperoleh untuk diri sendiri akan mengganggu kebahagiaan orang lain.

Seorang ahli syair Hutai’ah berkata

و لست أرى السعادة جمع مال # ولكن التقى لهي السعيد

وتقوى الله خير الزاد ذحرا # وعند الله للأتقى السعيد

Aku tidak melihat kebahagiaan dalam mengumpulkan harta.

Akan tetapi taqwa itulah bahagia.

Taqwa kepada Allah adalah sebaik-baiknya simpanan.

Dan di sisi Allah adalah kebahagiaan bagi orang yang bertaqwa.

Mencari Arti Kebahagiaan yang Mendalam

Ketika bermukim di pondok pesantren, saya pernah mengaji Al-Hikam karya Ibnu Athoillah kepada KH. Zuhri Zaini, BA. Hingga sekarang, saya masih ingat dengan jelas. Beliau pernah menjelaskan bahwa “Bahagia itu ada di hati”. Manusia pergi berlibur menghabiskan biaya tinggi untuk mencari kebahagiaan. Dia lupa bahwa bahagia itu ada di hati mereka. Bahagia bukan di harta, rupa, atau kuasa. Ia ada di hati yang dimiliki setiap manusia. Karena setiap orang berhak bahagia.

Buya Hamka pernah memberikan komentar tentang sabda Nabi yang mengatakan bahwa akal terbagi menjadi tiga bagian yaitu baik pengetahuannya terhadap Allah (ma’rifatullah), baik taatnya kepada Allah, dan baik sabarnya atas ketentuan Allah. Beliau memberikan kesimpulan bahwa bahagia manusia menurut derajat akalnya. Karena akallah yang dapat membedakan baik dengan buruk. Akal yang dapat menyelidiki hakikat dan kejadian segala sesuatu yang dituju perjalanan hidup di dunia ini. Semakin akal itu sempurna, semakin tinggi derajat bahagia yang dicapai. Maka, kesempurnaan akallah kesempurnaan bahagia.

Semoga kita dapat mengecap kebahagiaan tersebut. Bukan hanya bahagia yang sementara, akan tetapi kebahagiaan yang sebenarnya