Kalau Tuhan memberi saya kesempatan menjadi dosen, maka akan buru-buru saya pergi ke pasar untuk memperbarui jam tangan. Kalau-kalau Tuhan juga memberi saya rezeki berlebih, saya akan memasang dua jam di masing-masing tangan untuk mengingatkan kembali pada saya, bahwa waktu itu sangatlah penting. Baik itu waktu yang saya gunakan untuk diri saya sendiri, atau waktu yang saya abdikan kepada mahasiswa-mahasiswa saya.
Alangkah paradoks jika keinginan saya ini dikabulkan Tuhan dan esok saya benar-benar menjadi dosen, hal-hal kausalitas yang menyebabkan baik dan buruknya keadaan hidup ini akan benar-benar terjadi. Apabila saya menjadi dosen, benarkah saya akan melakukan pekerjaan, pengajaran, atau pendidikan yang sesungguhnya. Karena ketiga hal tersebut jelas sangat kontras dalam makna maupun tujuannya.
Apabila saya bekerja sebagai dosen, maka tiap hari bahkan berabad-abad jika saya menjalani pekerjaan itu, maka yang ada dalam pikiran saya hanya jam kerja, cara kerja, dan hasil finansial pekerjaan. Akan tetapi saya kira segala hal yang mencakup tentang proses pendidikan kuranglah layak jika disebut pekerjaan, karena mungkin jika saya menjadi dosen, saya akan ketat memegang idealisme kalau tindak-tanduk saya hanya sebatas kuli akademik. Emosional dan ikatan batiniah tidak perlu terjadi karena profesionalitas saya sebagai pekerja aparat negara yang mapan hingga hari-hari pensiun.
Apabila saya mengajar sebagai dosen, interaksi saya akan mengacu pada sistem, materi dan semacam silabus yang patuh terhadap administrasi pengajaran. Mungkin hal itu akan berhenti apabila saya merasa jika lelah menceramahi mahasiswa-mahasiwa dan membuat mereka pulang dengan ribuan pertanyaan. Apabila mahasiswa-mahasiwa saya sudah semakin menua dan berakhir masa kuliahnya, maka mereka akan tumbuh sebagai saya yang baru, sebab yang saya ajarkan pasti segala sesuatu yang ada dalam diri saya, baik itu pengalaman, cara dan tindakan saya.
Berbeda halnya saya mendidik sebagai dosen dan Tuhan menghendaki demikian, maka segala proses yang saya jalani ialah sebagai fasilitator pendidikan, penyampaian pengetahuan, dan praktik bersama keilmuan. Pendidikan sebagaimana tujuannya dalam mensejahterakan manusia, tak mungkin dapat saya sampaikan hanya sebatas formalitas kelas atau sks, pembelajaran searah atau mohon maaf dengan sengaja “merendahkan” mahasiswa yang memang pada dasarnya perlu dipahamkan.
Bagi saya, lagi-lagi jika Tuhan menghendaki menjadikan saya dosen. Maka ikatan lahir dan batin antara dosen dan mahasiswa sangatlah perlu diperbaiki, jauh-jauh berbicara mengenai ikatan batin yang diciptakan melalui ibadah dan saling mendoakan, mungkin menciptakan ikatan lahir saja saya akan kesulitan, sebab jika sikap dan perilaku saya tidak layak di-gugu dan di-tiru (guru) sebagai seorang pendidik, maka stigma tak baik akan melekat pada diri saya.
Entah apa sebenarnya yang saya tulis, mungkin dapat dikatakan do’a pada diri saya sendiri, bahwa mahasiswa atau murid ialah bagian dari subjek pendidikan. Dalam profesi apapun, saya kira ada beberapa hal yang membedakan antara beberapa aspek seperti pekerjaan, pengajaran dan pendidikan. Pekerjaan akan menuju pada gaji pokok atau finansial, hal ini sering dilakukan oleh para profesi kuli yang tak pernah tau urusan bangunan itu layak atau tidak, kokoh atau tidak, apalagi bermanfaat atau tidak. Ia hanya memikirkan gaji dan tergesa-gesa pulang untuk melakukan per”kuli”an yang baru.
Sedangkan pengajaran akan bergerak menuju pada hasil, seperti jabatan di atas kuli yaitu tukang. Ia akan bekerja agak lebih repot dari para kuli sebab kegiatan eksekusi bangunan akan dikerjakan olehnya. Dalam pikiran tukang, entah apapun latar belakang dan fungsi bangunan yang akan dibuat, hal terpenting baginya ialah hasil yang baik dan profesionalitas. Terakhir, berbicara mengenai pendidikan seperti halnya seorang mandor atau arsitektur yang baik, mereka merancang, mempertimbangkan, berdiskusi dengan segala elemen yang terlibat, memperhitungkan dan mensejahterakan semua pihak baik itu pemilik proyek, pembantu administrasi bahkan para pekerja.
Namun sampai saat ini, agaknya saya terus belajar memaknai apa itu pendidikan yang sebenarnya. Karena hal-hal yang mencakup pendidikan kini tercampur dengan kepentingan-kepentingan tertentu hingga menghilangkan maksud pendidikan itu sendiri. Entah apabila Allah SWT menjadikan saya sebagai seorang dosen suatu hari nanti, setidaknya saya akan bertanya pada mahasiswa saya, “Apa kabarmu Nak?”, “Adakah uang jajan hari ini?” atau sekedar, “Rambutmu terlihat gondrong, jangan lupa disisir.”
Foto: Jobskarir.id
Editor: Saa
Comments