Selama hampir menyelesaikan 12 tahun wajib belajar, aku rasa ada yang hilang. Hilang dari halaman-halaman buku pelajaran, hilang dari paragraf-paragraf pengantar pengajaran, hilang dari benak-benak para pelajar. Mengendap, dan hanya jadi bahan kelakar.

Sekolahan merupakan instansi kedua dalam proses pengajaran, setelah keluarga. Sesuai yang dimaksudkan, instansi ini berguna bagi landasan dalam ilmu-ilmu duniawi melalui pengajaran. Disinilah, bagian-bagian dari norma dan karakter manusia dijejalkan.

Yang Hilang dari Bangku-bangku Sekolah

Sebuah rasa sadar untuk menengok diri sendiri. Menjadi satu dengan ibu pertiwi. Paham-paham matematika integral dianggap lebih tinggi nilainya, dibandingkan cara-cara mengenal datangnya musim pancaroba. Pengenalan lambang-lambang kimia selalu lebih didahulukan, tanpa mengenali bahan kimia yang mana yang dapat merusak lingkungan kita, sejatinya.

Adanya substansi muatan lokal, yang kuketahui, selalu berlandaskan budaya setempat. Tentang bahasa, seni dan etika. Kemudian dipangkas, tidak sampai pokok-pokok memelihara alam semesta. Kita kadang tidak mengetahui fakta, bahwa pada dasarnya, setiap daerah mempunyai budaya yang menyatu dengan alamnya.

Kita jarang mendapati muatan lokal menanam padi, membuat pupuk kompos dan menjernihkan air tanah. Padahal sudah menjadi hak bagi lahan kita untuk ditanami tumbuhan, juga air yang mengalir sebagai sumber kehidupan.

Keseluruhannya, bagian dari ritus kebudayaan yang sudah dipatenkan. Ruwat bumi bukan hanya kebiasaan, tapi sebuah momentum sakral dalam pemeliharaan atas apa-apa yang kita ambil dari alam. Tapi, gemerlap tumbuk lesung menjadi irama saja, tanpa ada rasa akan syukur sepenuhnya.

Lupa, Dilupakan, Hilang

Yang kita butuhkan, sebuah pokok kurikulum yang mengajarkan penyelamatan kehidupan. Tiap daerah sifatnya berbeda-beda karena berbagai topografi wilayah yang ada.

Mungkin di Kalimantan lebih dikenalkan bagaimana bersahabat dengan lahan gambut; di Jakarta lebih ditekankan tentang usaha pencegahan dan penyelamatan saat banjir datang dengan penjelasan tentang daerah resapan; di lereng-lereng gunung harus ada pengajaran tentang bagaimana penanganan ketika terkena bisa ular, atau belajar mengetahui insting binatang; di Bogor harus ada pengajaran tentang drainase dan penampungan air hujan; pun di Papua, tentang perlindungan hutan dan bahaya limbah tambang.

Semuanya adalah perihal mengenal diri sendiri, perihal kembali lagi ke apa-apa yang ada di sekitar kita. Apa yang kita hirup, kita rasakan dan kita pijak sejak kita lahir hingga akhir nanti tiada. Karena, saat kita mulai lupa, kita menjadi gila.

Kita, mungkin, selalu diberi bahan ajar soal globalisasi dan ilmu-ilmu murni. Belajar menghitung, menghafal dan menjawab pertanyaan. Tanpa kita sadari, kita jadi terbiasa untuk tidak bertanya, tentang apa saja. Tentang norma, tentang tanah air kita, tentang hutan dan seisinya.

Setelah berhenti untuk bertanya dan ingin tahu, kita kemudian jadi manut-manut saja, atas alur yang memang diciptakan untuk kepentingan yang lebih berkuasa. Jadi, tanpa sadar kita merelakan jati diri, kita mengorbankan alam dan kasih sayang bumi. Kita terbiasa atas pengorbanan untuk alam masa depan. Yang tanpa kita sadari, kesemuanya akan lupa, dilupakan, lalu hilang.

Penulis: Qonita Labibah Rahmah

Penyunting: Aunillah Ahmad