Teruntuk mahasiswa yang mau juga dapat gelar sarjana, gimana kabar kalian? Apakah sudah melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata (KKN)? Atau sekarang sudah memasuki masa-masa KKN? 

KKN merupakan salah satu kegiatan yang banyak dinanti-nanti mahasiswa. Mengapa tidak? Selama melaksanakan KKN akan banyak pengalaman yang bisa didapatkan. 

Sejatinya melalui KKN, mahasiswa dapat mengimplementasikan ilmu-ilmu yang sudah didapatkan di kampus kepada kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Menjadi lokomotif di desa-desa tempat mereka mengabdi, terlebih nilai-nilai moral kemanusian mesti dipraktikkan dengan baik. 

Kenangan Positif dalam KKN

Mahasiswa yang mengikuti KKN setidaknya harus mampu membuat kenangan dan pengalaman positif selama KKN, bukan berarti pencitraan ya. Tetapi mahasiswa yang KKN harus bisa datang ke masyarakat dengan membawa nama baik kampus dan mahasiswa, sehingga dengan begitu saat perpisahan nantinya, masyarakat yang berada di lokasi KKN tersebut merasa terharu dan ada bekas kenangan batin yang ditinggalkan, bahwa dengan hadirnya mahasiswa KKN tersebut mampu memberikan aura positif. 

Sehingga nggak banyak juga lho, mahasiswa terjerat dalam cinta lokasi selama KKN, entah dengan sesama mahasiswa peserta KKN atau dengan pemuda-pemudi desa. Itu memang nggak salah dan sering juga terjadi. Suatu kenyataan harus legowo diterima program KKN bisa menjadi ajang ketemu si ayang (jodoh), wkwkwk. 

Sebenarnya sih bukan itu tujuan utama melaksanakan KKN, kalau pun ketemu jodoh saat KKN anggap saja itu sebagai bonus. Lagi-lagi melalui KKN, mahasiswa diharapkan mampu mengimplementasikan ilmu kepada masyarakat yang sudah didapatkan di kampus. 

Tetapi nyatanya, justru sering juga ada beberapa kejadian yang menggelitik saat mahasiswa melaksanakan KKN. Mencederai nilai-nilai KKN sebagai ajang mengabdi ke masyarakat, hingga yang terkesan di publik nama baik mahasiswa dan kampus pun menjadi buruk. 

Bagaimana tidak, jika mahasiswa yang melaksanakan KKN nggak mampu berempati dan berbaur kepada masyarakat tempat ia ber-KKN. Tentu akan sulit melaksanakan program kerja KKN kalau nggak bisa berempati dulu kepada masyarakat atau menerima kondisi dan situasi yang ada di desa tempat KKN. 

Opini saya ini bukan tanpa fakta, baru-baru ini tengah viral di media sosial rombongan KKN diusir oleh warga setempat gegara membuat ketidaknyaman kepada masyarakat yang ada di lokasi KKN. 

Mahasiswa KKN yang Bermasalah

Beberapa hari yang lalu, KKN mahasiswa dari Universitas Mataram (Unram) menjadi sorotan lantaran salah satu dari mereka mahasiswa peserta KKN menyebut nggak ada wanita cantik di desa Kayangan, kecamatan Kayangan, kabupaten Lombok Utara, lokasi mereka KKN. Kejadian itu dilakukan dengan mengunggah sebuah vidio melalui Instagram Story miliknya. 

Aksi tersebut membuat masyarakat setempat merasa dirugikan dan dihina, hingga meminta kepada mahasiswa tersebut membuat klarifikasi dan akhirnya satu rombongan KKN itu diusir oleh warga. 

Bukan itu saja, juga pernah terjadi kepada kelompok KKN Universitas Negeri Padang (UNP) diusir oleh warga di lokasi KKN, tepatnya di Padang, Sumatera Barat. Kejadiannya hampir sama, peserta KKN ini juga membuat konten yang isinya menyinggung masyarakat di tempat mereka KKN. Kurang lebih isi kontennya menyinggung fasilitas yang tidak enak di lokasi tempat mereka KKN, hingga kontennya pun menjadi viral dan membuat masyarakat merasa tersinggung. 

Kejadian-kejadian seperti ini harus bisa menjadi pelajaran bagi mahasiswa peserta KKN. Walau di tempat KKN ada yang membuat kita nggak nyaman, tetapi sebagai mahasiswa yang melakukan pengabdian kepada masyarakat jelas nggak pantas melakukan tindakan yang bisa membuat masyarakat setempat tersinggung, apalagi sampai mengunggahnya di media sosial hingga membuatnya menjadi viral. Menurut hemat saya, itu nggak pantas dan nggak beretika juga seorang mahasiswa melakukan itu yang telah menyandang sebagai kaum terpelajar.

Menyelesaikan Masalah Bersama-sama

Kalau pun ada masalah, itu kan bisa diselesaikan secara bersama, bisa sesama peserta KKN, sama pemerintah desa setempat, atau bisa juga melalui dosen pembimbing. Artinya sebisa mungkin menghindari membuat masalah yang bisa tersebar kepada masyarakat luas. 

Terlebih dari itu, kalau pun ada kekurangan di desa tempat KKN, mahasiswa yang ingin melakukan pengabdian mestinya bisa berempati dan memberikan solusi dari masalah tersebut, bukan malah menyindir dan membuat konten viral yang merugikan masyarakat setempat. 

Karena kalau mahasiswa yang melaksanakan KKN nggak mempunyai rasa simpati kepada masyarakat, tentu masyarakat juga akan sulit terbuka untuk menerima mahasiswa yang ingin ber-KKN di desa mereka. Sehingga itu tentu mempersulit program KKN yang ingin dilaksanakan di desa tempat KKN. 

Tetapi, jika rasa empati dipegang kuat oleh peserta KKN, masyarakat pun akan menerima dengan baik. Bahkan, ketika lambat laun rasa persaudaraan antara peserta KKN dan masyarakat setempat akan terawat kuat jika rasa empati dan moral dimiliki seorang mahasiswa. 

Maka dari itu, saya sih agak heran, kok ada mahasiswa yang nggak bisa berempati dan nggak mengutamakan nilai-nilai moral selama melaksanakan KKN. Prinsipnya kan, mahasiswa yang datang ke desa untuk melakukan pengabdian, jadi mahasiswa pulalah yang harus menyesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat, bukan malah sebaliknya. 

Editor: Yud

Gambar: Google