Bulan Suro merupakan salah satu bulan yang sakral bagi masyarakat Jawa dengan adanya  berbagai larangan yang tidak boleh dilakukan dan berbagai tradisi yang menyelimuti tiap-tiap daerah. Berbagai macam mitos hadir dari omongan satu ke omongan lainnya yang melahirkan suatu dalil masyarakat Jawa. Bulan suro dianggap sebagai bulan yang menyeramkan hingga masyarakat Jawa melarang keluarganya untuk keluar jauh dari rumah karena akan ada bahaya yang menimpa.

Kalender Jawa memiliki kaitan erat dengan kalender Islam Hijriah. Sebagaimana bulan suro sebagai awal kalender Jawa bertepatan dengan bulan Muharram. Kata suro dicetuskan oleh Sultan Agung, pemimpin kerajaan Mataram Islam. Suro berasal dari bahasa Arab ‘Asyuro’ yang bagi masyarakat Islam menjadi amalan sunah puasa untuk kedatangan bulan Muharram.

Sultan Agung ingin menanamkan nilai-nilai Islam dengan memadukan antara pengaruh Hindu, tanggal Julian dari Barat, dan Islam karena pada masa itu masyarakat Jawa telah terbagi dari masyarakat abangan (Kejawen) dan masyarakat putihan (Islam). Dengan demikian, tujuan dari adanya pergantian tahun Saka menjadi hitungan bulan agar dapat mengadakan perayaan keagamaan serentak bersama masyarakat Islam, dan dapat mempersatukan masyarakat Jawa yang telah terpecah.

Makna 1 Suro Bagi Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa tradisional lebih memaknai perayaan pergantian tahun yang dikenal dengan 1 Suro dengan penghayatan, prihatin, religius, dan penuh meditasi. Mereka cenderung melakukan amalan, seperti tapa bisu, kumkum, kirab buaya, penyucian pusaka, dan menggelar pewayangan sebagai bentuk bersih diri. Selain itu mereka juga melakukan puasa tasu’a dan ‘asyuro bagi masyarakat Jawa Islam.

Sebenarnya, dalam Islam tidak ada bulan buruk atau melakukan perayaan khusus yang bermuatan mistis, karena bisa menimbulkan syirik. Tradisi yang dilakukan masyarakat Jawa di bulan Muharram atau Suro menjadi bentuk kearifan lokal sebagaimana hewan sapi yang tidak boleh disembelih dalam ajaran sunan kudus. Hal demikian menunjukkan eksistensi ajaran Islam yang dapat toleran dengan sikap menghormati antar umat beragama.

Penulis: Sherina Wijayanti

Penyunting: Aunillah Ahmad