Diantara yang sedang ramai diperbincangkan, menyelip dengan sangat anggun salah satu film pendek yang bikin warganet gemas. Judulnya ringkas, hanya satu kata: Tilik.

Film hasil kerjasama antara rumah produksi indie Ravacana Film dan Dinas Kebudayaan DIY ini telah memenangi beberapa kategori dalam pelbagai festival film. Diantaranya Jogja Netpac Asian Film Festival tahun 2018 dan World Cinema Amsterdam 2019.

Potret Masyarakat Kita dalam ‘Tilik’

Tilik (Jawa) atau dalam bahasa Indonesia berarti menjenguk, memanglah berangkat dari fakta lapangan, sebuah potret keseharian masyarakat kita. Premis film ini terasa begitu dekat dan jujur, untuk sekedar memberitahu kita yang malu-malu kucing: ini loh yang sebetulnya terjadi.

Meski jalan ceritanya sederhana, keseluruhan film ini digarap dengan serius, detail, dan penuh pertimbangan. Mulai dari latar tempat, properti pendukung, dan yang utama adalah karakter pemain yang aduhai. Meminjam bahasa Italia, saya mau bilang “Mas Wahyu (sutradara), film garapanmu, numero uno.”

Untuk pembaca yang belum sempat menonton “Tilik” tahan dulu sebentar, jangan buru-buru lari ke YouTube. Emang kuota internetmu cukup, po?

Atas nama mahasiswa semester akhir yang pernah mengambil mata kuliah Sinematografi, saya bakal merangkum film pendek itu untuk kalian semua. Beberapa hal yang jadi the power of ‘Tilik’ akan coba saya sajikan kepada pembaca.

Kombinasi Premis Cerita dan Karakter yang Kuat

Sedari sinopsis, ‘Tilik’ memberi penonton pengertian yang jelas tentang premis cerita: Di atas sebuah truk terbuka yang disewa dadakan, terdapat rombongan emak-emak yang bercakap-cakap, dalam sebuah perjalanan menuju rumah sakit untuk menjenguk (tilik) Bu Lurah.

Objek yang dibicarakan berputar pada satu tokoh bernama Dian. Kembang desa yang berisiko merebut suami mereka. Kombinasi mulut luwes Bu Tejo dan Yu Ning yang seolah jadi tukang klarifikasi merupakan perpaduan paripurna.

Adegan yang lazim dan bisa kita temui di kehidupan nyata itu disulap menjadi adegan renyah. Kita dibuat betah untuk menyaksikan hingga akhir.

Gibah

Barangkali kita memang senang menyaksikan kenyataan yang terselubung. Fakta tentang kebiasaan gosip sebagian emak-emak, dalam film ini diolah dengan sangat cermat.

Pergibahan duniawi di atas truk itu dimotori langsung oleh karakter yang tepat, sang inisiator gibah, Bu Tejo. Sang lambe turah sejati itu punya peran dominan atas dialog-dialog khas nan jenaka ala emak-emak kawasan pedesaan.

Percakapan yang terbangun antar emak-emak berkutat pada Dian, gosipnya macam-macam. Dian dikabarkan  sedang dekat dengan anak Bu Lurah, namanya Fikri; hal lainnya yakni tentang kecantikan Dian yang dianggap tidak alami alias pakai susuk; penghasilannya yang tak wajar; sampai kesaksian Bu Tejo yang melihat Dian muntah-muntah bak orang hamil.

Gibah pun berkembang. Beberapa emak-emak mendukung pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Bu Tejo. Bu Sam mengajukan kekesalannya saat memergoki sang suami yang ngobrol asik berdua dengan Dian.

Lalu menariknya, emosi kita diaduk-aduk dengan adanya karakter Bu Ning. Dia semacam sparing partner bagi Bu Tejo, yang sedari awal tampil sebagai juru selamat dan juru bicara untuk Dian. Apapun yang dibicarakan emak-emak. Bu Ning senantiasa berpikir positif.

Penonton diajak untuk menerka-nerka siapa kiranya sosok Dian. Kita juga dibuat bingung, apakah harus memercayai Bu Tejo yang dengan sangat meyakinkan menyampaikan informasi. Atau justru berempati pada Dian, sama seperti yang dilakukan Yu Ning.

Disamping kepiawaian para karakter memerankan emak-emak rumpi, pemilihan tempat di atas truk berjalan merupakan faktor kunci untuk menambah riuh suasana pergibahan.

Makin lengkap, karena dialog-dialog yang saling sahut tampak begitu natural. Berasa tidak menonton film, mirip ketika menyaksikan tetangga kompleks atau emak-emak yang mulutnya terbiasa nyerocos.

Gratifikasi

Film ini juga menyelipkan fakta lain, bukan saja tentang gibah tapi juga tentang sogok-menyogok atau gratifikasi. Selain di atas truk berjalan, adegan apik yang mendukung jalannya cerita adalah ketika truk berhenti untuk keperluan emak-emak buang hajat.

Lalu dimana letak gratifikasinya? Kita akan berpindah situasi, dimana Bu Tejo memberikan amplop berisi uang pada supir truk bernama Gotrek.

Awalnya tampak biasa, tapi ketika Bu Tejo terlihat memamerkan seabrek perhiasannya di depan Gotrek dan Yu Ning mulailah jelas, ada udang di balik batu. Maksud lain Bu Tejo dilisankan secara gamblang oleh Bu Tejo sendiri. Bu Tejo memberi kode bahwa suaminya akan menyalonkan diri sebagai Lurah dan barangkali Yu Ning dan Gotrek bisa membantu jadi tim sukses atau sekedar memilih suaminya kelak.

Namun setelah diusut lebih jauh, alasan yang dilontarkan Bu Tejo sebenarnya berlapis: Bu Tejo iba dengan status Bu Lurah sekarang, yang sedang terbaring sakit dan merupakan seorang janda cerai.

Tapi Bu Tejo adalah Bu Tejo. Dia mengucapkan semua itu dengan mulut tanpa rem, dan sikapnya terkesan tanpa sedikitpun rasa simpatik.

***

Kembali di atas truk, Yu Ning mulai muak atas semua gosip soal Dian. Yu Ning gantian menyerang Bu Tejo, dia mulai mempertanyakan sumber uang yang diberikan pada Gotrek. Bu Tejo tidak terima dan merasa tersinggung, terjadilah perang mulut frontal antara Yu Ning dan Bu Tejo.

Pada titik inilah kedua karakter tampil dalam performa terbaik. Adegan adu mulut tanpa jeda selama kurang lebih satu menit itu adalah salah satu momen “dahsyat” sepanjang film.

Permainan kamera yang fokus memperlihatkan dua tokoh inti inipun begitu baik dalam membangun suasana tegang tapi tetap renyah dan jenaka untuk diikuti.

Dari adegan itu, scene kemudian berpindah lagi. Truk pak Gotrek ternyata diberhentikan oleh Polisi karena kedapatan membawa orang, yang artinya itu melanggar dan akan ditilang. Adegan ini jugalah yang mungkin paling membekas, bakat mengoceh Bu Tejo dan emak-emak lain tampak jelas. Pak Polisi tak berdaya dan kena semprot habis.

Misalnya dalam sebuah ocehan, Bu Tejo memberondong, “Pak Polisi kami ini ingin menjenguk Bu Lurah yang sakit. Ini keadaan darurat. Nuraninya itu loh, empatinya dipakai.”

Atau kalimat ini, “Apa mau saya telponkan saudara saya yang Polisi juga, yang bintang lima berjejer, berani nggak?”

Pak Polisi akhirnya berhasil dilewati, dan begitulah. Tak ada yang mengalahkan emak-emak di jalanan.

Sugar Daddy dan Plot Twist

Selama hampir 30 menit cerita berfokus di mobil truk. Scene pun berpindah ke halaman parkir sebuah Rumah Sakit. Pada bagian akhir inilah segala yang jadi penasaran penonton terjawab. Penjelasan soal siapa sosok Dian dan apakah benar atau cuman isapan jempol apa-apa yang dibicarakan Bu Tejo akan disuguhkan dalam adegan singkat yang tak kurang dua menit.

Penonton dibuat berpikir dua kali sebelum mengamini kesimpulan awal yang diam-diam bercokol di kepala. Dialog singkat di sebuah mobil mewah antara Dian dan sosok laki-laki paruh baya mengacaukan semuanya dan seolah hanya menyisakan after taste yang miris dan getar getir.

Tapi bagaimanapun, saya pikir film ini ujungnya berbicara satu dua hal: Kita mestinya menghargai pilihan hidup seorang perempuan. Ada banyak pilihan. Sebagai Bu Tejo, Yu Ning, atau Dian, atau siapapun. Untuk yang belum nonton. Selamat menyaksikan. Yah, spoiler nya keterlaluan ya.

Tabik.

Penulis: Gigih Imanadi Darma

Penyunting: Aunillah Ahmad