Kutipan dari film The Art of Racing in the Rain (2019) yang berbunyi”To finish the race first, you must first finish the race” sepertinya masih relevan dengan konsep balap-membalap dalam aktivitas membaca. Hal tersebut dapat terjadi pada suatu kelompok masyarakat yang aktif membaca sekaligus doyan pamer terkait jumlah bacaan yang telah dikhatamkan. Bacaan yang dimaksud di sini lebih merujuk pada buku sebagai objek utamanya (baik dalam wujud fisik maupun elektronik).

Tak bisa dinafikan bahwa membaca buku adalah aktivitas pemicu penggalian rasa ingin tahu sedalam-dalamnya. Perasaan ingin tahu itu sangatlah berharga, walaupun tidak semuanya berniat untuk terburu-buru dalam mengejar rasa ingin tahu tersebut. Ada yang harus menunggu datangnya kesempatan serta memiliki waktu luang atau fasilitas yang mumpuni. Kalau ingin lebih jelas, saya juga sudah merangkum beberapa alasan mengapa membaca itu bukanlah ajang balapan.

Membaca Adalah Perjalanan Pribadi

“Dalam setahun ini aku udah baca 150 buku lho! Kalian udah baca berapa buku? Ayo dong semangat bikin target pembacaan bukunya!”

Kalau ada temanmu yang berkata seperti itu, ada baiknya kamu tanggapi dengan santai dan rendah hati saja. Terdapat kemungkinan mengapa temanmu bertanya seperti itu. Pertama, bisa jadi mereka ingin menguji durabilitas dan daya lenting akal pikir intelek dirimu. Kedua, boleh jadi dia tidak sabar mengajakmu untuk berdebat adu intelektualitas. Atau bisa jadi cuma ingin pamer saja.

Padahal, membaca buku itu adalah perjalanan yang bersifat personal. Kalau tujuan membaca buku adalah ingin meresapi makna dan bau kertas setiap halamannya, tentu saja itu membutuhkan waktu bermesraan lebih lama. Kecepatan membaca setiap individu juga tidak bisa dipukul rata kemampuannya.

Kalau nak-kanak bermazhab pascastrukturalisme, bisa jadi bakal mengamininya. Iya, soalnya mereka percaya bahwa pembacaan terhadap suatu objek bisa jadi berbeda-beda—sesuai dengan konteks ruang dan waktunya. Lha, kalau misal kamu lagi baca buku serius maupun santai di alun-alun tengah kota, kamu belum tentu juga mampu menyerapi bacaannya dengan paripurna. Bisa-bisa, indra tubuhmu akan terdistraksi oleh suara keramaian massa dan telolet penjual pentol. Saran saya, cari tempat paling nyaman untuk mendalami bacaanmu.

Kalau niat aksi balapan baca bukumu cuma ingin dibuat panjat sosial (baca: jago-jagoan ingin jadi pembaca tercepat atau terbanyak), apakah ada jaminan bahwa ilmu yang terserap tadi juga sudah max to the tip? Kecuali kalau kamu jenius dan pemilik mata scanner, ya kami bisa apa.

Membaca Buku Adalah Privilese!

Kalau kamu sadari lebih jauh, sebenarnya memiliki kesempatan untuk membaca buku adalah sebuah privilese. Privilese yang dimaksud itu merujuk pada waktu, akses, dan kesempatan untuk membaca buku. Tentu saja hal-hal itu tak bisa kita pandang remeh dengan alasan”Ah kamu aja sih yang malas baca buku.”

Hei kisanak, tidak semua orang bisa dengan mudah meluangkan waktu untuk membaca buku. Bisa jadi karena kesibukan aktivitas sekolah atau bisnis rupa macam telah menyita kesempatan mereka untuk membaca buku lebih khusyuk. Tidak semua orang yang berkemauan membaca juga dapat membeli atau meminjam buku untuk dibaca—karena mereka tidak punya uang lebih untuk beli buku atau tidak ada akses ke perpustakaan yang mapan.

Walaupun sekarang penjualan buku elektronik dan ketersediaan buku bajakan lebih mudah diakses di internet, itu juga belum menyelesaikan masalah pokok. Kalau sudah bersinggungan dengan masalah tipisnya kuota internet, ya bagaimana mereka akan memanifestasikan sisa kuota untuk mengunduh buku berformat elektronik tersebut? Mending dipakai untuk update status WA, upload foto di IG plus video TikTok, atau berbelanja di lapak online.

Nampaknya, kesadaran untuk menyisihkan sebagian uang guna meruncingkan kepekaan intelektual masih belum jadi prioritas masyarakat kita. Ya maklum, semakin tinggi tingkat literasi seseorang juga mempengaruhi kebijakan mereka dalam bertindak, termasuk berkurangnya aktivitas men-julid atau tumbuk hujat di kolom komen media sosial. Jadi kurang seru dong.

Pergaulan Dapat Mempengaruhi Bacaan

Kalau temanmu tadi rajin banyak baca buku karena takut dianggap anti-intelektual sama tongkrongan anak indie bin revolusioner, ya wajar saja. Atmosfer pergaulan tersebut menciptakan ruang bagi mereka untuk sering melakukan dialektika di atas lincak warung kopi (biasanya sambil brainstorming dengan cara ngudud). Idealisme kiri…kanan…kulihat saja…. telah membuat mereka aktif dalam berbagai pembacaan yang sangar. Tidak ada salahnya juga, sih.

Namun, jika kamu bukan atau tidak ingin menjadi golongan tadi, ya jangan dipaksakan untuk menjadi seperti mereka. Sekali lagi, membaca adalah pengalaman yang intim dan personal. Semestinya, masyarakat kita juga bisa bersifat inklusif terhadap semua kalangan pembaca. Bukan berarti karena bacaannya cuma novel percintaan remaja bergenre metro pop, mereka itu dianggap sebagai pembaca recehan dan labil.

Ada yang mengatakan pembacaan buku seseorang akan mempengaruhi daya pikat intelektualnya. Namun, apakah semua orang menyadari bahwa ada perjalanan personal yang harus ditempuh oleh si pembaca? Padahal, kemakrifatan pikir dapat menyatu dengan esensi pembacaan buku—apabila diraih melalui lelaku yang panjang dan penuh kesabaran dalam membaca. Bersungguh-sungguh dalam membaca buku dan menentukan target pembacaan realistis sepertinya sudah menjadi pesan akhir yang tepat untuk tulisan ini.

Editor: Nirwansyah