Di era digital dan tsunami informasi saat ini, anak muda atau generasi milenial menjadi aktor dominan dalam berbagai hal. Dalam penlitian yang dilakukan oleh Center for Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ditemukan suatu fenomena di kalangan generasi milenial, khususnya aktivis Muslim milenial yang disebut dengan “hibridasi identitas (hybridation of identity)”.

Laporan penelitian ini kemudian dibukukan yang diberi judul “Kaum Muda Muslim Milenial: Konservatisme, Hibdridasi Identitas, dan Tantangan Radikalisme”.

Tujuan diadakannya penelitian tersebut adalah untuk mendalami sikap dan perilaku kaum muda Muslim, baik yang aktif di organisasi-organisasi intra dan ekstra sekolah dan kampus, maupun di organisasi-organisasi dengan basis kepemudaan dan keagamaan. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta dengan dukungan CONVEY dan United Nations Development Programme (UNDP) turut menjadi mitra dalam penelitian tersebut.

Identitas Aktivis Muslim Milenial

Penggunaan konsep “hibridasi” bukanlah sesuatu hal yang baru. Sebelumnya, Carool Kersten dalam bukunya yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan judul Berebut Wacana: Pergulatan Wacana Umat Islam Indonesia Era Reformasi pernah menggunakan istilah “kultural hibrida” (2018: 44) dalam membaca fenomena Islam di Indonesa. Selain itu, di Muhammadiyah juga dikenal konsep hibrid untuk mengidentifikasi beberapa anggotanya, sehingga kita mengenal beberapa frasa, seperti MUNU, MARMUD, MURSAL, dan sebagainya.

Bisa dikatakan penelitian CSRC ini menjadi pelengkap dari studi-studi sebelumnya. Dengan sasarannya yang berfokus pada kaum milenial, khusunya aktivis Muslim milenial yang aktif di berbagai organisasi intra dan ekstra, baik itu di sekolah, kampus maupun kepemudaan dan keagamaan.

Salah satu temuan penting dari penelitian CSRC ini adalah bahwa para aktivis Muslim milenial saat ini mengalami sebuah fenomena yang disebut dengan “hibridasi identitas”. Maksud hibdridasi identitas di sini adalah adanya identitas keagamaan sebagai hasil dari persilangan afiliasi dan orientasi keagamaan berdasarkan dinamika sosial-politik keagamaan yang disaksikan oleh aktivis Muslim milenial serta interaksi mereka dengan lingkungan sosialnya.

Konsep “hibridasi identitas” dimaknai pula sebagai sebuah bentuk kemunculan formula baru akibat percampuran budaya, tradisi, nilai, dan prinsip yang dipegang oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan ada proses interaksi intensif antara seseorang atau sekelompok orang dengan konteks dan tradisi yang ada di sekitarnya.

Contoh dari hibridasi identitas di kalangan aktivis Muslim milenial ini pun banyak dipaparkan di dalam peneletian ini (CSRC: 2018: 73-77). Salah satunya dapat dilihat dari salah seorang perempuan yang aktif di IMM Ciputat berikut.

Berdasarkan pengakuannya, ia mengatakan bahwa kedua orang tuanya pernah ‘hijrah’ ke NII. Kemudian, kedua orang tuanya keluar dari NII, bahkan ayahnya menjadi Ketua Ranting Muhammadiyah. Sedangkan, ia sendiri dulu pernah mengikuti liqa sebelum bergabung dengan IMM. Ada hal yang menarik di sini, yaitu ia mengatakan ketika mengikuti liqa “(mereka) merasa menganggap diri mereka paling benar. Terus, suka menyinggung Muhammadiyah, NU, dan sebagainya. Yang saya lihat mereka eksklusif”.

Pergeseran Otoritas

Tak bisa dimungkiri peran internet dan media sosial turut mempengaruhi pandangan aktivis Muslim milenial saat ini, termasuk dalam mempelajari Islam. Berbanding lurus dengan itu, mereka juga ikut terserap oleh terpaan arus globalisasi dan modernisasi yang banyak memengaruhi pandangan, sikap, dan pemikirannya yang menimbulkan kesan dualisme antara wacana dunia maya dan realitas dunia nyata.

Sudah menjadi rahasia umum bahwasannya kaum milenial sudah begitu akrab dengan teknologi, internet, dan media sosial atau dalam bahasa lain mereka sudah menjadi digital native. Menurut Irfan Abubakar, alam pikir kaum milenial sulit dilepaskan dari ontologi dan epistemologi digital. Hal tersebut menyebabkan pergeseran otoritas, dalam konteks ini perihal keislaman, yaitu peran-peran tokoh keagamaan di dunia offline yang tergeser oleh dunia online.

Bagi kaum milenial ketokohan seorang pemuka agama bukan lagi dilihat dari keilmuan dan kapasitasnya. Akan tetapi, ketokohan pemuka agama ditentukan oleh populartas, seberapa viral tokoh tersebut, dan seberapa sering mereka muncul di media sosial atau media elektronik lainnya.

Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan adanya sikap mendua dari aktivis Muslim milenial. Sikap mendua tersebut adalah aktivis Muslim milenial kerap diwarnai sikap tekstual-literal dalam cara berfikir (textual in thinking), tetapi dapat moderat dan kontekstual dalam bersikap (contextual in practices).

Barang tentu, penelitian CSRC ini menjadi sumbangan penting dalam melihat corak aktivisme Muslim milenial di era digital saat ini. Juga dapat dijadikan bahan kajian bagi setiap organisasi dalam membendung infiltrasi “teologi maut”.

Sebab, menurut penelitian ini, kaum muda khususnya aktivis Muslim milenial dihadapkan pada situasi di mana dualisme dan dikotomi-dikotomi menjadi tontonan rutin yang mereka saksikan sehari-hari.

Misalnya, kebebasan dan pengekangan, liberalisme dan konservatisme, agama dan sekularisme, kesalihan dan kejahatan, kedermawanan dan korupsi, kemewahan dan kemiskinan, demokrasi dan otoritarianisme, traditionalis dan modernis, ritual dan aksi sosial, membangun budaya baru yang maju dan memelihara tradisi lama, dan sebagainya.

Namun, yang patut disyukuri adalah sikap akomodatif aktivis Muslim milenial terhadap berbagai hal yang direfleksikan dalam perilaku mereka yang cenderung moderat. Pun sebagai generasi zaman now yang akrab dengan teknologi, aktivis Muslim milenial dituntut agar tak larut dalam kesemuan maya dan mesti lebih jernih dalam menyerap tsunami informasi yang bertebaran.