Secara pribadi, tidak pernah terfikirkan oleh saya untuk menjadi seorang dosen. Kalaupun ada keinginan sepintas karena melihat orang tua yang juga dosen. Pekerjaan mengajar dan tampil di depan banyak orang berbanding terbalik dengan kepribadian saya yang tidak suka tampil dan lebih suka merenung daripada berbicara atau menulis sekalipun. Sekarang, menulis pun karena hasil diskusi dengan diri sendiri yang sudah penuh di kepala, dan perlu disalurkan. Namun sekuat apapun perasaan untuk menolak, pada nyatanya proses perjalanan hidup selama ini menghantarkan kepada dunia mengajar. Mulai dari tawaran ngajar ngaji, ngajar les, asisten dosen dan kemudian dosen, semua dilalui bertahap.

Studi S1 tidak sampai empat tahun, istirahat dua bulan langsung lanjut S2, lulus kurang dari dua tahun. Jika bukan takdir dan rida Allah SWT, minimal dimunculkan rasa malas agar kuliah tersendat, nyatanya tidak.

Pekerjaan Alternatif

Sekali waktu berusaha mencari alternatif dengan berjualan, mencoba ikut darah pedagang dari garis keturunan Sumatera Barat. Jualan gantungan kunci, boneka, sampai suvenir. Dari deretan usaha tadi, yang terakhir terbilang cukup sukses–sebelum corona muncul, rutin mengirimkan ke Solo dan beberapa daerah di pulau Jawa. Sedangkan pengiriman terjauh adalah Papua.

Merintis dari lulus S1 (2016) dan bertahan sampai sekarang. Lumayan banyak pengalaman yang dialami. Mulai dari barang tertahan di ekspedisi hingga pelanggan tiba-tiba membatalkan pesanan. Syukur belum pernah tertipu–jangan sampai. Ringkas kata, jualan menarik hati saya, entah karena untungnya atau memang kegiatan berjualannya.

Pekerjaan Impian

Maka, dalam satu waktu saya mengerjakan dua pekerjaan: mengajar sebagai dosen dan jualan sebagai pengusaha suvenir. Tapi dari keduanya, mana yang disebut sebagai pekerjaan impian? Sebagai dosen atau sebagai pengusaha?

Menjadi dosen sudah seperti menjadi suratan takdir. Ada invisible hand yang mengarahkan. Menjadi pengusaha, yang prosesnya benar-benar dari nol: harus survei barang, cari konsumen, dilakukan karena adanya hasrat untuk melakukan.

Cukup lama mencari jawaban ini, dan pada akhirnya saya mencoba menyimpulkan bahwa tidak ada yang namanya pekerjaan impian, yang ada adalah pekerjaan yang bisa memberikan manfaat. Sebab jika tujuan kita adalah mencari pekerjaan impian, itu akan sangat bergantung dengan upaya manusia dan kehendak-Nya. Bisa sesuai harapan, bisa jadi tidak.

Pekerjaan apapun memiliki peran masing-masing. Jika kemudian dilihat dengan sudut pandang yang luas, sebenarnya satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya memiliki kaitan hubungan. Ambil contoh penjual makanan.

Penjual makanan akan menghubungkan pekerjaan lainnya yang berkaitan: membeli bahan makanan, ke tukang sayur, layanan pesan antar ojek daring, pembuangan sampah oleh petugas kebersihan, dan seterusnya. Bisa dibayangkan betapa susahnya penjual makanan tanpa kehadiran tukang sayur, ojek daring dan petugas kebersihan. Penjual makanan tadi tidak akan bisa maksimal dalam melakukan pekerjaannya.

***

Maka, ubahlah pola pikir dari sebatas mencari ‘pekerjaan impian’, menuju pekerjaan yang dapat memberikan manfaat, secara khusus kepada diri sendiri serta keluarga dan secara umum kepada orang banyak. InsyaAllah yang kita lakukan akan menjadi berkah dan membawa pada ke-ridaan-Nya

Penulis: Muhammad Hasnan Nahar

Penyunting: Aunillah Ahmad