Sebagian orang mungkin akan mengernyitkan dahi ketika mendengar kata TOEIC. Biar tak bingung dan pusing, mari saya ajak kalian untuk berkenalan dengannya. Siapa tahu nanti kalian jatuh cinta. Hehehe.
TOEIC sendiri adalah singkatan dari Test of English for International Communication. Dilihat dari kepanjangannya, sudah jelas kalau ini merupakan suatu jenis tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan berbahasa Inggris seseorang.
TOEIC sendiri mulai diperkenalkan oleh ETS (Educational Testing Service) pada akhir 1970-an. Sejatinya, TOEIC sendiri ditujukan untuk mengukur kemampuan berbahasa Inggris para kaum pekerja. Meskipun demikian, skor TOEIC bisa juga dijadikan sebagai pelengkap dokumen di bidang akademis seperti untuk Beasiswa LPDP misalnya.
Pengalaman Saya Mengikuti TOIEC
Pertama kali saya mengikuti tes TOEIC adalah pada tahun 2017. Pada saat itu saya mengambil tes TOEIC berjenis Listening and Reading. Biaya tesnya sendiri sekitar 650-700 ribu untuk sekali tes.
Saat pertama kali mengikuti tes, saya merasa kagok. Bagaimana tidak, saya dihadapkan dengan deretan headset serta kertas yang membisu di atas meja peserta. Bisa dibilang, ini merupakan suatu first moment dimana saya akan menggunakan headset dalam suatu tes.
Selama mengikuti tes TOEIC perdana ini, bagian listening adalah bagian yang paling merepotkan. Pada bagian ini, audio percakapan atau narasi hanya diputar satu kali saja. Oleh karena itu, kita harus berkonsentrasi pada bagian ini. Jangan biarkan pikiran mengembara tak tentu arah.
Dua hari setelah tes, saya kembali ke tempat tes untuk mengambil score report (laporan skor). Hasilnya, saya berhasil meraih total skor sebesar 590. Rinciannya adalah reading section sebesar 315, sementara listening section hanya mencapai 275.
Hasil tersebut jelas tidak begitu memuaskan bagi saya. Sebab, beberapa perusahaan incaran saya mensyaratkan skor TOEIC minimum sebesar 650. Tapi, apa mau dikata. Nasi sudah terlanjur dimakan.
Pada tahun 2019, saya kembali mengambil tes TOEIC. Jenisnya masih sama, yakni Listening and Reading. Tes TOEIC tersebut kembali saya ambil setelah masa berlaku sertifikat TOEIC saya kedaluwarsa di tahun tersebut.
Singkat cerita, saya benar-benar berkonsentrasi pada bagian listening. Jujur, saya tidak mampu mengingat semua detail percakapan yang disajikan oleh audio. Akan tetapi, setidaknya saya berusaha keras untuk mengingat beberapa kalimat atau kata penting.
Kemudian saya berganti strategi pada bagian reading. Pada bagian tersebut, saya menjalankan strategi kutu loncat. Maksudnya, saya memilih soal yang lebih mudah terlebih dahulu untuk dikerjakan. Biar waktu yang tersisa tidak terbuang sia-sia tanpa arti.
Seminggu setelah tes, score report datang ke rumah saya via paket. Ketika hendak membuka isinya, perasaan saya campur aduk seperti naik wahana Halilintar di Dufan. Kemudian kejutan pun terjadi.
Saya benar-benar tidak percaya jika saya berhasil meraih total skor sebesar 800! Sebenarnya target saya sih hanya menembus skor di atas 650 hingga 700 saja. Realistis saja daripada nanti kecewa sekaligus stres. Tapi memang hidup terkadang tak bisa ditebak.
Bagian listening adalah bagian yang mengalami peningkatan paling drastis. Saya berhasil meraih skor sebesar 420. Saya pribadi sebenarnya hampir tidak percaya dengan hasil ini. Meskipun demikian, saya bersyukur dengan hasil yang melebihi ekspektasi ini.
Akhir kata, saya berharap semoga pengalaman pribadi ini dapat menambah wawasan kalian akan ragam tes bahasa Inggris. Bukan tidak mungkin di masa depan nanti akan tercipta jenis tes bahasa Inggris lainnya yang menyesuaikan kebutuhan.
Penyunting: Halimah
Sumber gambar: Exam-Practice
Comments