Pembukaan tahun selalu dimulai dengan menyusun target dan resolusi hidup. Seolah hidup yang penuh target dan pencapaian adalah bukti seseorang menjadi individu yang benar-benar hidup. Tanpa semua itu, seseorang hanya dianggap sebagai manusia medioker atau biasa-biasa saja. Seakan kita tidak dapat bahagia dengan kehidupan yang sederhana.

Ada nasihat dari seorang kerabat yang sering diungkapkan kepada saya waktu SMA dulu. “Jadi orang jangan biasa-biasa saja. Di kelas, di lingkungan masyarakat, atau di manapun. Orang yang menjadi “ter”, selalu akan lebih dikenal oleh banyak orang. Yang terbaik dan yang terburuk selalu lebih cepat mencuri perhatian lingkungan sekitarnya.”

Kerabat saya ini adalah penyimak setia acara Golden Ways Mario Teguh di Metro TV. Taburan kalimat motivasi dalam acara tersebut mendorong setiap orang untuk menjadi yang terbaik dalam setiap kesempatan. Tapi kembali lagi, kehidupan memang tak semudah kata-kata dari Mario Teguh. 

Dunia memang selalu memberi perhatian pada poros-poros ekstrem. Baik mereka yang luar biasa kaya, berbakat, berpangkat tinggi, maupun mereka yang paling miskin, tidak berguna, paling jahat, dan paling memegang kendali. Terlebih dengan hidup yang kian kompetitif dan tereduksi oleh pernak-pernik media sosial, membuat setiap orang merasa perlu menjadi yang “ter” dalam menjalani kehidupan. Tren dan gaya hidup, ambisi dan cita-cita menjadikan seseorang tak bisa hanya sekadar menjadi orang yang biasa saja. 

Memiliki kehidupan yang sederhana atau biasa saja membuat seseorang tak pernah dijadikan sorotan bahkan sering menjadi bahan cibiran. “Zona abu-abu, zona absurd, dan zona nyaman” kata mereka. Karena dianggap tanpa ambisi dan pencapaian. Tapi apakah stereotip seperti itu dapat dibenarkan? 

Seorang teman lama yang dulu terkenal pintar secara akademis baik di sekolah maupun di kampus memilih pulang ke Desa. Tak ada yang menyangka dengan pilihan itu. Kecerdasannya justru membuat dia memilih hidup biasa saja. Menjadi Guru di SD Islami dan membantu orang tuanya sebagai petani bawang musiman dan tembakau di Desa. 

“Seperti mereka yang heran dengan pilihan saya, saya juga heran dengan mereka. Mereka orang-orang kota itu menganggap kehidupan orang di desa terlampau santai. Seperti tanpa target dan pencapaian sehingga hidupnya biasa saja. Tapi di sisi lain mereka yang di Kota sibuk mengejar target, mimpi, dan pencapaian untuk mendapatkan kehidupan yang nyaman dan santai di masa tua. Jadi jelas, bukankah hidup ini memang tentang menciptakan rasa nyaman dan santai?” ujar teman saya itu ketika kami bertemu dan berbincang di kediamannya. 

Hidup teman saya ini sangat biasa, flat, dan hanya begitu-begitu saja. Pagi hari hingga siang dia mengajar, menjelang sore dia menjadi guru di sebuah madrasah sampai magrib tiba, dan malamnya dia menghabiskan waktu di rumah atau kadang ngumpul di pos penjagaan pemukiman warga bersama para pemuda setempat.

Teman saya merasa bahwa menjadi orang yang biasa saja membuat kehidupan yang dijalaninya begitu panjang tapi tetap menentramkan dan bermakna. Menjalani kehidupan yang sederhana tanpa banyak emosi negatif, tanpa tekanan untuk selalu bisa ini dan itu. “Hidup ini panjang jika kita tahu bagaimana menggunakannya. Kita tidak diberikan hidup yang pendek, tapi kitalah yang menjadikannya pendek karena terus dipenuhi rasa emosi dan kekhawatiran.” ujar Seneca dalam buku Filosofi Teras Karya Henry Manampiring.   

Kita sepenuhnya menyadari bahwa menjalani kehidupan ini tidak melulu soal hal-hal yang ada di dalam kendali. Banyak aspek yang di luar kendali. Menjalani kehidupan yang biasa saja akan meminimalisasi segala yang di luar kendali. Ketika menargetkan banyak pencapaian dan ambisi, hidup bisa dihabiskan dengan begitu banyak potensi emosi dan tekanan. Sehingga perhatian kita akan banyak teralihkan dari hal-hal yang seharusnya lebih substansial dan bermakna. Mengejar harta, jabatan, dan karir secara perfeksionis dan berlebihan sampai terus merasa ketakutan. Baik ketakutan akan gagal memperolehnya atau ketakutan akan kehilangannya. 

Mereka yang ingin menjadi yang “ter” selalu berharap dapat dikenang sesudah mati, tapi mereka juga harusnya sadar bahwa mereka yang mengenang juga akan ikut mati. Dan begitu juga seterusnya sampai kenangan tentang mereka diteruskan seperti nyala lilin yang akhirnya meredup dan padam. 

Memang tidak dipungkiri bahwa kehidupan yang “tidak biasa” ketika dijalani dengan tekun akan bernilai dan memberikan pengalaman, tapi kehidupan yang “biasa-biasa” juga memberikan nilai dan bermakna. Kehidupan tanpa beban, memberikan manfaat tanpa embel-embel kepentingan popularitas dan ambisi. Hidup tanpa atribut dan stigma yang disematkan oleh orang lain karena menjadi individu yang biasa dan tidak dikenal banyak orang. 

Menjalani kehidupan yang biasa saja memberikan penegasan pada hati dan pikiran bahwa semua manusia pada dasarnya sama, tidak ada yang lebih unggul atau spesial. Memodifikasi kalimat dari Mark Manson bahwa Pengukuran yang benar tentang kehidupan diri seseorang bukan pada bagaimana seseorang merasa superior atas semua hal yang bersifat materi namun lebih pada bagaimana dia merasakan pengalaman hidup yang nyaman dan menentramkan.

Pada akhirnya kehidupan manusia memang penuh warna dan sudah selayaknya seperti itu.  Setiap orang berhak punya pandangan hidup ideal masing-masing yang mereka inginkan dan harapkan.  Ingin menjadi yang terbaik baik, terburuk, terkenal, terkonyol, atau hanya menjalani hidup yang sederhana biasa-biasa saja. Yang terpenting semua orientasi dan prinsip hidup pribadi tidak mengeksploitasi ruang-ruang publik dan struktur sosial dalam kehidupan masyarakat. 

Foto : mengajiislam.com

Editor : Saa