Tahun telah berganti, tetapi ada hal-hal yang tetap harus kita cermati, seperti tindak kekerasan dan Pelecehan seksual. Kekerasan seksual kerap terjadi di bilik-bilik pribadi di mana hanya ada si pelaku dan korban. Peristiwa biadab yang bisa menimpa siapa saja, oleh  siapa saja.  Bahkan oleh orang-orang yang dikenal secara sosial sebagai orang terhormat dan baik-baik.

Kenyataan lemahnya UU Perlindungan dan Tindak Kekerasan Seksual di negara kita, ditambah sistem kemasyarakatan kita yang moralis-religius, memang cenderung memberikan stigmatisasi dan penghakiman yang lebih mengerikan kepada pelaku dibandingkan tindakan kekerasan itu sendiri.

Kekerasan dan Pelecehan Seksual memang memerlukan jalan terjal berliku untuk dapat diajukan pada proses pengadilan, tapi bukan berarti hal yang tidak mungkin.Kebingungan, depresi karena merasa diri kotor dan bersalah, bahkan ketakutan yang berujung pada keputusasaan  biasanya berawal dari ketidaktahuan terhadap apa yang harus dilakukan saat mengalami hal tersebut.

Berikut adalah panduan, apa yang harus dilakukan jika mengalami tindak kekerasan dan pelecehan seksual.

1. Jangan panik, kuatkan diri. Apabila terjadi luka/kerusakan fisik, dokumentasikan segera, saat inilah memanfaatkan fungsi smartphone kalian secara maksimal. 

Lebih baik jika dokumentasi dalam bentuk foto dan Video. Inget ya, foto dan video dalam posisi zoom-in dan zoom-out. Jangan bagian luka saja tanpa terlihat orangnya, entar dikira dokumentasi luka orang lain.

Kerusakan/luka fisik akibat kekerasan dan pelecehan seksual, biasanya perlu waktu berhari-hari untuk sembuh. Jika memungkinkan, bisa membuat dokumentasi harian, hingga luka tersebut sembuh. 

Dokumentasi harian sangat menunjang sebagai pelengkap pelaporan, apabila kasus ini dibawa ke jalur hukum di kemudian hari.

2. Melakukan dokumentasi awal. Minta bantuan sahabat atau orang yang dipercaya, untuk  membantu memperoleh visum dokter.

Lebih baik lagi apabila didampingi oleh 2 orang. Mengapa? Apabila suatu saat ingin membawa kasus ke meja hijau, 2 orang saksi memiliki cukup kekuatan untuk mendukung ceritamu, pun dalam tahap membuat  laporan kepolisian.

Melakukan pemeriksaan visum hanya bisa diperoleh dengan membuat laporan di kepolisian. Menurut pengalaman saya melakukan pendampingan, petugas kepolisian cukup kooperatif untuk menindak lanjuti laporan di tahap ini, apalagi jika ditemani 2 orang saksi. 

Dengan laporan tertulis tersebut, polisi akan merujuk klinik/RS tertentu untuk melakukan pemeriksaan kepada korban secara menyeluruh. Dan biasanya 1 orang penyidik kepolisian akan menemani ke klinik/RS yang ditunjuk.

Pemeriksaan visum meliputi kondisi umum kesehatan, pemeriksaan kesehatan fisik, pemeriksaan internal, analisa forensik, termasuk pemeriksaan psikis.

Lebih cepat memperoleh pemeriksaan visum, lebih baik, karena keakuratan bukti kekerasan fisik tersebut terjaga. Kemudian simpan hasil pemeriksaan visum ini baik-baik setelah membuat duplikatnya. Kalaupun ternyata mendapatkan penyelesaian tanpa menempuh jalur hukum, bukti visum ini bisa disimpan sebagai pengingat untuk tidak mengulang situasi yang sama.

3. Membuat jarak dengan pelaku. Membuat jarak dalam artian tidak bertemu sementara dengan pelaku menjadi hal penting, mengingat kejahatan ini biasanya melibatkan orang terdekat. Tak jarang merupakan orang-orang yang dicintai, dihormati.

Biasanya karena unsur kedekatan inilah, yang membuat sikap permisif korban, lengah, akhirnya merasa iba, sehingga menerima permintaan maaf pelaku. Tetapi tak jarang, hal ini mengakibatkan kekerasan dan pelecehan seksual terulang lagi dan lagi.

Yang perlu diingat dan ditekankan adalah, perasaan cinta, kasih sayang, pertemanan, interaksi antara 2 orang dalam hubungan normal sudah pasti tidak menghasilkan ketakutan, intimidasi, kepanikan, apalagi berbuah kekerasan.

Stigmatisasi, stereotip dan konstruksi sosial masyarakat kita yang patriarki memang mengerikan, cenderung menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Ketakutan akan stigmatisasi masyarakat itu bahkan lebih besar lagi karena  korban adalah perempuan. 

Keperempuanannya tersebut seakan melenyapkan hak-haknya sebagai manusia. Entah harus memakan korban berapa lagi untuk menghilangkan konstruksi sosial masyarakat yang tidak sehat ini.

4. Jangan pernah menemui pelaku sendirian setelah peristiwa kekerasan/pelecehan seksual terjadi. 

Apabila keadaan memaksa  untuk bertemu dengan pelaku, dengan alasan untuk membicarakan solusi atau hendak meminta maaf, atau apapun,  alangkah baiknya tidak dilakukan sendirian. Kamu bisa meminta sahabat atau orang yang dipercaya untuk menemani.

Korban kekerasan/pelecehan seksual biasanya mengalami kebingungan, ketakutan, depresi, dan pikiran yang goyah. Memiliki orang yang mendampingi, paling tidak memberikan kekuatan untuk membicarakan persoalan. Kalau hal tersebut tidak memungkinkan, tolak saja keinginan pelaku untuk bertemu.

5. Menghubungi Lembaga Bantuan Hukum terdekat. Masih banyak orang-orang baik di sekitar kita, yang terus menerus menyerukan perlindungan hukum terhadap perempuan (khususnya) sebagai korban kekerasan seksual dan KDRT.

Beberapa lembaga terkait yang dapat di akses di Indonesia, seperti:  Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan yang tersebar di seluruh Indonesia, Komnas Perempuan, YLBHI, P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) yang ada dibawah KPPA ( Kementerian Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak).

Googling aja ya, semudah kita mencari informasi tentang apapun, lembaga-lembaga tersebut seolah-olah tidak kasat mata, tapi mereka ada.

Lembaga-lembaga tersebut akan mendampingi, minimal memberikan arahan tentang apa-apa saja yang perlu/tidak dilakukan. Misalnya tahapan-tahapan apa saja yang diperlukan untuk dapat mengajukan kasus ke pengadilan atau minimal pertanggungjawaban dari pelaku kekerasan. Bahkan ada yang menyediakan rumah aman untuk perlindungan korban.

Di saat regulasi pemerintah dan sistem kemasyarakatan tidak bisa diandalkan, entah sampai kapan UU Perlindungan Kekerasan Seksual mendapat pengesahan.  Semoga 5 hal di atas bisa dijadikan masukan saat kamu berposisi sebagai korban tindak kekerasan.

Foto : thedailyguardian.com

Editor : Saa