Satu ketika seorang kawan pernah coba-coba menyulut emosi saya, ia bertanya tentang persoalan serius tapi dengan nada penuh sindiran, “Gih, kapan menikah?,

Dia pikir pertanyaan yang oleh banyak orang dianggap sensitif itu akan membuat saya geram atau minimal muntab, atau lebih minimal lagi tersinggung, lalu menamparnya bolak-balik atau memberi bogem atau minimal mengacungkan jari tengah.

Alih-alih itu semua, pertanyaan yang salah alamat itu justru saya tanggapi dengan enteng saja, ” Setelah hadir dan mengurusi acara nikahanmu,”

Dan percakapan pun berakhir. Kawan saya yang baik hati, sudah hampir berumur 25 tahun, dan tidak terlalu ganteng itu sepenuhnya keliru, dan ia bodoh alias tak mengerti bagaimana caranya agar percakapan jadi panjang dan awet. Hadeh.

Saya tak berminat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan putus asa berkedok bucin. Dia boleh saja tahu kalau saya suka menulis puisi-puisi cinta romantis, tapi itu tak ada hubungannya sama sekali dengan urusan menikah dalam waktu dekat.

Seharusnya dia mengajukan pertanyaan lain, yang lebih menggigit dan bikin kopi segera diminum. Agaknya kawan saya itu perlu belajar kepada Hammam, awak kru Milenialis.id yang tempo hari menghubungi saya lewat WhatsApp.

Setelah memberi salam dan memperkenalkan diri, Hammam dengan sopan santun dan intelektual khas kader Muhammadiyah meminta saya agar bersedia mengisi sebuah acara. Tanpa mengurangi hormat, biar saya sematkan teks percakapan kami di sini,

“Rencananya kami Minggu 27 Desember mau mengadakan sesi Obrolan Milenialis [edisi kontributor], kami milih beberapa kontributor untuk sharing topik-topik penulisan secara spesifik,”

Sebentar kemudian, Hamam meneruskan pesannya, “Nah, Mas Gigih ini salah satu yang kami harap bisa mengisi sesinya. Apakah Mas Gigih berkenan?,”

Loh loh loh, apa yang membuat Hamam berpikir saya akan menolak. Barang sudah pasti saya menjawab,

“In shaa Allah Mas. Terima kasih kawan-kawan Milenialis sudah berbaik hati dengan mengajak saya.”

Sejujurnya sih saya agak grogi kalau diminta mengisi acara apapun, takut-takut tidak pas dan alih-alih memberi manfaat, nanti saya justru tak bisa memberi penjelasan secara optimal. Itu sebabnya saya melempar pertanyaan balik kepada Hammam, “Oh iya, tema dan ruang obrolannya belum disepakati ya?”

Percakapan online itu jadi agak panjang. Singkat cerita, Hammam mengirim saya ToR, saya buka dan setelah dibaca, reaksi pertama saya ya jelas agak minder dong. Bagaimana tidak, saya yang culun dan baru belajar menulis diberi kesempatan untuk satu ruang bicara dengan Seto Wicaksono dan Habibah Auni. Dua penulis yang kalau kalian ketik di mesin pencari bakal muncul seabrek karya-karya yang tak ada duanya. Duh.

Dalam hati saya berseloroh: Apalah artinya kehadiranku. Kalau sudah ada air kenapa harus pakai debu, entahlah mungkin kawan-kawan Milenialis lupa tentang bab taharah. Namun pada akhirnya, saya terima juga tawaran itu.

***

Berbeda dengan pertanyaan kawan saya yang di awal tulisan ini tadi. Menulis adalah sesuatu yang dalam sedikit kesempatan pernah saya lakukan. Saya punya pengalaman dan itu artinya saya cukup otoritatif untuk menjelaskan. Sedangkan menikah adalah keputusan satu kali seumur hidup dan tidak mungkin dilakukan berkali-kali hanya untuk kesenangan.

Meski sekedar ditanya, “Kapan menikah,” kan saya belum punya pengalaman, ya, walau ga butuh pengalaman juga sih untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi tetap saja untuk saat ini bagi saya itu jenis pertanyaan yang tak berbobot, miskin adab dan berbeda dengan misalnya, “Kapan pertama kali menulis untuk Milenialis,” terdengar lebih punya kontribusi untuk kemajuan umat manusia, bukan?

Mengeksekusi Ide Tulisan

Maafkan saya, prolognya kelewat panjang ya? Baiklah, kita langsung gasss aja sesuai judul tulisan ini: Dari mana datangnya ide menulis?

Kawan-kawan Milenialis yang mungkin sedang rebahan. Begini, menulis itu kalau dalam cara berpikir saya, ujung-ujungnya adalah tentang kesediaan berbagi. Dan saya memperlakukan ide menulis itu mirip-mirip seperti wahyu: sesuatu yang datang.

Muhammad sebelum menerima wahyu dan jadi Rasul, telah lebih dulu mempersiapkan diri melalui serangkaian tragedi. Muhammad adalah laki-laki yang gelisah, resah, ia tak bisa berdiam diri dan bersikap acuh tak acuh padahal dunia sedang dalam keadaan gawat. Sehingga ketika wahyu itu datang, Muhammad telah dimampukan untuk mengemban tugas yang amat besar (semoga analogi ini cukup masuk akal untuk diterima).

Begitu juga dengan ide menulis, hampir semua tulisan saya di Milenialis adalah tulisan yang mengomentari isu-isu aktual, dan itu bukan muncul atas kehendak saya. Seperti wahyu, isu adalah sesuatu yang datang.

Dengan kata lain saya mau bilang: Saya menulis karena saya resah dan ada hal yang perlu saya komentari. Keresahan itu kemudian saya olah jadi data. Terdengar klise memang, tapi begitu adanya.

Dan karena saya lebih dulu punya pengalaman membaca, paling tidak saya punya ‘bagasi pengetahuan‘ yang cukup, hal ini sangat berguna sebab kepekaan saya dalam merespons sesuatu jadi timbul.

Soal sudut pandang dan gaya tulisan itu sudah beda urusan. Lain kesempatan boleh jadi akan saya bahas. Janji. (jangan percaya sepenuhnya janji laki-laki. Apalagi laki-laki pelupa akut macam saya ini). Tapi tenang saja sebab besok belum kiamat.

Dari Mana Datangnya Ide Menulis?

Biar saya beri ringkasan. Dari mana datangnya ide menulis? Dua hal berikut saling berkaitan. Pertama, bermula dari respons saya terhadap isu-isu aktual. Kedua, dari hasil pembacaan saya terhadap isu-isu itu. Pembacaan itu bisa jadi dari pengalaman pribadi, pendapat orang lain, hasil diskusi dengan seorang kawan, dan seterusnya dan sebagainya.

Selanjutnya, hanya perlu mengumpulkan perbendaharaan kata, maka terjadilah yang seharusnya terjadi. Saya sadar tulisan saya masih buruk. Tapi untunglah saya lantas mengingat pesan Papa Hemingway, “Tidak ada yang lebih mengerikan ketimbang melihat kertas kosong,”.

Tidak lucu dong, ketika saya sudah buka aplikasi Microsoft Word di laptop atau di notepad telepon genggam, lalu gelisah datang dan alih-alih menulis saya justru checkout Shopee atau pergi ke pantai atau kayang atau apalah.

Sekian aja deh. Nanti malah tambah ngelantur. Maaf ya.

Tabik.

Penulis: Gigih Imanadi Darma

Penyunting: Aunillah Ahmad