Tut wuri handayani. Inilah jargon yang cukup membumi di dunia pendidikan Indonesia. Jargon ini buah dari pemikiran tokoh pendidikan nasional yakni Ki Hajar Dewantara. Tut wuri handayani bermakna seorang pendidik harus menampilkan pendidikan dengan hati dan nurani. Seorang pendidik harus mampu mendorong dan mengobarkan semangat terhadap berbagai potensi yang ada di diri masing- masing anak didik agar berkembang dan mencapai prestasinya yang berbeda-beda antara satu siswa dengan siswa lainnya. Dengan demikian, tut wuri handayani merupakan metode pendidikan yang memperhatikan kebutuhan persona demi persona, menghargai perbedaan, mengutamakan kesetaraan dengan fokus kepada diri siswa. Tut wuri handayani bertujuan untuk membentuk siswa yang mandiri dan bertanggung jawab (Rizal dan Hardiyanto, 2022).
Menurut Rombat O. (2017) sekolah inklusi merupakan sekolah yang menyelenggarakan pendidikan dengan memberikan kesempatan kepada semua peserta didik, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus, untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Dalam konsep pendidikan inklusi, sekolah harus menerima dan mengakomodasi semua anak tanpa terkecuali, termasuk anak-anak dengan kondisi fisik atau intelektual yang berbeda. Namun demikian tidak mudah bagi sekolah inklusi untuk menjalankan fungsinya karena berbagai kekhususan yang harus disediakan yakni kurikulum, tenaga pendidik, kegiatan pembelajaran, manajemen sekolah, sarana prasarana, kerjasama antara sekolah, pemerintah, orang tua, dan pandangan masyarakat. Namun demikian, Menurut Ni’mah, dkk, (2022) problema paling besar dalam penyelenggaraan sekolah inklusi justru berasal dari orang tua dan masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan rekonstruksi ulang dalam implementasi semboyan ‘ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani’ dalam pilar kedua dalam pendidikan yakni pilar keluarga.
Menurut Wulandari dari ketiga pilar tersebut yang sering tidak beres justru berada di pilar dasar yakni pendidikan di rumah. Konsep ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani telah dibangun secara bagus di dunia pendidikan. Akibatnya, pendidikan yang diharapkan mampu mewujudkan penguasaan diri sehingga menjadi yang beradab dan memiliki keadaban yang bisa mengangkat manusia ke arah insani justru hanya sekedar membangun kecerdasan dan transfer of knowledge yang miskin character building dan sifat kemandirian. (Sugianto, dkk, 2023). Dibutuhkan adanya rekonstruksi dalam pilar keluarga agar kelemahan yang terjadi selama ini terjadi dapat teratasi.
Konsep ing ngarso sung tulodo dalam keluarga sudah mengalami degradasi karena peran masing- masing pemimpin dalam keluarga sudah keluar dari kodratnya. Kepemimpinan dalam rumah tangga itu ada pada figur seorang ayah. Ajaibnya banyak ditemui di tengah masyarakat, seorang kepala rumah tangga yang sudah kehilangan arah dan tujuannya dalam membawa biduk rumah tangga. Tidak sedikit orang kepala keluarga yang beranggapan bahwa anak yang berkebutuhan khusus adalah menjadi beban keluarga
sehingga tidak mendapatkan perhatian khusus di bidang pendidikan. Anak disabilitas dipandang cukup hidup di dalam rumah sehingga tidak diperlukan sekolah yang memadai karena justru akan merepotkan dari banyak sisi dan banyak pihak. Ujungnya kepala keluarga sebagai pemimpin rumah tangga tidak bisa bersifat adil dan mengambil sifat diskriminatif terhadap anggota keluarganya yang mempunyai keterbatasan.
Konsep ing madya mangun karso dalam pilar keluarga adalah peran sosok seorang ibu. Ibu adalah seorang ‘menteri dalam negeri’ yang bertanggung jawab menjaga rumah, mengurusi urusan di rumah sekaligus menjadi guru terbaik bagi buah hatinya. Selaku ‘menteri dalam negeri’ seorang ibu membutuhkan pendidikan yang tinggi, kemampuan yang mumpuni dan jiwa yang luhur dan akhlak yang baik sehingga menjadi idaman suami dan idola kebanggaan bagi anak-anaknya. Namun, sangat di sayangkan kedudukan dan mulia tersebut berubah drastis tatkala jargon emansipasi dan kesetaraan gender menjadi syubhat yang kuat menghinggapi pemikiran ibu-ibu masa kini. Mereka merasa ketinggalan zaman tidak modern tatkala menjadi seorang ibu yang cekatan di dapur, lincah di sumur dan pandai di kasur. Mereka lebih memilih jadi tulang punggung di banding tulang rusuk. Tanggung jawab mengurus anak diserahkan ke asisten rumah tangga yang dari setiap sisi apa pun jauh di bawah kapasitas seorang ibu. Akal sehat pun tidak akan menemukan jawabannya apabila mengharapkan sesuatu yang terbaik buat buah hati tapi pendidikan dasarnya diberikan kepada orang yang bukan kapasitasnya. Figur pendidik terbaik di mata anak seharusnya seorang ibu, karena tidak akan ada pendidik yang tulus dan penuh kasih sayang kecuali seorang ibu, namun anak justru kehilangan itu semua karena digantikan oleh asisten rumah tangga. Bagaimana mewujudkan cita-cita sekolah inklusi akan tercapai jika dalam rumah anak didiknya yang berkebutuhan khusus tidak mendapat perhatian dari pihak sang ibu?
Konsep tut wuri handayani dalam pilar keluarga akan bisa terwujud tatkala pemimpin keluarga dan “menteri dalam negeri” berkolaborasi dan saling sinergi. Di tengah berbagai keterbatasan yang dimiliki anak merasa nyaman, bahagia dan terlindungi karena berbagai kebutuhan terpenuhi dan dukungan untuk melakukan perubahan maupun kemajuan terbuka lebar karena kepemimpinan sang ayah dan sikap perhatian yang besar dari sang ibu dan saudara yang ada di rumah. Kadang suasana seperti ini tidak lain sebuah impian dan bukan menjadi realita bagi anak-anak berkebutuhan khusus karena berbagai stigma yang melekat padanya di dalam keluarga. Sebaliknya, yang terjadi adalah tut wuri handayani sebagai pondasi pendidikan pada pilar keluarga sangat tidak mendukung untuk menuju pendidikan lanjutan di sekolah inklusi.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan keberadaan sekolah inklusi yang mencoba memberikan akses seluas luasnya kepada siswa yang berkebutuhan khusus tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan karena tidak adanya dukungan dari pilar keluarga yang notabenenya sebagai pilar pendidikan dasar. Dibutuhkan rekonstruksi dalam pilar keluarga untuk membumikan konsep ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Hal ini dilakukan karena sekolah inklusi akan berhasil jika input dan proses dari pilar keluarga sudah baik dan sukses.
Editor: Yud
Gambar: Harian Rakyat
Artikel ini bekerja sama dengan Komunitas Cakra Dewantara
Comments