Perempuan adalah pendidik utama generasi penerus bangsa. Karena itu, perempuan haruslah dijaga dengan baik. Namun, penjagaan perempuan seringkali disalahartikan oleh masyarakat luas. Perempuan seolah hanya dikurung di dalam rumah dengan narasi untuk menjaga harkat juga martabat seorangnya. Berdasar keadaan tersebutlah, para perempuan mulai sadar akan hak-hak kebebasannya. Banyak perempuan di seluruh dunia yang kemudian mulai berani melakukan beberapa langkah untuk menuntut hak-hak kebebasan yang selama ini terasa terikat kencang dalam jati diri semua perempuan di seluruh dunia. Dari mulai hak memperjuangkan kebebasan berpendapat di muka umum, kebebasan bekerja, juga pendidikan yang kesemuanya hanya diberikan kepada para laki-laki.

Perjuangan emansipasi perempuan tersebut kemudian ikut merambat ke semangat perjuangan perempuan di Indonesia, terutama di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tokoh-tokoh perempuan mulai hadir dengan gagah berani melepaskan ikatan narasi kuno perihal perempuan dengan segala larangannya.

R.A Kartini, Dewi Sartika, Maria Walanda, dll mulai mengedukasi rekan-rekannya untuk menyuarakan perjuangan serupa. Ki Hajar Dewantara, sebagai salah seorang tokoh penting di bidang pendidikan Indonesia sepaham akan perjuangan emansipasi tersebut. Beliau turut senang akan batas-batas pengekangan perempuan yang mulai kabur adanya setelah beberapa perjuangan emansipasi dilakukan.

Namun, di sisi lain, Ki Hajar juga turut menyayangkan akan adanya batas yang terlalu jauh dibuka oleh beberapa perempuan di Eropa. Perjuangan emansipasi, di beberapa titik, bukan lagi hanya memperjuangan hak perempuan, tetapi juga mengaburkan batas-batas antara yang dapat dilakukan dan yang tidak seharusnya dilakukan. Merdeka yang diperjuangan oleh perempuan Eropa, menurut Ki Hajar justru membuat para perempuan menjauh dari kodratnya.

Pendidikan adalah salah satu solusi yang Ki Hajar Dewantara usulkan sebagai pengabur kebebasan tersebut. Pendidikan juga digagas oleh Ki Hajar sebagai pengembali kodrat perempuan sehingga emansipasi pun terlaksana secara seimbang antara hak dan kewajiban yang harus dilakukan. Menggunakan metode among, Ki Hajar mulai melakukan penyetaraan pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Among berasal dari Bahasa Jawa yaitu mong atau momong yang berarti mengasuh seorang anak. Dalam mengasuh tersebut dibutuhkan peran seorang pengasuh yang disebut pamong, dalam hal ini yang berperan sebagai pamong adalah guru.

Tiga Asas Utama Pendidikan

Pendidikan yang diajarkan oleh pamong haruslah memperhatikan tiga asas utamanya yaitu asih, asah, dan asuh. Asih berarti dalam membimbing guru harus menyertainya dengan kasih sayang. Sementara asah berarti cara mendidik yang bukan hanya menyampaikan materi semata, tetapi diharapkan materi tersebut dapat sampai dengan baik ke peserta didik hingga dapat diterapkan di dunia nyata. Kemudian, yang ketiga yaitu asuh artinya membina. Ilmu yang diberikan kepada siswa hendaklah ilmu yang mengarahkan siswa ke arah yang lebih baik.

Konsep pendidikan among ini, kemudian diterapkan oleh Ki hajar Dewantara dalam Taman Siswa dengan metode ajar Wasita Rini atau tembang Jawa Asmaradhana. Berbentuk syair-syair penuh nasihat yang diajarkan sembari dilagukan. Nasihat-nasihat yang terselip dalam Wasita Rini ialah ajaran perihal kesusilaan. Misalnya nasihat tentang etika dan moral kewanitaan yang tertuang dalam tembang wulang puteri. Maksud dari metode ajar ini ialah agar perempuan bisa lebih luwes dalam berpikir, berekspresi, juga bertindak dalam keseharian. Karena syair-syair yang dilagukan tersebut dapat lebih mudah diingat.

Dengan konsep ini, diharapkan perempuan dapat memperjuangkan haknya dengan aman. Bekerja misalnya. Banyak perempuan awalnya hanya diterima kerja di luar hanya berlandas pada tiga hal yaitu pertama, karena memang tenaganya sesuai yaitu pada pekerjaan-pekerjaan ringan yang cenderung kotor dan disesuaikan dengan stigma bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan khusus. Kedua yaitu dengan alasan upah yang murah. Perempuan dengan kemampuannya yang dipandang remeh kemudian diberi bayaran murah, bahkan di bawah angka yang seharusnya diberikan. Ketiga, ialah dengan alasan sebagai penarik kaum adam agar mau bekerja di tempat tersebut. Seperti pada masa tanam paksa menggunakan perempuan sebagai penarik agar laki-laki mau beekerja di perkebunan tersebut. Perempuan menjadi ala iming-iming yang nantinya diserahkan kepada para pekerja laki-laki sebagai “penyemangat” di kala penat datang.

Pendidikan yang setara inilah yang dirasa oleh Ki Hajar Dewantara menjadi salah satu cara utama pelepas perempuan dari ketiga alasan di atas. Melalui bekal ilmu yang di dapat di bangku sekolah, diharapkan perempuan mendapat pekerjaan sesuai dengan kemampuannya. Pekerjaan yang sesuai kemampuan tersebutlah yang dirasa oleh Ki Hajar Dewantara dapat menjadikan perempuan sebagai pendidik utama yang baik bagi anaknya. Bahkan bisa dikatakan sangat baik karena memiliki bekal wawasan luas yang dapat diajarkan kepada anak-anaknya. Pendidikan yang setara tersebut diharapkan juga dapat mengantarkan perempuan ke kata merdeka yang sesungguhnya.

Merdeka dalam artian bukan hanya terlepas dari jerat narasi kuno yang hanya membelenggunya di dalam rumah, tetapi juga tetap mampu mengendalikan ego serta nafsu di dalam dirinya sendiri. Nafsu juga ego yang dipandang oleh Ki Hajar selayaknya apa yang terjadi di ruang lingkup perjuangan perempuan Eropa pada saat itu. Dengan demikian, perjuangan emansipasi perempuan bisa berjalan dengan seimbang antara hak yang dapat mereka peroleh dengan kodrat yang diemban.

Editor: Pratama

Gambar: Republika.id

Artikel ini bekerja sama dengan Komunitas Cakra Dewantara