Tamansiswa adalah sebuah organisasi pendidikan yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta pada tahun 1922. Terdapat beberapa latar belakang dari didirikannya Tamansiswa. Beberapa di antaranya, yaitu pengasingan Ki Hajar Dewantara di Belanda pada sekitar tahun 1913 hingga 1917 dan kegiatan Paguyuban Selasa Kliwon yang diikuti oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Dalam kegiatan paguyuban tersebut, terdapat pembahasan bahwa pendidikan adalah satu hal yang paling dibutuhkan oleh Indonesia saat itu. Sebagai salah satu anggota paguyuban tersebut, Ki Hajar Dewantara pun berhasil mendirikan organisasi berbasis pendidikan Tamansiswa yang pertama. Pendirian Tamansiswa bertujuan untuk memberikan pendidikan dan pemahaman kebudayaan kepada para pribumi, karena sebelumnya pendidikan hanya diperuntukkan untuk keturunan kelompok elit.

Kegiatan pembelajaran di Tamansiswa dilaksanakan dengan metode yang berbeda dengan sekolah yang diselenggarakan pemerintah kolonial. Sistem    pendidikan Tamansiswa banyak mengandung unsur kebudayaan Jawa dengan menggunakan sistem perguruan atau digunakan sebagai pusat studi. Sebagian besar materi ajarnya adalah mengenai musik, drama, dan tarian klasik Jawa. Di samping itu, segala kegiatan yang berkaitan dengan unsur-unsur Barat dihindari. Hal tersebut menunjukkan bahwa Tamansiswa ingin mengembangkan kebudayaan lokal yang telah lama tersingkirkan oleh budaya Barat. Bahasa pengantar yang digunakan dalam kebanyakan sistem pendidikan Tamansiswa adalah bahasa Indonesia. Bahasa Belanda terkadang masih digunakan apabila bahasa Jawa dan Melayu belum bisa digunakan dalam media pengajaran tertentu.

Selama awal pendiriannya, banyak terjadi penolakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Bahkan, kegiatan di Tamansiswa sempat terhenti karena kebijakan De Wilde Scholen-Ordonnantie (Peraturan Sekolah Liar) dalam De Toezicht Ordonnantie op het Particulier Onderwijs (Undang-Undang Pengawasan Pendidikan Swasta) Tahun 1932. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menonaktifkan sekolah liar atau sekolah swasta. Selain itu, dengan ditetapkannya kebijakan tersebut, maka akan meminimalisir pergerakan nasionalisme para pribumi.

Dengan adanya De Wilde Scholen-Ordonnantie, pimpinan Tamansiswa memutuskan akan menentang peraturan tersebut, karena kebutuhan pendidikan bagi pribumi yang belum terpenuhi. Alasan lain dari penentangan peraturan tersebut adalah pembangunan rakyat yang akan terhambat, sehingga Ki Hajar Dewantara meminta dukungan masyarakat terhadap para guru. Berbagai upaya untuk mempertahankan Tamansiswa terus dilakukan, karena telah berkembang dengan jumlah sekolah yang cukup banyak, sekitar 250 institusi dengan 12.000 siswa dan 1.000 guru di berbagai daerah Jawa. Di samping itu, Tamansiswa juga merupakan organisasi pendidikan yang tidak diberikan sepersen pun dana dari pemerintah, namun eksistensinya terus berkembang.

Pelarangan terhadap Tamansiswa berlangsung secara serius. Di beberapa daerah, bendera Tamansiswa tidak boleh dikibarkan, salah satunya di daerah Nganjuk. Sedangkan di daerah lain, para pengajar Tamansiswa dihormati dengan adanya kunjungan dari kepolisian disertai pengawasan yang ketat. Di Situbondo, berbagai fasilitas dilepas karena ditemukan lagu-lagu nasionalis dalam kalangan anak-anak. Oleh karena itu, banyak anak-anak yang tidak berani dan ketakutan terhadap Tamansiswa sekitar bulan Oktober hingga Desember tahun 1937.

Dengan segala perlawanan, sikap pemerintah pun melunak terhadap segala aktivitas Tamansiswa. Salah satu sikap pemerintah yaitu mengeluarkan surat edaran kepada Tamansiswa agar bersifat lebih moderat. Oleh karena itu, segala kegiatan di Tamansiswa dapat berlangsung kembali, walaupun terdapat banyak kesulitan. Guru- guru yang sebelumnya diberhentikan juga diizinkan mengajar kembali. Meskipun begitu, pengawasan ketat tetap dilakukan. Pada suatu waktu, pengawas sekolah dan asisten wedana menyelidiki sekolah Tamansiswa yang didirikan di Situbondo, Jawa Timur. Dari penyelidikan tersebut, ditemukan dalam buku catatan seorang murid kelas lima (5) dan enam (6) adanya lagu nasional. Hal tersebut pun dilaporkan kepada para atasan hingga kedua murid tersebut tidak diizinkan lagi untuk bersekolah.

Seiring berjalannya waktu, Tamansiswa pun semakin berkembang dan banyak memberikan kesempatan pendidikan bagi siapapun. Para perempuan juga memiliki kesempatan mengenyam pendidikan, salah satunya di Taman Iboe yang terletak di Yogyakarta atas kerja sama dengan Institut Tamansiswa. Taman Iboe adalah sebuah sekolah domestik yang diperuntukkan perempuan Jawa dengan pengantar bahasa Belanda. Di samping itu, para murid perempuan juga turut serta berperan dalam pertunjukan yang diselenggarakan oleh Ki Hajar Dewantara. Salah satu kesenian yang ditampilkan adalah tarian Jawa yang saat itu menampilkan tarian Srikandi-Larasati serta sandiwara Pernikahan Arjuna dan Srikandi.

Hingga saat ini, Tamansiswa masih berdiri dan berkembang sebagai institusi pendidikan yang tersebar di banyak daerah, termasuk Sumatra. Dengan tidak mengubah prinsip sejak pendiriannya, Tamansiswa masih menjadi sekolah swasta. Jenis pembelajarannya pun beragam, beberapa di antaranya adalah sekolah teknik dan kebudayaan. Melalui Tamansiswa, rasa nasionalisme pun semakin tertanam dalam jiwa generasi muda. Selain itu, berkat tekat Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan dan mempertahankan Tamansiswa, para pribumi yang sebelumnya tidak dapat menempuh pendidikan menjadi mampu duduk di bangku pendidikan, bahkan hingga perguruan tinggi.

Editor: Yud

Gambar: TribunNews

Artikel ini bekerja sama dengan Komunitas Cakra Dewantara