Merantau adalah momen atau keputusan yang sangat berat. Baik itu dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Namun, seorang ibu lebih tidak tega melepas anak perempuannya harus hidup merantau, sendirian. Mungkin, jika anak laki-laki masih dipandang lebih bisa menjaga diri dan memang sudah seharusnya anak laki-laki tidak hanya diam di rumah. Kata Imam Syafi’I, “merantaulah!”.
Saya sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Kakak saya laki-laki, sudah pernah merantau di ibu kota, yang katanya lebih kejam dari ibu tiri. Saya memutuskan menempuh studi ke Yogyakarta, yang katanya cocok untuk pelajar. Karena sebutan Yogyakarta adalah kota pelajar. Istimewa, setelah lulus kuliah, saya memutuskan bertahan hidup dan mengadu nasib di Yogyakarta. Semoga beruntung.
Di sisi lain, rasanya, pikiran saya bernostalgia dengan momen-momen bersama ibu saya dulu. Banyak yang kami lakukan berdua, karena perbedaan umur dengan adik saya cukup jauh. Makanya, ibu dulu lebih sering mengajak saya untuk kegiatan dinas pedapuran dan kegiatan kewanitaan. Sebenarnya, mungkin ibu mengajarkan saya menjadi seorang istri sekaligus ibu rumah tangga kelak. Inilah momen yang sangat dirindukan bersama ibu.
Momen Memasukkan Benang ke Jarum Jahit
Ibu saya, termasuk yang tidak suka dengan yang serba instan. Akan tetapi, sangat suka dengan mi instan dan es kopi yang ada gambar luwaknya. Jika ada barang yang rusak dan masih bisa diperbaiki, ibu pasti berusaha untuk memperbaikinya sehingga bisa dipakai kembali seperti biasa. Saya sering kali merobek celana training saya, karena dulu memang suka memanjat pohon kersen. Alhasil, banyak celana yang menjadi korban. Selagi robeknya masih bisa dijahit dengan tangan tanpa harus menggunakan mesin jahit, ibu pasti menjahitnya secara manual.
Kemudian saya yang menjadi andalan ibu untuk memasukkan benang ke jarum jahit, karena mata ibu yang sudah rabun. Jarum yang sangat kecil lubangnya dan harus dibasahi dengan sedikit pelumas alami, yakni ludah sendiri. Senang sekali menjadi andalan ibu untuk memasukkan benang. Walaupun dulu kalau keseringan disuruh pasti ada misuh-misuhnya dalam hati.
Melipat Baju Sambil Nonton TV
Dulu tugas saya, mengangkat jemuran. Karena ibu sudah mencuci semua pakaian di rumah. Ibu selalu bilang, kalau jemuran baru diangkat langsung dilipat, nanti kusut. Kata ibu, nanti bisa disetrika alami, karena masih ada energi panas dari sinar matahari apabila lekas diangkat. Tempat biasa saya menaruh jemuran tersebut, biasanya di ruang tengah. Di mana ada televisi yang jadi hiburan satu-satunya kala itu. Saya paling malas untuk mengerjakan pekerjaan menyetrika. Selain karena panas, durasinya juga lama, dan banyak pula baju yang disetrika, karena milik sekeluarga.
Makanya ibu pesan, jemuran kalau setelah diangkat langsung dilipat, biar nggak banyak menyetrika. “Sambil nonton tv, jangan matanya saja yang lihat OVJ. Tangannya juga main, bantuin ibu,” ujar ibu. Sayang juga listriknya kalau menyetrika lama-lama.
Momen Mencicipi Masakan di Bulan Puasa
Setiap bulan puasa, anak perempuan yang sudah balig pasti nggak bisa puasa penuh sebulan. Karena siklus menstruasi. Sebenarnya nggak enak, karena wajib bayar hutang di lain hari. Sama-sama nggak makan seharian, karena memang ibu masaknya sore, menjelang buka puasa. Kalau tiba saat siklus saya menstruasi, saya jadi ada kerjaan baru. Mencicipi masakan. Saat saya sedang lihat stasiun Ramadan di salah satu stasiun tv swasta, dari dapur ibu panggil nama saya.
Sungguh membagongkan saya dulu, bukannya ngewangi masak, malah enak-enak nonton tv. Nggak puasa pula. Saat itu, ketika ditanya kurang apa, saya jawab seadanya. Karena kurang berasa jadi saya ambil banyak sekalian makan dengan nasi dan buka puasa duluan. Hehe.
Menemani Belanja ke Pasar
“Teh, besok temenin ibu ke pasar yuk,” “nanti mandi pagi-pagi”. Begitu kira-kira percakapan saya dengan ibu saat menonton tv disambi ngelipat baju. Dulu kalau pergi ke pasar, saya dan ibu naik elp dan pulangnya naik becak. Karena jarak antara rumah dan gang untuk naik elp lumayan tidak jauh tapi juga tidak dekat. Makanya kalau pulang dari pasar, karena sudah membawa banyak belanjaan berupa sayur-mayur, buah-buahan dan jajanan pasar, terasa berat jika harus jalan dari gang sampai rumah. Naik becak, bisa diantar dari pasar sampai depan rumah dengan akurat.
Ibu saya biasanya belanja ke pasar, untuk persediaan beberapa minggu ke depan. Bahan yang dibeli pun, sesuatu yang tidak bisa ditemui di warung langganan ibu. Bahan yang dibeli pasti berkilo-kilo. Sampai-sampai pernah, kami menenteng jinjingan plastik sebelahan. Saking beratnya.
Editor: Nirwansyah
Ilustrasi: CICIL Blog
Comments