Penulis sungguh menyadari bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan penuh paradoksal. Tuhan mengampuni namun pula berhak memberi siksa, ada surga ada neraka. Segala yang benar memiliki kesalahan, dan yang salah mengandung kebenaran. Manusia mungkin diciptakan untuk mengetahui betapa sangat sedikit porsinya dalam pemahaman yang telah dicapai selama hidup. Entah apa maksud yang saya tulis, saya tidak memaksa Anda memahaminya.

Punya Tetangga itu Sunnatullah

Kalau Anda manusia normal dan tidak memiliki kelainan, saya yakin Anda makan, anda dilahirkan bukan berasal dari bongkahan batu seperti unta Nabi Shaleh AS. Kejadian pasti selanjutnya adalah orang normal selalu memiliki tetangga. Tulisan ini bukan bicara mengenai benar atau salah, melainkan term paradoksial yang telah saya tulis di muka.

Saya tidak membandingkan kultur masyarakat kota yang lebih mementingkan privasi, namun kurang bersosialisasi atau tak kaya empati. Bukan pula mengatakan kultur masyarakat desa yang kebanyakan empati hingga meluber, kemudian ikut mengaduk-aduk hidup tetangganya. Tetangga di dalam budaya masyarakat menengah ke bawah selalu menjadi senjata cadangan dalam segala hal, baik itu urusan gotong royong, pertolongan secara personal bahkan hal utang piutang.

Cocote Tonggo

Hal yang unik adalah istilah cocote tonggo (baca: mulut tetangga) yang selalu familiar di telinga sebagai suatu stigma buruk yang terjadi dalam lapisan masyarakat. Padahal tidak juga. Jika ada sebuah studi kasus mengapa orang-orang di pemukiman desa yang padat agak sungkan berbuat kenakalan di desa sendiri (misalnya: mabuk, zina atau mencuri) Salah satu alasan tak tertulis adalah pikiran takut “tertangkap basah”, lalu jadi bahan omongan cocote tonggo yang berlangsung dalam waktu cukup lama.

Kontrol Sosial

Secara tidak tertulis, cocote tonggo dalam hal ini memiliki peran sebagai kontrol sosial yang terjadi di masyarakat desa. Setiap personal masyarakat merasa selalu diawasi oleh mata-mata sesungguhnya. Sebab pengawasan cocote tonggo mengalahkan CCTV. Ia tidak sekadar mengawasi interaksi sosial sekitarnya. Namun, juga selalu memberi dampak sosial, personal, ekonomi dan sebagainya.

Ketika seseorang telah memiliki stigma buruk, kemudian viral jadi bahan gunjingan maka sang pelaku merasa tidak aman, tidak dapat bergaul bahkan tertekan. Jika diamati, hukuman sosial semacam ini sangat berguna membuat sebagian besar orang kapok.

Tidak Ada yang Sia-Sia

Sungguh ciptaan Tuhan memang tidak ada yang sia-sia. Semacam gunjingan cocote tonggo yang sebenarnya “dosa” dan diibaratkan seperti memakan bangkai saudara sendiri, sejatinya masih memiliki manfaat. Tentu saya tidak menyarankan adanya gunjingan yang terjadi di masyarakat. Sebab saya hanya ingin mengkaji paradoksial yang terjadi dalam hal tersebut.

Kontrol sosial dalam urusan rasan-rasan ini kemudian bisa juga menjadi tekanan sosial yang tidak sengaja dibuat dalam komoditas masyarakat. Hal ini bisa dilihat atau dialami oleh sebagian orang yang pernah merasa dituntut oleh seseorang yang sejatinya tak berkontribusi apa-apa.

Kamu sudah sarjana, sekarang kerja dimana? Anak saya yang lulusan SMA saja kini sudah jadi pegawai tetap pabrik.”

“Kamu sekarang sudah tua loh, kenapa tidak menikah? Anak saya saja sudah punya dua anak,” (meski hamil duluan misalnya).

Mindsetnya Diubah

Ada yang pernah mendapat pertanyaan demikian? Atau mau menambah pertanyaan baru yang keluar dari cocote tonggo Anda? Tahan dulu. Kalimat itu mungkin hanya ditunjukkan pada diri Anda, tapi jika kalimat itu diubah begini:

“Anak kamu sudah tua loh? Kok gak nikah-nikah?”

Saya saja sudah memiliki dua cucu, anak saya kerja tetap di pabrik. Anakmu lama-lama kuliah sampai sekarang gak jadi apa-apa gimana tuh? Habis-habisin uang, lama, jauh lagi!” ujar seorang tetangga pada Ibu Anda.

Bukan Menggiring Opini

Mohon maaf, sekali lagi saya tidak mencoba memberi opini yang menggiring pada upaya benar dan salah, melainkan kajian secara paradoksial. Cocote tonggo jenis di atas tentunya memberi tekanan seseorang baik secara pribadi maupun di lingkungan keluarganya.

Akibatnya apa? Mungkin mereka yang awalnya tak peduli kemudian mulai kasihan pada orang tuanya atau sanak saudaranya yang ditembaki pertanyaan tersebut. Akhirnya banyak orang yang rela membuang keinginannya hanya untuk kerja buru-buru meski tak sesuai kemampuan, atau nikah buru-buru meski tak siap mental maupun spiritual.

Hal Unik

Cocote tonggo menjadi sebuah kejadian unik yang terjadi di sekitar kita, atau bahkan ada pada pengalaman pribadi kita. Cocote tonggo menjadi sebuah paradoksial yang telah melekat erat pada sendi-sendi kehidupan masyarakat khususnya kalangan menengah ke bawah. 

Cocote tonggo menjadi kontrol sosial, sekaligus tekanan sosial yang terjadi seirama dengan kultur yang ada. Semoga segala yang dihadapi dengan hal ini dapat mengimbangi persoalan dengan langkah yang bijaksana.***

Editor : Assalimi

Gambar : Google